first note

117K 14.9K 13.3K
                                    

But it felt that it was my heart which was broken.

Something had broken in me to make me

so cold and so perfectly still and far away.

—James Baldwin—

*

Bisakah seseorang terbiasa dengan sepi?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bisakah seseorang terbiasa dengan sepi?

Jika pertanyaan itu ditujukan pada seorang Tertius Senandika, tentu respon pertamanya adalah tawa. Dia bukan hanya terbiasa, namun telah lama berkarib dengan sepi. Kosong adalah apa yang lumrah menghiasi hari-harinya, meski kerapkali, di keheningan pukul tiga pagi dalam studionya yang disesaki oleh benda mati, Terry bertanya-tanya seperti apa rasanya hidup layaknya kebanyakan orang yang tidur di malam hari, bukannya berkutat dengan pulpen dan tuts piano hingga bikin pegal jari.

Sekarang pukul tujuh-empat-lima malam. Langit Jakarta masih terlihat sama ditatap dari balik salah satu sisi apartemennya yang terbuat dari kaca. Sakit, kotor, sekarat oleh akumulasi polusi harian. Jangankan sorot cahaya bulan, bahkan untuk menampilkan kerlipnya saja gemintang enggan. Kelam nan kelabu, membuatnya disengat gundah yang mengganggu.

Terry memilih mendekati pianonya yang langsung menghadap ke kaca, sadar jika telah ada lapisan debu tipis di bagian penutup tuts hitam-putihnya. Wajar, dia jarang bermain piano akhir-akhir ini, juga hampir lupa jalan menuju studio musik yang tak alpa dikunjunginya saban hari. Bukan berarti dia lelah bermusik. Serupa darah dalam tubuhnya, musik adalah alasan kenapa jantungnya masih bekerja. Tapi keinginan tak selalu sejalan dengan kenyataan. Musik selalu jadi satu-satunya jawaban untuk segala pertanyaan terkait impian, namun kini, musik turut menjelma jadi sesuatu yang membunuhnya secara perlahan.

Ting...

Terry menekan satu tuts, membiarkan suaranya bergema memenuhi seisi apartemen yang senyap-hampa. Bunyi itu seolah-olah teresonansi ke dalam benaknya, mencipta kenang yang menyerbu tanpa permisi seperti banjir bandang. Nama-nama mereka berputar dalam otaknya, tidak mau berhenti, seperti teriakan yang digencarkan oleh kekosongan.

Jevais Nareshwara...

Siapa sebenarnya dia? Terry tidak pernah tahu, juga tidak pernah tertarik. Seharusnya tetap seperti ini, hingga sikap yang adik laki-lakinya tunjukkan pada anak itu membikinnya penasaran. Sampai suatu hari, di tengah perdebatan mereka yang tak diherankan selalu terjadi karena mereka tidak pernah bisa rukun setiap kali ditempatkan dalam ruangan yang sama pada radius kurang dari seratus meter, Yeda membawa nama Jevais Nareshwara dan dengan tololnya, Terry tersulut, terseret untuk membuat perjanjian yang tidak dia sangka, akan agak dia sesali.

Dream Launch ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang