"Apa lo ngerti sekarang? Lo harusnya tahu alasan gue gak bisa nerima perasaan lo apa Han, gue gak bisa hidup tanpa suami gue."
Han harus ngerti, gue gak akan bisa membalas perasaannya, karena pada dasarnya ada atau enggaknya Bang Lana dalam hidup gue, gue tetap gak bisa menganggap Han lebih dari sekedar temen.
"Han, gue cuma bisa menawarkan persahabatan sama lo, selebihnya gue gak bisa menjanjikan apapun."
"Lo harus tahu, gue bersikap blak-blakan kaya gini bukan karena gue gak menghargai apalagi sampai gak peduli sama perasaan lo tapi gue bersikap kaya gini karena gue peduli, gue gak mau lo nipu diri dengan terus naruh harapan sama gue karena ada enggaknya Lana, lo gak akan bisa mendapatkan lebih dari kata persahabatan dari gue."
Gue bersikap dingin karena gue gak mau Han semakin terluka, sikap tegas gue bukan karena gue gak mikirin perasaan orang yang tulus sama gue tapi karena gue juga berharap yang terbaik untuk Han, perlahan Han harus terbiasa, gue gak akan bisa membalas perasaannya sampai kapanpun.
"Gue akan berusaha tapi tolong Ay, jangan menghindar dari gue, menghindar gak akan menyelesaikan masalah, nata ulang perasaan gue, gue tetap butuh kehadiran lo disana." Gue mengangguk pelan.
"Gue ngerti, gue gak akan menghindar jadi lo bisa nyoba perlahan, pergunakan waktu lo untuk mikirin kebaikan diri lo sendiri Han, itu yang selalu lo ingetin ke gue."
Dulu, Han selalu bilang kalau dalam hidup gue harus mengutamakan diri gue sendiri lebih dulu, bahagia gue lebih penting, pikirin diri gue lebih dulu baru mikirin orang lain, tapi masalahnya sekarang gue gak bisa mikirin diri gue lebih dulu, kenapa? Karena gue punya Bang Lana dan Bang Lana bukan orang lain.
"Lo bener, Aya gak akan milih gue." Ucap Han yang membuat gue menyipitkan mata heran, Han ngomong sama siapa?
"Gue kenal perempuan yang gue nikahi lebih baik dari dirinya sendiri." Gue hafal suaranya.
"Abang!" Gue berbalik dan mendapati Bang Lana berdiri dengan senyum sumringah di belakang gue.
"Kapan Abang datengnya?" Tanya gue lagi, Bang Lana ikut mendudukkan tubuhnya disebelah gue, menyeruput minum gue asal dengan senyum masih terlihat jelas diwajahnya.
"Abang dateng gak berselang lama setelah kalian berdua duduk disini." Gue yang kaget sekarang, jadi Bang Lana mau ngasih tahu kalau dia denger semua omongan gue sama Han dari tadi? Curang banget.
"Han, rasanya gue juga berhutang terimakasih sama lo." Ucap Bang Lana menatap Han cukup serius sekarang.
"Untuk?"
"Terimakasih lo ada untuk Aya selama gue pergi, gue berterimakasih untuk itu, Aya udah cerita banyak." Gue gak nyangka kalau Bang Lana akan mengucapkan terimakasihnya ke Han segamblang ini, gue pikir lelaki juga punya kesulitan tersendiri dalam mengucapkan kata maaf.
"Terimakasih lo gue terima tapi bukannya sekarang lo malah bersikap kurang sopan sama gue? Gue gak peduli Aya mau manggil lo apa tapi gue tetap lebih tua dari lo."
"Gue gak perlu bersikap terlalu sopan dengan lelaki yang jelas-jelas punya perasaan terhadap istri gue." Bang Lana menyunggingkan senyumannya yang dibalas sama oleh Han.
"Jaga Aya baik-baik, kalau Aya balik nangis seperti dua tahun yang lalu, lo akan tahu akibatnya."
"Gue tahu."
"Abang mau makan apa?" Tanya gue memecah suasana, gue berharap kedepannya mereka bisa selalu akur.
.
.
."Tadi Mama ngabarin Abang, katanya kamu mau gaun pengantin warna apa?" Gue yang awalnya hanya fokus kearah luar jendela langsung berbalik menatap Bang Lana yang masih duduk disofa membaca buku bacaannya dari tadi.
"Maksud Abang? Memang mereka udah setuju?" Tanya gue balik kurang yakin, apa beneran segampang itu mendapatkan persetujuan mereka.
"Harusnya iya." Bang Lana juga harusnya merasakan hal yang sama kaya gue, dalam keluarga kita gak ada yang gampang.
"Abang becandakan?"
"Apa Abang terlihat becanda sekarang?" Melepaskan kaca mata Bang Lana, gue menutup buku bacaannya sembarangan dan menangkup kedua pipi Bang Lana natap gue.
"Aneh gak sih?" Tanya gue berterus terang.
"Abang tahu perasaan kamu, Abang juga udah minta Mas Vian nyari tahu, kita tunggu jawaban Mas Vian tapi selebihnya ikuti rencana mereka seolah kita gak tahu apapun." Gue melepaskan tanggukan gue di pipi Bang Lana dan menyandarkan tubuh gue disofa, mau resepsi aja belibet amat.
"Ah kacau banget keluarga kita." Lirih gue gak bisa mikir lagi, sampai sebegininya coba, dimana-mana orang tua itu mau anaknya bahagia lah ini, ngikutin mau mereka aja terus, perasaan anak mereka peduli apa?
"Andai pas lahir bisa milih orang tua ya Bang, Aya mungkin bakalan milih orang tua yang jauh lebih sederhana asalkan hidup Aya bisa bahagia." Cicit gue yang membuat Bang Lana mengusap kepala gue pelan.
"Itu gak akan mungkin, didunia ini orang tua adalah salah satu hal yang gak bisa kita pilih." Gue mengangguk pasrah, bener sih, lahir dari siapa, semua anak didunia ini gak akan bisa milih, orang tua gak bisa di pilih pake sistem republik, banyak calon yang bisa kampanye dulu terus baru dipilih.
"Jangan kebanyakan mikir hal yang gak perlu kamu pikirin Ay, siapapun orang tua kita, mereka yang terbaik, sama halnya kita yang gak bisa milih dilahirkan dari siapa, mereka juga gak bisa milih ingin melahirkan anak seperti apa."
"Berbeda pendapat bukan berarti mereka bukan yang terbaik, mereka juga melakukan segalanya untuk membesarkan kita, hanya karena tidak sejalan bukan berarti kita bisa melupakan satu fakta itu." Ah, ini beneran suami gue?
"Kapan Aya bisa berpikiran sedewasa Abang?" Tanya gue takjub, gue sama sekali gak bisa nebak isi otaknya Bang Lana itu apa, selalu ada kata-katanya yang membuat gue semakin bangga menjadi istri dari seorang Alana.
"Makanya baca buku jangan kebanyakan ngedrama." Bang Lana nyentil kening gue.
"Kalau Aya ikut hobby baca kaya Abang, rumahtangga kita bakalan kaya apa? Kaku kaya Abang pasti, otaknya lurus terus, sesekali juga butuh yang nyeleweng kaya Aya, biar seimbang, hidup itu butuh keseimbangan."
"Kata-kata barusan kamu pungut dari mana?" Bang Lana menyunggingkan senyumannya.
"Dimana lagi? Ya di drama." Tawa gue pecah, gue merebahkan tubuh gue dipangkuan Bang Lana sedangkan Bang Lana mulai kembali fokus dengan buku bacaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...