(Completed)
"The art of dying is the art of living. The honesty and grace of the years of life that are ending is the real measure of how we die. It is not in the last weeks or days that we compose the message that will be remembered, but in all the...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Karena gue nggak mau lihat muka lo lagi."
Jeno mengerjap setelah mendengar kata-kata Giza, seakan-akan gadis itu baru saja bicara dalam bahasa yang tidak dia pahami. Giza menggigit bibir, mengepalkan kedua tangannya kuat-kuat seraya berusaha mati-matian menahan tangis yang hendak pecah, lalu dia mengulangi ucapannya. Genggaman Jeno pada pergelangan tangannya melonggar. Mata cowok itu masih menatapnya, tapi kini ada luka di sana.
"Maksud kamu... apa?"
"Gue nggak mau lihat lo lagi. Mulai hari ini dan seterusnya, jauh-jauh dari gue. Ngerti?" Giza tahu dia sedang jadi orang yang sangat jahat sekarang.
Jeno menggeleng. "Kamu mungkin belum tau, tapi saya punya perjanjian saya sendiri sama mantan pacar kamu. Kamu nggak perlu memikirkan ancaman yang dia kasih. Setelah ini, kamu nggak mesti takut lagi sama dia. Saya janji."
Tidak. Dean tidak mengancam Giza. Faktanya, cowok berandal itu bahkan tidak pernah menemuinya lagi, atau mengganggunya lewat pesan teks. Dia seperti menghilang saja... seolah ditelan Bumi. Dan itu yang Giza takuti. Dia mengenal karakter cowok itu. Diamnya sekarang sama seperti tenang sebelum badai. Entah badai itu bakal menyerang Jeno, atau justru menyerangnya, dia betul-betul tidak ingin Jeno terlibat dengan apapun yang berhubungan dengan Dean. Giza menghela napas. Tanpa sengaja, matanya jatuh pada bahu Jeno. Dia sudah mendengar soal penyerangan yang Dean lakukan pada Jeno dan teman-temannya tempo hari—yang berakhir dramatis karena keterlibatan sekelompok banci. Pada serangan yang mungkin saja terjadi berikutnya, belum tentu Jeno seberuntung kemarin-kemarin.
Giza tidak bisa mengambil risiko.
"Jangan."
"Apa?"
"Jangan terlibat sama dia."
"Giza—"
"Jangan terlibat sama dia!" bisikan Giza berubah jadi seruan.
"Saya nggak bisa. Saya udah—"
"Nggak ada yang terlanjur. Temui Dean. Bilang lo minta maaf, janji kalau lo nggak akan pernah nemuin gue lagi."
Tatapan Jeno berubah tegas, suaranya tenang kala dia menjawab lugas. "Saya nggak bisa."
"Kenapa nggak bisa?"
"Sebab saya udah terlalu peduli sama kamu."
"Gue udah bilang tadi, gue nggak mau ngelihat lo lagi!"
"Tapi saya mau." Jeno membantah. "Nggak apa-apa, kalau kamu nggak mau lihat saya lagi, selama saya masih bisa lihat kamu."
Giza menelan ludah, tapi tetap enggan terlihat lemah. Cewek itu menatap Jeno nanar, lalu menarik risleting jaket Jeno dan membukanya. "Gue nggak butuh jaket lo!"