(17)

2.8K 361 90
                                    

"Tingkat ketulusan tertinggi dalam mencintai adalah membiarkan orang yang kita cintai berbahagia dengan pilihannya." Gue mengangguk mengiyakan.

"Tapi kalau itu kejadian di Aya, mohon maaf sekali, Aya gak akan pernah ngelepasin Abang bahagia sama orang lain." Balas gue yakin.

Memang ada benernya yang Bang Lana omongin tapi gue juga sama sekali gak bisa ngebayangin kalau gue yang harus mengelepasin Bang Lana bahagia sama perempuan lain, kalau Bang Lana ninggalin gue, terus gue harus bahagianya sama siapa?

"Tapi Abang bakalan ngelepasin kamu kalau memang kamu akan jauh lebih bahagia sama orang lain." Gue menatap Bang Lana lama setelah ucapannya ini.

Apa gue harus bahagia dengan jawabannya barusan? Apa gue harus bahagia karena ternyata Bang Lana memang tulus ingin membahagiakan gue? Atau gue harus kecewa karena Bang Lana sama sekali gak keberatan melepaskan gue nantinya?

"Abang serius? Apa Abang bisa ngelepasin Aya untuk laki-laki lain?" Tanya gue meyakinkan diri gue sendiri, apa ada yang salah?

"Seandainya Abang udah gak ada, Abang izinin kamu untuk nyari pengganti Abang, jangan siksa diri kamu cuma untuk bersedih atas kepergian Abang, Ay, cari kebahagian kamu sendiri walaupun dengan orang lain." Mata gue langsung berkaca-kaca.

"Abang kenapa? Apa ada masalah? Bukan ini awal pembicaraan kita." Pembahasan kita berdua sekarang melenceng jauh dengan pembahasan kita berdua tadi, yang awalnya ngomongin Dita kenapa malah jadi nyasar kemana-mana?

Lagian kenapa tiba-tiba ngomong kalau seandainya Bang Lana nanti udah gak ada? Memang Bang Lana mau kemana? Apa Bang Lana berniat ninggalin gue lagi? Apa dua tahun masih belum cukup? Maksudnya apa lagi sekarang?

"Abang mau ninggalin Aya lagi?" Lirih gue yang membuat Bang Lana menggeleng cepat.

"Abang bilangkan seandainya Ay, kamu kenapa ketakutan kaya gini?" Bang Lana memperlihatkan senyumannya tapi gue sama sekali belum bisa memperlihatkan senyuman gue.

"Aya ketakutan karena sikap Abang, omongan Abang malah ngebuat pemikiran Aya melayang kemana-mana." Istri mana yang gak akan mikir aneh kalau omongan suaminya ngelantur kaya gini?

"Abang gak punya maksud apapun Ay." Bang Lana mencoba menenangkan gue.

"Abang juga belum jawab pertanyaan Aya tadi, apa Abang punya masalah? Atau Papa sama Mas Suga bikin ulah? Kasih tahu Aya." Gue memang ketakutan, gue khawatir kalau Bang Lana akan nanggung rasa sakitnya sendirian lagi tanpa sepengetahuan gue..

"Abang gak papa dan Abang gak punya masalah apapun jadi jangan terlalu dipikirin."

"Gimana gak dipikirin, Abang itu gak bakat bohong, Abang gak akan ngomong kaya tadi tanpa alasan apapunkan? Abang bahkan ngaurnya terlalu jauh." Gue sama sekali gak bisa ngebayangin kalau suatu saat Bang Lana pergi lebih dulu dari gue.

"Abang minta maaf, Abang sama sekali gak ada niat ngebuat kamu khawatir." Gue menggeleng pelan.

"Apa Abang serius dengan ucapan Abang tadi? Kalau memang Abang serius, Aya juga akan ngelakuin hal yang sama, Aya akan ngelepasin Abang kalau ternyata bareng Aya cuma akan bikin Abang selalu menderita." Bang Lana menatap gue cukup kaget.

"Kalau suatu saat Aya udah gak ada, Aya izinin Abang cari pengganti Aya, jangan terlalu lama bersedih dan cari kebahagian Abang dengan orang lain." Ada sedikit gurat kesedihan yang terlihat jelas diwajah Bang Lana sekarang.

"Gak akan pernah ada yang bisa ngegantiin posisi kamu."

.
.
.

Hari ini gue langsung minta pulang kerumah, setelah perdebatan kecil sama Bang Lana, disinilah gue sekarang, gue gak mau terlalu lama dirumah sakit karena sidang gue juga sebentar lagi, ada banyak yang harus gue pikirin, kuliah, kesehatan bahkan perasaan gue sekarang juga gak jelas.

Apa yang gue rasain sekarang gue sendiri juga gak bisa ngejelasin apapun, ucapan Bang Lana tadi beneran ngerusak konsentrasi gue, setelah ngomong sama gue tadi, sampai detik ini Bang Lana juga sama sekali belum berniat bicara apapun lagi.

Apa yang salah lagi sekarang?

Gak mau terlalu berlarut dengan pemikiran gue sendiri, gue bangkit dari sofa dan mengabaikan Bang Lana yang masih fokus denvan buku bacaannya, dengan langkah lemas gue turun ke bawah karena perut gue udah demo, gue laper.

"Kalau mau makan kenapa gak minta tolong Abang? Bisa Abang yang ngambilin jadi kamu gak perlu turun kaya gini." Tanya Bang Lana yang meletakkan segelas minuman didepan gue.

"Abang terlalu fokus." Jawab gue tanpa melirik Bang Lana sedikitpun.

"Abang tahu kamu marah, Abang minta maaf." Gue tersenyum sekilas begitu Bang Lana mengusap kepala gue dan ikut duduk nemenin gue makan.

"Aya bukan marah tapi Aya khawatir, Aya gak mau Abang kenapa-napa." Jawab gue meletakkan sendok ditangan gue dan berbalik duduk menghadap Bang Lana.

"Abang juga tahu tapi apapun, Abang gak akan ninggalin kamu sendirian lagi, asalkan kamu bertahan, Abang gak akan punya alasan apapun untuk melepaskan." Gue akan selalu bertahan dan Bang Lana harus tahu itu.

"Bang." Panggil gue menggenggam tangan Bang Lana.

"Heumm, kenapa?"

"Andai memang harus, Abang boleh pergi ninggalin Aya tapi jangan pernah berani melepaskan Aya, Abang harus nepatin janji Abang yang ini."

"Lanjutin makannya_

"Abang belum ngasih jawaban apapun." Desak gue.

"Abang gak akan ngelepasin kamu." Bang Lana tersenyum menenangkan dan ikut menyuap makanan yang ada dipiring gue.

"Abisin makanannya terus ikut Abang keluar sebentar."

"Mau kemana? Aya masih sakit, gak boleh kena angin tar kedinginan, masuk angin, tar kalau makin sakit gimana?" Tanya gue pake nada diimut-imutin.

"Kalau kedinginan Abang angetin kan_

"Yak, Abang mesum banget." Reflek gue langsung mukul bahu Bang Lana cukup kuat, bukannya protes Bang Lana malah senyum-senyum gak jelas sembari mengusap bahunya yang kesakitan.

"Kamu aja yang otaknya mesum, Abang angetin pake jaket Abang atau tar Abang kasih susu jahe kan juga bisa? Kamu mukul sebelum nanya jelas maksudnya apa." Satu sentilan mendarat di kening gue.

"Salah Abang sendiri, Abang ngomongnya ambigu banget, bikin takut aja."

"Memang kamu takut kalau Abang apa-apain? Abang suami kamu." Sadar dengan ekspresi Bang Lana yang terlihat mulai serius, gue juga mulai nelan ludah gugup dengan perasaan berubah gak enak.

"Aya bukan takut sama Abang tapi Abang ngertikan maksud Aya apa? Aya cuma belum siap." Jelas gue.

Ya gak mungkin gue takut sama Bang Lanakan? Yang ada Bang Lana takut sama gue, takut gue pukulin kepalanya tapi itu juga dulu, kalau sekarang mana bisa gue seenak jidat mukul kepala Bang Lana, dikata istri durhaka tar.

"Harus sampai kapan Abang nunggu?" Pertanyaannya beneran nusuk otak gue, otak gue mendadak ngeblank gak tahu mau ngasih jawaban apa.

"Ay, Abang tanya kamu." Iya gue tahu yang ditanya itu gue, gak mungkin tetangga sebelahkan? Tetangga sebelah kan cowo semua.

"Abang memang udah siap?" Tanya gue balik.

"Sejak hari pertama nama kamu Abang sebut dalam akad nikah kita dulu."

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang