Khun memainkan sendok dan garpunya di atas sepiring pasta yang tengah ia nikmati. Disebelahnya, Bam juga asik menyantap sup cream hangat miliknya. Sekarang waktunya makan malam dan mereka sedang berkumpul di kantin sembari membahas ujian yang baru saja mereka lakukan.
"Aku penasaran, apakah tim yang kalah di ujian babak kedua otomatis gagal dalam ujian lantai ini?" tanya Boro yang baru saja menyelesaikan makannya.
"Sepertinya tidak. Aku sempat mendengar, bagi mereka yang gagal pada babak kedua masih bisa lulus ujian lantai ini. Pengawas ujian akan menjumlah poin di babak pertama dan kedua. Jika nilai mereka di atas batas yang ditentukan, mereka dinyatakan lulus," jelas Hockney.
"Kalau begitu tim lawan kita juga memiliki kesempatan untuk lulus. Itu cukup melegakan bagi mereka yang gagal ujian babak kedua," ujar Bam. Dia memang terlalu baik hati sampai memikirkan nasib tim lawan yang dikalahkannya. Itulah yang membuat teman-temannya merasa khawatir namun juga bersyukur disisi lain.
"Syukurlah kita menang. Kalau tim kita kalah, aku akan otomatis gagal. Poin babak pertamaku tak membantu sama sekali," ujar Boro tersenyum miris.
"Wah, kalian meninggalkanku. Dasar pengkhianat."
"Ah, hai Nona Endorsi." sapa Bam. "Kami kira kau ketiduran. Kami sudah menunggumu disini cukup lama. Maaf."
"Yah, ini salahku. Aku terlalu menikmati berendam air hangat," ucapnya, "Omong-omong soal tim lawan, aku sekamar dengan perempuan yang menjadi lawan Khun."
"Eh? Perempuan? Bukannya di tim itu hanya ada satu perempuan saja ya? Si Prajurit yang kau kalahkan?" Boro berujar heran.
"Tidak, ternyata ada dua orang. Yang melawan Khun juga perempuan. Dia cukup cantik, walau tidak secantik aku. Dia juga baik membiarkan aku menggunakan kamar mandi duluan padahal dia yang menyiapkan air panasnya."
Sachi mencoba mengingat, "Kalau tak salah namanya E.G kah? Orang yang mengenakan jubah itu. Jadi dia itu sebenarnya wanita?"
"Apa kau tak menyadarinya juga, Tuan Khun?" tanya Bam.
Khun merasa terpojok dengan pertanyaan Bam. Pikirannya spontan melayang ke kejadian beberapa jam lalu itu.
*Flashback*
"Lebih baik kau menyerah."
"Cih," Khun menyeka ujung bibir yang mengeluarkan darah.
"Apa semua anak-anak dari keluarga Khun itu mesum seperti ayah mereka?"
Khun mengerutkan alisnya mendengar pertanyaan yang tiba-tiba itu, "Apa maksudmu?"
"Bagaimana menurutmu tentang seorang lelaki yang baru pertama kali bertemu langsung menyentuh bagian tubuh seorang wanita seenaknya."
"Bagian tubuh? Wanita?" Khun semakin bingung.
E.G berjalan semakin mendekat. Sampai akhirnya Khun bisa melihat wajah dibalik tudung yang dikenakan orang itu.
"Kau... wanita?" Khun membelalakkan matanya tak percaya. Sedari tadi ia berpikiran kalau orang yang dilawannya adalah seorang lelaki.
"Memangnya ada bagian dari diriku yang tidak seperti seorang wanita?" suara gadis itu terdengar semakin dingin dan sarat akan kebencian.
"Habisnya pakaianmu- tunggu, jadi yang kau maksud itu apa yang ku sentuh saat mengunci gerakanmu..." wajah Khun memerah seketika. (Kalau lupa, lihat Chapter 4)
"Dasar mesum!"
*Flashback End*
"Ukh, Bagaimana bisa aku tak sadar jika dia wanita. Bahkan suaranya pun lebih feminin dari Endorsi. Ah, awalnya dia tak bicara, makanya aku kira dia lelaki. Dan aku juga menyentuh bagian tubuhnya. Awalnya aku kira itu lemak yang menumpuk, ternyata bukan. Pantas saja dia semarah itu," pikir Khun frustrasi sambil mengacak rambutnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[Tower of God Fanfic] : Tower Flower
Fiksi Penggemar"Apa yang kau inginkan? Uang dan kekayaan? Kehormatan dan kebanggaan? Kekuasaan dan kekuatan? Balas dendam? Atau sesuatu yang melampaui itu? Apapun yang kau ingin kan, semuanya ada di sini." - Tower of God "Lebih kuat dari sebuah senjata. Lebih inda...