>II<
"Apa mungkin Miki orangnya? Tapi, bukankah ramalan ini begitu kejam? Kita tidak boleh membuat murid menumpahkan darah gurunya sendiri, bahkan mungkin Miki tidak sanggup melakukannya."
Richard mengacungkan jempol. "Tepat sekali, sangat tepat. Miki adalah orang yang dimaksudkan ramalan."
"Miki hanyalah seorang gadis bertelinga kucing yang melakukan petualangan mengililingi DER WELT, apa hebatnya dia?" tanya Cornwallis meremehkan.
"Gadis bertelinga kucing yang kau remehkan ini, Cornwallis. Dia lebih pintar dan kuat darimu," timpal Richard membuat Cornwallis bungkam. "Saat ini, Miki sedang dalam perjalanannya menuju Royal Gloriuse. Jika, pasukan Royal bisa menahan Reich sampai Miki tiba, maka kalian memenangkan perang ini."
"Lalu, apa yang terjadi jika kami gagal bertahan dan Reich berhasil menakhlukan Royal Gloriuse?" tanya Cornwallis memastikan.
"Royal Gloriuse akan menjadi bagian Reich selamanya, walaupun Ichsan mati sesuai ramalan. Aku dan Yunus mempunyai dua perintah yang harus dilakukan. Perintah pertama ialah mempertahankan Reich dan semua jajahannya jika ramalan itu terjadi setelah perang usai, dan perintah kedua adalah menarik mundur semua pasukan jika ramalan itu terjadi sebelum perang usai," ujar Richard. "Tolong, jangan remehkan hal ini. Meskipun ia mempercayai ramalannya, tapi ia tidak bermaksud kalah dalam perang ini dan Yunus akan melakukan segala cara untuk memenangkan perang ini. Sekarang, sudah terkumpul tujuh puluh ribu personel yang tersebar di Royal Gloriuse, dan besok seluruh personel akan berkumpul di Proudenburg untuk bergerak menuju Rosenburg, mungkin sekitar tiga hari lagi pasukan penuh Reich sampai di Rosenburg."
"Tunggu dulu, tujuh puluh ribu? Apa kau gila? Itu jumlah yang banyak untuk menakhlukan satu kota, bagaimana mungkin aku bisa menahannya? Daripada menahan serangan itu, aku lebih baik melarikan sang Ratu ke tempat yang aman," ucap Cornwallis tak percaya. "Aku hanya memiliki sepuluh ribu pasukan saja, lima belas ribu jika milisi dihitung. Ditambah bantuan dari UST, menjadi tiga puluh lima ribu, masih jumlah yang sedikit untuk mengalahkan mereka."
Richard berdiri, merapikan seragamnya, "Maaf, tapi aku hanya bisa membantu kalian dengan informasi saja. Aku permisi." Membungkuk hormat kepada Luciana, "Saya mohon undur diri, Yang Mulia Ratu." Kemudian berdiri tegap dan melangkah menuju pintu keluar.
"Tunggu, Richard! Mengapa kau membantu kami?" tanya Cornwallis.
Richard menghentikan langkahnya, berbalik menghadap Cornwallis untuk menjawab, "Alasanku dan tujuanku, bukanlah hal perlu kau khawatirkan. Satu hal yang harus kau khawatirkan, jangan membunuh Yunus ataupun Mieko, itu akan membuat Ichsan marah dan menggunakan kekuatan terpendam pada mata kirinya."
***
Royal Palace
Proudenburg, Ibu Kota Royal GloriuseLuniana duduk di ranjang empuk miliknya, lalu diam sejenak memerhatikan setiap sudut dan sisi kamarnya. Memang benar ini kamarnya, tapi dia merasa tidak betah berada di sini.
Kemudian dia mengalihkan pandangannya ke jendela. Berjalan mendekati jendela itu, dan melihat keluar. Kamarnya terletak di lantai tiga istana, mudah untuk kabur, tapi penjagaan di bawah sana tak pernah longgar. Banyak sekali tentara Reich yang berpatroli, bahkan ada yang berdiri diam menjaga daerah itu, seolah-olah Ichsan sudah menduga Luniana akan mencoba melarikan diri.
Terdengar pintu diketuk. Luniana segera berpura-pura tidur.
Pintu dibuka, seorang pria berseragam militer dengan topi bicorne bersama dengan dua orang pelayan perempuan masuk.
"Lupakan saja sandiwaramu itu, Luniana. Aku tahu kau tidak tidur, dan aku tahu kau sedang merencanakan sesuatu," ucap si pria bertopi bicorne dengan mata kiri yang ditutup penutup mata.
Luniana memposisikan dirinya duduk. "Apa maumu?" tanya Luniana ketus.
"Tidak ada, aku hanya datang untuk mengecek kondisimu dan menghantarkan makanan." Ichsan menyuruh kedua pelayan itu untuk pergi dan meninggalkan makanan yang mereka bawa tetap di sini.
Ichsan berjalan ke salah satu hidangan yang di bawa oleh pelayan tadi, yaitu kue coklat. Dia memotong sebagian kecil kue tersebut, lalu memakan hasil potongannya tadi. "Hm. Enak juga," katanya, lalu menghabiskan potongan kue yang ada di tangannya itu. "Pasti banyak hal yang ingin kau tanyakan, bukan?" tanya Ichsan, dia kembali memotong kue itu dan memakan hasil potongannya.
"Ya, sangat banyak. Saking banyaknya, aku ingin menikammu saat ini juga."
"Well, kenapa menunggu? Kau bisa melakukannya sekarang. Ada pisau di meja ini, kau bisa berlari dan mengambilnya, lalu menikamku dengan itu."
Luniana melihat pisau yang Ichsan tunjuk, lalu ia menatap Ichsan seolah memberi jawaban 'ide bagus, kenapa tak kucoba saja' kemudian dia mengubah tatapannya itu seperti 'tapi, aku ingin menikamnya dengan pedangku'. Ichsan hanya tertawa melihat ekspresi gadis ksatria itu.
"Kurasa, aku akan menahannya untuk sementara, ada banyak hal yang ingin kutanyakan."
"Silahkan, kau boleh bertanya sesukamu. Tapi, ketika kue coklat ini habis, berarti waktumu juga sudah habis."
"Kenapa kau membiarkanku tetap hidup?" tanya Luniana, suasana seketika menjadi mencekam. Namun Ichsan menanggapinya dengan senyuman, senyuman yang begitu misterius
"Bukankah kau sudah mendengarnya sendiri, saat sebelum aku menikammu. Aku bilang 'tidak akan kubiarkan kau mati begitu saja' seperti itu, lalu kenapa kau masih bertanya?"
"Tidak, bukan itu maksudku. Beritahu aku alasan yang sebenarnya! Serta alasan membiarkan ayah dan ibuku tetap hidup."
"Pencitraan. Untuk menunjukkan bahwa perang ini benar-benar atas nama perdamaian bagi DER WELT, aku butuhkan kalian hidup."
"Pencitraan?"
"Rakyat dari negara yang kuserang pasti akan menunjukkan kebenciannya padaku, lalu pemberontakan besar-besaran pun terjadi. Maka dari itu, setelah aku berhasil menguasai seluruh negara, aku akan menunjukkan wajah kalian untuk menarik simpati mereka. Sudah kubilang bukan, sebelum perang, penguasa dari negeri yang dijajah tetap akan berkuasa hanya saja mereka harus mengirimkan laporan setiap minggunya. Sampai saat ini, aku tidak pernah memerintahkan tentaraku untuk membunuh petinggi negara, agar para petinggi bisa meyakinkan rakyatnya bahwa Einheit Reich adalah pemersatu kedamaian."
"Mengapa kau ingin menyatukan semua negara, maksudku, mengapa harus berada di bawah perintah Reich dan ditempuh dengan peperangan, kita bisa membentuk aliansi antar negara agar semuanya damai dan tentram."
"Karena aku tidak mempercayai aliansi. Jika semua negara bersatu atas nama Reich, dan setiap gerakan militernya dikendalikan Reich, bukankah akan lebih mudah untuk menciptakan perdamaian? Soal jalur perang, aku sudah bernegosiasi dengan seluruh pemimpin negara, tapi banyak dari mereka tidak menyetujuinya dan malah melawanku."
"Kenapa kau melakukannya sejauh ini?"
Ichsan memerintahkan Luniana untuk berhenti dengan tangannya, padahal kue coklat itu masih tersisa empat potong. "Setidaknya, aku ingin mengabdi dengan benar di sisah hidupku ini." Dia melepas penutup mata kirinya. Tidak ada apa-apa, hanya mata yang terpejam dengan bekas luka tebasan saja. Dia menunjuk mata kirinya itu. "Ini..." katanya, memutuskan kalimatnya sejenak, lalu menyambungnya, "hidupku tidak akan lama lagi."
"Tunggu... Apa kau sakit? Ada apa dengan mata kirimu? Apa tebasan pedang Tharlos beracun?"
Ichsan tidak menjawabnya. Dia berbalik, berjalan menuju pintu keluar, dan kemudian keluar begitu saja membiarkan Luniana bertanya-tanya.
--To Be Continue--
Miki : "Jadi gini..."
Ichsan : "Apa?"
Miki : "Jadi gini, berarti gak gitu."
Ichsan : "Terserah deh."Semoga suka.....
KAMU SEDANG MEMBACA
DER WELT II : REICH KRIEG
Fantasia[COMPLETED] [Sequel of DER WELT] "Always learn from history!" -Kaizer of Reich [DerProject] Raja Tharlos kalah? yah, itu benar. Apakah dunia aman? Tentu tidak! Raja Tharlos berhasil dikalahkan, kekuatannya tersegel aman dan dijaga dengan ketat. Duni...