(Completed)
"The art of dying is the art of living. The honesty and grace of the years of life that are ending is the real measure of how we die. It is not in the last weeks or days that we compose the message that will be remembered, but in all the...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Rasa sakit tajam langsung menusuk bahu Jeno begitu dia membuka mata. Cowok itu mengerang tanpa suara, lalu mengerjap kala menyadari matanya kini memandang pada langit-langit yang asing. Sorot lampu yang terang sempat membuat Jeno mengernyit. Sembari menghela napas, cowok itu berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi sebelum dia tidak sadarkan diri. Bayangan peristiwa demi peristiwa melintasi benaknya, kemudian dia tersadar kenapa sekujur tubuhnya terasa kaku dan remuk sekarang.
Seumur hidupnya sampai sekarang, Jeno tidak pernah berantem. Dia selalu jadi anak baik dengan nilai raport yang lumayan. Bukan bintang kelas, tapi cukup untuk bikin Mama tenang sebab dia tidak pernah membuat masalah. Jeno tidak peduli sekalipun orang kerap bilang, cowok yang tidak bisa berantem itu tidak jauh beda dengan banci. Sekarang, merasakan efek dari ditonjok orang pertama kalinya membuat Jeno ingin menangis. Rasa sakit yang paling terasa memang berpusat di bahunya, namun bukan berarti bagian-bagian tubuhnya yang sempat terkena hantaman tinju tidak terasa sakit.
Tapi di mana dia sekarang? Jeno tidak pernah mengenal siapapun yang punya kamar seperti ini. Ini juga bukan kamarnya. Bukan pula rumah sakit, sebab pencahayaan ruangannya terasa lebih hangat dan Jeno tidak sedang terbaring di atas brankar rumah sakit.
"Nggak usah bangun dulu."
Gerakan Jeno terinterupsi oleh suara seseorang bersamaan dengan Terry yang masuk lewat pintu kamar. Jeno mengedip beberapa kali. "Bapak ngapain di sini?!"
Terry berdecak. "Anak-anak jaman sekarang memang kurang ajar. Kamu tuh di tempat saya!"
"Ini kamar bapak?"
"Iya."
"Kok bagus?"
"Maksud kamu apa ya?!" Terry bertanya dengan nada setengah tersinggung.
"Kirain saya bapak tinggal di kos-kosan..."
"Kamu mau bilang kalau tampang saya nggak ada tampang orang kayanya sama sekali?!"
Jeno nyengir, sejenak lupa pada rasa sakit di badannya. "Bukan gitu, Pak."
"Saya kira kamu lebih baik dari Sontoloyo first dan Sontoloyo second. Tapi ternyata sama aja. Kalian ini memang satu kaum kayaknya." Terry mendelik, namun caranya memandang Jeno melembut kala matanya jatuh pada memar-memar di bagian kulit Jeno yang tidak tertutup pakaian. "Jadi, ada yang mau kamu jelaskan atau tanyakan ke saya?"