DLP: ALTERNATE ENDING

85.1K 9.7K 5.7K
                                    

Alternate ending: 

An alternate ending is an ending of a story that was considered or even written, but ultimately discarded in favor of another resolution. Generally, alternative endings are considered to have no bearing on the canonical narrative.

***

Sesaat sebelum Yeda tiba di pintu depan Gerimis yang terbuat dari kaca, alisnya terangkat heran

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sesaat sebelum Yeda tiba di pintu depan Gerimis yang terbuat dari kaca, alisnya terangkat heran. Dia tidak berpikir apa-apa waktu Terry mengiriminya sebuah chat singkat, mengajaknya bertemu sore ini. Mereka biasa bertemu di Gerimis. Sesekali mengobrol, namun lebih banyak hanya untuk saling menyapa dengan gestur kaku seakan-akan mereka adalah orang asing yang tak pernah saling kenal, bukannya sepasang saudara kandung. Namun, hari ini ada yang berbeda.

Gerimis nyaris kosong. Tidak ada pengunjung. Tidak ada pekerja yang biasa menerima pesanan dan mengantarkan minuman. Lampu-lampu tetap menyala, mencipta keremangan cahaya kuning yang indah tetapi hampa. Yeda menarik napas, mendorong pintu sampai terbuka dan disambut oleh seseorang yang duduk di belakang piano.

"Lo telat satu menit. Terlalu bingung sampai-sampai harus jadi patung dulu di depan pintu?" Terry bersuara, membuat Yeda berdecak.

"Kemana semua orang?"

"Gue usir."

"Gue serius."

"Gue juga serius." Terry menarikan jari-jarinya dengan asal di atas tuts hitam-putih piano, mendengungkan nada-nada yang meskipun terkesan acak, entah bagaimana tetap terdengar harmonis. "Come here."

"Apa yang lo mau dari gue?"

"I said, come here."

"Soal Jevais—"

"Dalam sepuluh detik, Segara Yeda Senandika, kalau lo nggak kesini, gue bakal anggap lo nggak mau ngomong sama gue dan itu artinya, gue buang-buang waktu doang. Ada banyak urusan yang harus gue selesaikan."

Yeda menyerah, tak membantah lebih jauh dan menghampiri podium tempat dimana Terry sedang duduk menghadapi piano. Sorot lampu menyirami mereka, membuat keduanya terlihat seperti ilusi yang terlampau elok buat jadi nyata. Yeda berdiri di dekat salah satu sudut piano, sementara Terry masih belum memandang padanya.

Laki-laki itu hanya mengenakan kemeja putihnya yang sederhana, menggulung lengannya sampai ke siku, menempatkan kesepuluh jarinya di atas tuts pencipta melodi.

"Apa?"

"Gue nggak tahu sampai kapan gue bisa mendengar. Ada yang bilang, semuanya bisa bertambah parah. Ada yang berkata, segalanya nanti membaik. Tapi denging itu masih sering datang dan gue nggak mau banyak berharap." Yeda mengernyit, terkejut sebab tidak biasanya Terry mau seterbuka itu dengan orang lain tentang dirinya. "Mungkin besok dunia sudah jadi senyap buat gue. Bisa jadi, hari ini hari terakhir gue bisa mendengar permainan gue sendiri."

Dream Launch ProjectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang