[II] Bloody Sacred Vase : Ch. 21

716 120 11
                                    

Eileen mengerjapkan matanya perlahan. Setitik cahaya di hadapannya terasa begitu menyilaukan pandangannya. Kepalanya terasa pusing dan tenggorokannya begitu kering. Begitu pandangannya mulai jelas, ia melihat ruangan tempatnya berada begitu asing.

"Kau sudah sadar Eileen?"

Gadis itu mengalihkan pandangan tepat kepada dua orang lelaki yang berada di sampingnya. Lelaki berambut biru terlihat tengah bersedekap sedangkan lelaki satunya yang berambut coklat tengah tersenyum. Eileen hanya terdiam masih mencerna situasi yang terjadi. Beberapa saat kemudian barulah ia tersadar.

"A-aku sangat pusing. Aku akan tidur lagi." Gadis itu lalu menarik selimut dengan cepat menutupi seluruh tubuhnya sampai ke ujung rambut.

"Apa maksud mu hah? Kau pikir sudah berapa hari kau tidur? Jangan alasan!" Khun berusaha menarik selimut milik Eileen.

"Uwaa, jangan ganggu aku. Lepaskan selimutku. Kau mau melakukan pelecehan ya? Aku akan panggil polisi!" ucap gadis itu masih mempertahankan selimutnya, satu-satunya pelindung yang ia punya saat ini. Ia terlalu takut untuk menghadapi Khun dan Bam. Rasanya ia benar-benar ingin menghilang dari tempat ini.

"Jangan bercanda. Cepat bangun. Kau berhutang banyak penjelasan!" Khun naik ke kasur Eileen berusaha mencari dimana letak kepala gadis itu. Ia lalu mencekik leher Eileen.

"Kyaaa!!" Eileen mendorong tubuh Khun lantaran kehabisan napas membuat lelaki itu nyaris terjungkal ke belakang. Ia lalu memeluk tubuhnya sendiri sambil memasang ekspresi terluka. "Khun, aku tak tau kalau kau suka bermain kasar seperti ini."

"Hooo, aku memang kasar dan kau benar-benar ingin mati rupanya," Khun mengangkat kedua tangannya bersiap ingin mencekik Eileen lagi.

"Jangan!"

Bam hanya terkekeh-kekeh melihat kelakuan keduanya. Ia lalu menyerahkan segelas air putih pada Eileen, "Nona Eileen, minumlah dulu."

Eileen mengambil gelas itu lalu meminumnya cepat, "Terimakasih, Bam."

Khun lalu turun dari ranjang dan kembali duduk ke tempat nya semula. Ia lalu merapikan pakaiannya yang sedikit berantakan. Matanya memandang tajam ke arah Eileen memberikan tekanan yang kuat pada gadis itu.

"Eileen, siapa dirimu sebenarnya? Kau mencuri pecahan kami dan kau bisa menggunakan Flare Wave Explosion. Apa kau dari FUG?"

Gadis hanya diam menunduk. Ia tak terlihat berniat untuk menjawab pertanyaan Khun. Ia memainkan jari jemarinya pertanda tengah gugup.

"Nona Eileen. Aku tau kau bukan orang jahat. Kami akan mendengarkan mu. Tolong lah. Aku melihatmu menggunakan mantra dan menyebut nama 'Grace'. Apa kau punya hubungan tertentu dengan nama itu?" Bam ikut bertanya. Sudah beberapa hari ini ia sangat penasaran ingin mengetahui jawabannya. Mantra adalah kekuatan yang cukup langka di menara dan tak banyak orang yang tentang nama 'Grace'. Bam yakin Eileen tau sesuatu.

"Maaf, aku tak bisa-"

Bam memotong ucapan gadis itu, "Nona Eileen. Pikirkan sekali lagi. Aku sangat memohon padamu. Ini juga sangat penting bagiku. Jika kau tak sanggup menceritakannya sekarang, aku akan menunggunya."

Eileen menutup wajahnya dengan kedua tangan. Pikirannya begitu kalut dan ia merasa dilema apakah harus mengatakan yang sebenarnya. Ini berat, tapi biarpun ditunda cepat atau lambat mereka akan tau siapa dirinya sebenarnya.

Eileen menarik napas dalam-dalam. Sepertinya ia memang harus menceritakannya, "Baiklah."

Bam dan Khun yang mendengar itu tampak senang. Ia tak perlu memaksa dengan cara kasar, walau tadi Khun sempat mencekik gadis itu. "Kami akan mendengarkan nya."

"Sepertinya aku perlu memperkenalkan diriku sekali lagi dengan benar." Gadis itu memberi jeda sejenak. "Perkenalkan, namaku Eileen Grace."

"Eileen Grace?"

***

Api berkobar dengan sangat ganas membakar sebuah rumah megah. Cahayanya yang merah terang memancarkan rasa takut yang besar. Tubuh-tubuh tak bernyawa tergelak di sembarang tempat. Beberapa orang terlihat masih bertarung mencoba membela diri walau mereka sudah nyaris di kalahkan.

Di sebuah hutan belantara yang tak jauh dari tempat itu, terlihat seorang wanita tengah membawa seorang anak dalam gendongannya dan seorang lagi yang ia genggam tangannya dengan erat. Mereka berlari dengan sekuat tenaga dari kejaran musuh yang mencoba menangkap mereka.

Anak dalam gendongannya itu memberontak mencoba meraih-raih ke arah tempat kebakaran terjadi. Sedangkan anak yang satu lagi hanya bisa berlari dengan air mata yang terus mengucur tanpa henti.

"Ibu...ibuku masih disana," gadis itu berteriak ingin melepaskan diri. "Bibi Leafa, selamatkan ibuku."

"Nona tenanglah, kita harus menyelamatkan diri. Keselamatan Nona adalah yang terpenting. Nyonya... nyonya akan baik-baik saja disana," ucap wanita itu berusaha menahan air matanya.

"Aku ingin bersama ibu," gadis itu menangis kencang, "Ini hari ulang tahunku. Ayah akan datang dan menyelamatkan kita. Dia akan mengusir orang-orang jahat itu. Ayo kita bawa ibu."

Leafa mendekap anak itu erat, "Tuan tak bisa datang. Tapi dia pasti akan menyelamatkan kita. Sampai saat itu, Nona harus berjanji untuk bertahan hidup. Bibi akan membawamu ke tempat yang aman."

Anak itu menangis semakin kencang. Bahkan anak kecil satunya ikut kembali menangis sejadi-jadinya. Mereka telah kehilangan tempat tinggal mereka. Kedamaian mereka direnggut oleh sang raja serakah.

"Leafa!" Seorang pria muncul dari balik semak-semak dihutan itu. Pakaiannya terlihat begitu lusuh berantakan dan tubuhnya luka-luka. Langkahnya pun terlihat sedikit tertatih-tatih.

"Lucas, apa kau tak apa? Bagaimana keadaan disana? Nyonya, apa dia selamat?" Wanita itu mendekat ke arah suaminya. Ia menatap nanar pria itu mengharap akan mendengar kabar baik.

"Aku tak apa. Tapi pasukan kita sudah dikalahkan," ucap pria itu lalu menunduk dalam, "Nyonya, aku tak bisa menemukannya."

"Tak mungkin," Leafa menutup mulutnya tak percaya. Nyonya besar yang merupakan sang pondasi dalam keluarga kini menghilang. Mereka sekarang tak punya arah tujuan.

"Aku akan bawa anak kita. Kau pergi dan bawa Nona. Kita akan berpencar. Tempat ini juga sudah di kepung, jadi berhati-hatilah."

Leafa menganggukan kepala lalu mengusap air matanya yang berjatuhan deras. "Baiklah. Jaga Lumina baik-baik."

Lucas mengusap kepala istrinya tercinta, satu-satunya wanita yang ia cintai di dunia ini bahkan di kehidupan selanjutnya. Ia tak akan melupakan Leafa sampai kapanpun. "Jangan menangis. Aku merasa ini adalah pertemuan terakhir kita. Aku tak ingin melihat air matamu. Jadi tersenyumlah."

Leafa menggigit bibir bawahnya mencoba menahan emosinya. Ia menarik bibirnya kesamping mencoba paksa tersenyum pada suaminya untuk terakhir kali, "Aku pergi."

Leafa memeluk erat anak dalam pelukannya. Lucas lantas juga memeluk Lumina. Kedua berlari bersama lalu berpisah tepat di persimpangan jalan. Ini adalah perpisahan mereka untuk selamanya.

-TO BE CONTINUED-

[Tower of God Fanfic] : Tower FlowerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang