"Baik! Ayo menikah." Ucap Lana menatap gue khawatir, gue tahu Lana peduli sama gue tapi gue serius dengan ucapan gue tadi juga, gue gak mau jadi orang egois dengan cuma mentingin hidup gue.
"Lan! Kalau memang Lana keberatan Aya gak__"
"Ayo menikah tapi Aya harus tahu satu hal, setelah kita menikah nanti, Lana gak bisa menjamin atau bahkan menjanjikan apapun untuk nasib rumah tangga kita."
"Detik inipun Lana sendiri gak tahu apakah Lana bisa menjadi suami yang baik untuk Aya nanti, yang bisa Lana janjikan sekarang hanya Lana akan berusaha sebaik mungkin untuk bertanggungjawab."
"Kalau memang Aya setuju dan gak keberatan hidup bareng Lana, ayo menikah dan selebihnya biar takdir yang menentuin akan bagaimana nasib rumah tangga kita."
"Yak Alana Rian Akbar, tengkyuu tengkyuu tengkyu." Balas gue menggenggam tangan Lana tanpa sadar.
"Jadi bisa kita pulang sekarang? Lana masih punya ujian besok." Gue mengangguk cepat untuk pertanyaan Lana barusan, nurut dari pada tar ni anak berubah pikiran.
.
.
."Lana akan menikah dengan Kak Aya!" Ucap Lana belum melepaskan genggamannya ditangan gue.
"Lana! Apa kamu pikir menikah itu pekara mudah? Tanggung jawab seorang suami tidak segampang penikiran kamu." Bentak Om Akbar untuk putra bungsunya, Lana tersenyum sinis dan mengeratkan genggamannya ditangan gue.
"Kalau Papa tahu tanggung jawab seorang suami itu gak gampang kenapa Papa malah menawarkan Lana sebagai pilihan lain untuk Kak Aya?" Tanya Lana balik masih mencoba sesopan mungkin.
"Lo harusnya sadar diri, gimana bisa anak SMA kaya Lo ngelangkahin gue untuk menikah?" Tiba-tiba Mas Suga maju narik kerah kemeja Lana gitu aja, Lana melepaskan genggamannya di tangan gue dan balik menatap Mas Suga dengan tatapan gak kalah dingin.
"Jangan plin-plan Bang! Harusnya Abang bisa lebih bijak untuk bersikap, waktu Kak Aya dengan ikhlas hati nerima Abang, Abang ngapain aja?" Tanya Lana masih dengan tatapan yang sama.
"Dulu Kak Aya bersedia nerima Abang tapi Abang malah selingkuh dan pacaran sama perempuan lain? Sekarang Kak Aya udah nolak kenapa malah Abang yang maksa? Bukankah Abang selalu ngajarin Lana untuk punya pendirian? Dimana pendirian yang Abang maksud sekarang?" Dan raut wajah Mas Suga langsung berubah.
"Selingkuh? Maksud Lana apaan Ga? Lo nyelingkuhin Adek gue?" Tanya Mas Vian melepas paksa tangan Mas Suga yang mencengkram kerah kemeja Lana, Mas Vian berdiri tepat dihadapan Mas Suga dengan tatapan membunuhnya.
"Jawab pertanyaan gue, apa ini yang Lo lakuin dibelakang Adik gue? Lo pikir Adik gue apa? Mainan Lo hah?" Dan satu pukulan mendarat di wajah Mas Suga, gue yang aslian kaget langsung beranjak narik tangan Mas Vian mundur, gak harus ribut-ribut didepan keluarga.
"Menikah dengan Lana mungkin memang pilihan yang jauh lebih baik." Melepaskan tatapan membunuhnya untuk Mas Suga, Mas Vian nepuk pelan bahu Lana dan berlalu ninggalin kita semua gitu aja, gue yakin Mas Vian juga kecewa, sekarang Mas Vian bahkan natap gue dengan raut bersalah.
"Kalian menikah minggu depan." Ayah mengusap kasar wajahnya dan ikut meninggalkan ruang tamu sekarang, gue sendiri langsung narik Lana kehalaman belakang meninggalkan Bunda, Mas suga dan kedua orang tuanya dalam raut wajah semakin kebingungan.
"Kenapa Lana harus ngomong kaya tadi?" Tanya gue natap Lana gak habis pikir.
"Mau sampai kapan Aya nutupin kelakuan Mas Suga? Harusnya Aya lebih pintar bersikap, kenapa Aya bisa ngejawab kalau Kiran bentak sedangkan berdiri tertunduk dengan semua kelakuan Mas suga?"
"Lana udah gak bisa ngeliat sikap bodoh Aya yang satu ini." Jawab Lana balik menatap gue kesal.
"Lana ngatain Aya bodoh?"
"Bukan Aya tapi pemikiran Aya, hidup itu pilihan, bahagia atau enggak itu tergantung usaha Aya sendiri." Gue melepaskan genggaman gue dilengan Lana.
"Sama halnya hari ini, Aya milih Lana itu juga pilihan, kenapa Aya pilih Lana? Itu karena Aya yakin kalau bareng Lana Aya bakalan lebih bahagia, apa tebakan Lana salah?"
"Enggak." Jawab gue marah.
"Yaudah Lana yang bener, udahkan? Lana masih harus belajar, besok ujian, Aya juga jangan banyak mikir aneh-aneh, tar makin aneh."
"Walaupun ujian tapi minggu depan jangan kabur." Cicit gue narik lengan kemeja Lana gak yakin.
"Kabur? Kesempatan Lana nolak Aya udah lewat jadi Lana akan berusaha sebaik mungkin untuk jadi suami Aya."
.
.
."Seminggu kemudian."
Seminggu berlalu, udah dua hari gue menyandang status seorang istri dari Alana, si siswa SMA yang sebentar lagi bakalan menghadapi ujian akhir, walaupun kita berdua udah sah menikah tapi kita berdua masih belum tinggal serumah, Lana dirumah orang tuanya dan gue dirumah orang tua gue sendiri.
"Jangan hamil, ingat Lana masih SMA, masa depannya masih panjang." Ucapan Ayah ngewanti-wanti kita berdua, mungkin ini alasannya gue sama Lana dibiarin hidup terpisah, pemikiran orang tua kita berdua terlalu jauh.
Karena gue, srategi hidup seorang Lana beneran berubah, karena gue Lana harus nanggung tanggung jawab berat, gimana bisa gue ngebiarin Lana nanggung bebannya sendirian? Berantem sama Mas Suga juga bebankan? Gue gak mungkin ngebiarin Lana terpuruk makin dalam lagi.
Setelah mikirin semua jalan yang paling baik, gue udah mutusin untuk ngebiarin Lana ngejar cita-citanya, status Lana mungkin berubah tapi gue gak akan jadi penghalang Lana untuk ngejar cita-citanya, Ayah bener, masa depan Lana masih panjang, melepaskan Lana untuk kuliah di luar negeri mungkin bukan pilihan buruk.
"Kak Aya, Kakak kenapa bengong? Gak ngajarin Kak Lana hari ini?" Tanya Dita nepuk pelan lengan gue.
"Heumm? Lana itu pinter jadi ngapain Kakak ngajarin dia terus? Mak nya juga ada." Jawab gue terkekeh aneh, gue awalnya berniat jujur ke Dita mengenai status gue sekarang tapi gue ragu, Dita kayanya juga suka sama Lana, adik sepupu gue ini jelas tertarik dengan seorang Alana.
"Kakak berantem sama Kak Lana? Bukannya Kak Lana pinternya udah dari dulu ya? Kenapa sadarnya baru sekarang?" Hah? Udah tahu kenapa nanya?
Tapi sebenernya gak berantem juga sih, selepas akad kemarin, Lana memang gak ngabarin gue apapun dan gue juga males nanya kabarnya duluan, gengsi lebih tepatnya, gue takut salah bersikap.
"Beneran berantem?" Tanya Dita makin ngebet.
"Enggak Ta, dari pada kamu ngerecokin Kakak kenapa gak kamu tanya langsung ke orangnya?"
"Memang boleh? Dita pikir Kakak gak suka kalau Dita nanyain Kak Lana terus, yaudah bagi nomernya sini biar Dita tanya langsung sendiri." Beneran mau nanya?Gue kehabisan kata.
Dengan berat hari gue ngasih handphone gue ke Dita dan bangkit keluar dari kamar, butuh yang dingin-dingin ni kayanya, setiap kali Dita main ke rumah ada aja permintaan ni anak satu, pusing gue ngadepin adik sepupu gue yang satu ini.
"Kak Aya passcode apa?" Teriak Dita dari atas, ya Allah ni bocah suara udah kaya spiker mesjid.
"Angka 9 sembilan kali." Teriak gue balik, salah apa gue punya saudara modelan begini semua?
Gue yang lagi duduk sambilan nyeruput susu kotak gue harus balik nahan kesal karena tetiba Dita turun dengan teriakan makin gak jelas, ni anak kenapa lagi? Gak nemu nomernya apa gimana?
"Apa lagi Dita?" Tanya gue dengan senyum terpaksa.
"Kak Lana mau ngomong, nah." Sambil menjulurkan handphone-nya terpaksa, Dita masih stay duduk didepan gue memperhatikan gue ngomong apa, Lana pun satu, nanya gue kenapa harus dari handphone Dita?
"Kenapa?" Dan gue membulatkan mata kaget dengan ucapan Lana sekarang, ni anak ngancem gue?
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...