(Completed)
"The art of dying is the art of living. The honesty and grace of the years of life that are ending is the real measure of how we die. It is not in the last weeks or days that we compose the message that will be remembered, but in all the...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Lima tahun kemudian.
Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam, namun Nana masih terjaga di depan monitor komputernya. Matanya menatap pada layar dengan penuh konsentrasi, hingga ada kerut muncul diantara kedua alisnya sesekali. Terkadang, dia mengalihkan perhatian pada buku terbuka di atas meja, tepat di samping tetikus yang jarang lepas dari genggaman tangannya. Nana sempat berhenti dan saat dia melakukan itu, rentetan melodi yang menyenangkan didengar akan mengalun, memenuhi seisi ruangan.
Tak lama, pintu kamarnya diketuk pelan, disusul suara seseorang memanggil. "Nana?"
"Dikit lagi. Nanti gue tidur, kok."
"Bukan itu."
Nana mendorong mundur kursinya dengan satu kaki, otomatis membuatnya ikut bergeser menjauhi meja. "Hm, kenapa?"
"Jeno bikin mi instan."
"Duluan aja."
Injun berdecak, akhirnya masuk ke kamar Nana begitu saja tanpa permisi. Mereka adalah sahabat yang tidak terpisahkan semasa SMA, tapi selepas dari sana dan saat ketiganya memutuskan tinggal bersama setelah semua yang terjadi, mereka bertiga memutuskan menetapkan aturan bahwa seseorang tidak boleh masuk ke kamar orang lain tanpa izin, sekalipun pintunya tidak terkunci. Setiap orang butuh privasi untuk diri sendiri dan tentu saja, Jeno-Injun-Nana termasuk di dalamnya.
"Lo mau bikin Jeno ngambek?"
"Gue masih sib—"
"Itu masih minggu depan."
"Minggu depan itu sebentar lagi. Gue harus menyelesaikan ini karena kalau nggak—"
"Dan gue nggak bilang kita bakal ngambil semua waktu lo sampai-sampai lo nggak sempat lagi menyelesaikan itu." Injun berkacak pinggang. "Udah satu minggu lewat sejak kita makan bareng—oh, atau lebih tepatnya, sejak lo makan bareng gue dan Jeno."
"Injun—"
"Kalau nyokap lo tahu lo begadang terus-terusan kayak gini hampir setiap hari, reaksinya bakal kayak gimana ya?"
Oke, jika Injun sudah mengeluarkan kartu AS-nya seperti itu, Nana betul-betul tidak berdaya. Dia menghela napas, bangkit dari duduk dan mengikuti Injun yang berjalan keluar dari kamar sambil tersenyum puas. Ada meja makan di unit kondominium tempat mereka tinggal, tapi seringnya, mereka lebih suka menggeser meja kecil di depan sofa ruang tengah dan menggelar tikar untuk kemudian makan lesehan daripada duduk berhadap-hadapan di meja makan.