The coyote spirit animal makes its presence known
when you feel like you have lost your way.
It signifies the answers to your problems that often come in ways
and forms you least expect.
Tertius Senandika, is my coyote.
—Jevais Nareshwara—
*
Tindakan salah satu teman Dean—Jeno memutuskan menamainya Samat, kependekan dari sawo-mateng karena memang itu warna kulitnya—berhasil membuat bukan hanya Jeno, tapi Nana dan Injun terperangah. Mereka ternganga sejenak, sementara Samat memasang ekspresi layaknya ibu tiri dalam sinetron yang baru saja menendang anaknya masuk selokan. Dengan gaya tak pedulian, dia membiarkan robekan kertas bercap kaki Bongshik itu jatuh ke atas meja, dekat dengan plastik berisi snack milik Nana.
Detik demi detik berlalu. Injun diam. Nana diam. Jeno diam. Samat masih berlagak pongah seraya melipat tangan.
Beberapa detik lainnya lewat, dan Samat mulai merasa awkward. "Jadi, ada pertanyaan?"
Injun melirik Nana dan Jeno, lalu katanya. "Gue sih no, nggak tahu kalau dua orang ini."
Nana memandang cap kaki Bongshik di atas kertas. "Gue nggak ngerti maksudnya apa tapi kira-kira Bongshik marah nggak ya kalau tahu cap kaki saktinya diperlakukan kayak gini?"
"Nggak tahu. Tapi kalau bisa jangan sampai Bongshik tahu." Jeno menukas.
"Wah, kalau soal itu sih kita nggak bisa janji—"
Brak!
Diskusi internal antara Jeno, Injun dan Nana terhenti kala Samat menggebrak meja. Kompak, kepala ketiganya tertoleh pada pemilik tangan ceking yang kini mendengus kesal sambil melotot. "Tanya kek kenapa gue ngerobek kertas itu!"
"Oh, kamu mau ditanya?" Jeno mengangkat alis.
"Boleh-boleh," Nana manggut-manggut. "Kenapa lo ngerobek kertas itu?"
"Perjanjian teman lo sama Dean batal. Dean udah nggak naksir Giza. Ambil aja buat lo, katanya. Berhubung dia juga masuk rumah sakit, dia nggak bakal bisa latihan buat berpartisipasi dalam lomba band yang akan datang. Intinya, semuanya batal. Selama teman lo nggak nyari masalah lagi sama kita-kita, kita nggak akan nyari masalah sama teman lo."
"Wadoh, baru tahu gue kalau tabrakan bisa bikin otak orang kebalik. Kirain cuma amnesia doang!" Injun berseru, yang bikin dia dapat delikan mata dari rekan Samat yang lain.
Jeno mengerjap tak percaya. "Ini... beneran?"
"Beneran lah! Masa bohongan!"
"Oh, oke, deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Launch Project
Teen Fiction(Completed) "The art of dying is the art of living. The honesty and grace of the years of life that are ending is the real measure of how we die. It is not in the last weeks or days that we compose the message that will be remembered, but in all the...