Chapter 31

3.7K 465 121
                                    

Awalnya, Rena baru saja hendak tertidur manakala dirasa ia cukup lelah karena menangis sejak Jungkook turun dari ranjang dan keluar hingga setengah jam kemudian. Namun, tatkala ponsel Jungkook tidak henti-hentinya bergetar di atas nakas, hal itu sontak membuatnya memaksakan diri dengan tenaga yang masih tersisa untuk mencoba meraih ponsel tersebut kendati begitu kesulitan. Namun, pada akhirnya ia pun mendapatkannya.

Ada begitu banyak panggilan dan pesan yang masuk. Gadis itu menimang cukup lama untuk sekadar membuka dan mengetahui pesan seperti apa sehingga ponsel pemuda itu tak bisa terdiam barang semenit pun. Beruntung Jungkook tidak memberi sandi apa pun sehingga membuat gadis itu lebih mudah membukanya. Persetan jika itu tindakan yang salah!

Baru saja ia hampir membuka, namun, sebuah pesan lagi-lagi kembali masuk, membuatnya terdiam seketika tatkala mengetahui si pengirim tampak dari notifikasi di layar kunci beserta isi pesan yang tidak cukup ditampilkan semuanya.

Sama sekali tak memiliki persiapan yang baik, yang sekiranya cukup untuk bertahan manakala mendapatkan serangan mendadak untuk merobohkan pertahanannya. Dengan hati gamang setengah penasaran, Rena lekas membukanya dengan perlahan.

Dan betapa hancurnya ia ketika membaca satu per satu pesan dari Hyejin.

[Di mana kau? Bayi kita merindukan ayahnya.]

[Jung, besok adalah jadwal check up untukku. Kau akan menemaniku, bukan?]

[Jung, datanglah kemari! Sungguh, aku membutuhkanmu. Tidak, tidak. Bukan hanya aku, tetapi anakmu. Anak kita.]

[Jangan bilang jika kau bersama Rena! Sungguh, aku lebih membutuhkanmu.]

Cukup.

Matanya memanas, terasa begitu perih dan lelah dengan air mata yang sontak tumpah tatkala ia memejam. Hatinya meronta, begitu tersiksa tatkala spontan disayat bersama dengan setiap kata yang terbaca. Dibilang hancur, ia sudah hancur dalam kurun waktu yang lama. Jadi, harus dengan apa lagi menyebutnya? Puing-puing yang menjadi sisa pertahanannya kini seolah lenyap—lebur hanya dengan satu hantaman yang mulai merobohkan bentengnya.

Kepercayaannya, cintanya, harapannya, kekasihnya. Ia kehilangannya. Rena kehilangan semua itu.

Rena buru-buru meletakkan ponsel Jungkook kembali di atas nakas dengan asal, lekas menepuk dadanya sendiri yang mendadak terasa begitu sakit. Sedang, rasa mual tengah menyumpal—mengaduk perutnya begitu hebat dengan kepala penuh yang berkecamuk luar biasa. Ia tahu kondisinya begitu lemah, pun tak mengelak jika kesadarannya terasa dikikis dengan perlahan.

"Aku mencintaimu. Aku sangat mencintaimu, Rena."

Suara itu terdengar kurang lebih seperti bisikan tatkala merasuk ke dalam kepalanya, menghadirkan gelenyar lara setengah getir manakala membuat kedua isisnya menyibak paksa dengan napas tersenggal-senggal tatkala rasa panas nan sesak memenuhi dadanya di dalam sana.

Sakit. Sakit. Sangat sakit.

Kendati sudah memiliki praduga seperti itu sebelumnya, rasanya tetap saja menyakitkan manakala benar-benar menerimanya dengan langsung. Gadis itu menggeleng, terus memukuli dadanya dengan menangis dan sesekali terisak parau.

Mati. Mati. Mati.

Kiranya, kematian lebih baik daripada rasa sakit yang semakin panjang—tak pernah usai dan tak memiliki ujung. Lagipula, cepat atau lambat, ia tetap akan meninggalkan banyak orang 'kan?

Aku tidak ingin. Sungguh. Namun jika begini, aku lebih memilih mati daripada merasakan sakit ini.

Ada kalanya, di mana hati berteriak meminta berhenti, namun otak sama sekali tak merespon. Yang Rena lakukan hanyalah menangis, terus menangis kendati tahu itu akan memperburuk segalanya. Tidak memperbaiki keadaan, dan memperburuk kondisi kesehatannya.

LOST Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang