(End)

5.1K 328 110
                                    

"Alana point of view."

"Mas jangan." Aya berbalik dan memeluk gue erat tetiba sampai beberapa detik kemudian gue sadar dengan alasan pelukan Aya sekarang.

"Vian lo gila? Itu adik lo sendiri." Kaget Bang Suga mukul Mas Vian brutal, Bang Suga bahkan gak sadar kalau pendarahan ditangannya juga semakin parah.

"Abang gak papa?" Lirih Aya bahkan masih bisa menyunggingkan senyumannya untuk gue walaupun rasa sakit terlihat jelas diwajahnya.

"Ay!" Gue hanya bisa memeluk Aya ketakutan.

"Aya udah bilang gak akan ada kali kedua kan Bang? Aya nepatin janji Aya." Air mata gue yang susah payah gue tahan pada akhirnya lolos dengan satu kalimat Aya.

"Ay! Aya! Aya!" Begitu Aya kehilangan kesadarannya gue udah gak bisa mikir apapun lagi, Ya Allah.

Gue gak mau sesuatu yang buruk nimpa Aya, gue harus gimana tanpa Aya disisi gue? Segala yang gue perjuangkan semuanya demi Aya, masa depan gue, Aya orangnya.

"Lan, bawa Aya keluar dari sini sekarang, sadar Lan, jangan bersikap bodoh, bawa Aya kerumah sakit sekarang juga." Bentakan Bang Suga yang menyadarkan gue.

"Ran kamu ikut Lana, tolong bantu Lana, hubungin Papa secepatnya."

"Tapi_

"Tolong, nurut sama Mas kali ini aja, Mas akan baik-baik aja disini, Mas janji nyusul kalian." Kiran mengangguk berat, dibantu Kiran, gue membawa Aya keluar dan langsung gue bawa kerumah sakit, gue gak akan bisa maafin diri gue sendiri kalau sesuatu yang buruk nimpa Aya.
.
.
.
"Gimana Aya Lan?" Tanya Bang Suga yang baru selesai dengan jahitan ditangannya.

Gue menggeleng pelan, hampir empat jam berlalu tapi operasi Aya belum juga selesai, gue duduk tertunduk sembari menggenggam erat kedua tangan gue, berdoa, berharap kalau Aya akan baik-baik aja.

"Lan, kamu harus tenang, Aya juga gak mau ngeliat kamu kaya gini." Bang Suga nepuk pelan bahu gue.

"Lana harus gimana kalau Aya kenapa-napa Bang?" Gue memeluk Bang Suga dengan rasa penuh penyesalan, suami macam apa gue? Gimana bisa gue ngebiarin Aya ngegantiin posisi gue kaya tadi, gue bahkan gak bisa ngebayangin ulang kejadian tadi.

"Aya gak akan kenapa-napa Lan, Aya gak akan kenapa-napa jadi kamu juga harus kuat." Gue mengengguk pelan.

"Keluarga Aya!" Mendengar nama Aya disebut, gue bangkit berlari nemuin dokter yang baru aja keluar dari ruang operasi Aya.

"Saya suaminya dok, gimana keadaan istri saya?" Tanya gue penuh harap.

"Begini Mas Lana, luka dilengannya sudah diobati tapi kondisi Istri Mas sekarang sangat lemah jadi kami belum bisa memastikan apapun, tusukannya memang tidak berakibat fatal untuk kandungannya tapi kalau kondisi istri Mas semakin lemah, kami juga tidak bisa melakukan apapun." Jelas dokter yang membuat gue harus berpikir keras.

"Gimana dok? Kandungan?" Tanya gue ulang karena kurang yakin dengan apa yang barusan gue denger, gue gak salah dengerkan?

"Apa Mas tidak tahu? Istri Mas sudah mengandung sekitar tiga minggu." Gue seakan tertampar dengan ucapan dokter barusan, gue sama sekali gak tahu kalau Aya hamil.

"Mas banyak berdoa, kita liat perkembangan Mbak Aya untuk beberapa jam kedepan, kalau begitu saya permisi dulu." Setelah dokter pergi, gue kembali jatuh tertunduk, suami macam apa gue?

"Lan, gak boleh kaya gini, Aya butuh kamu, anak kalian juga." Gue memejamkan mata gue mengingat keadaan Aya sekarang.

Hitungan detik, menit bahkan jam berlalu, gue belum pernah melepaskan pikiran gue untuk Aya sedetikpun, berdiri didepan ruangan Aya dengan perasaan yang semakin bisa gue kontrol, Bang Suga bener, gue gak boleh terus terpuruk kaya gini, Aya juga gak akan suka.

Semua keluarga gue sama Aya juga udah dateng, Kiran juga masih disini, hanya Mas Vian yang ditahan setelah Ayah ngabarin polisi, untuk sekarang gue gak mau terlalu mikirin Mas Vian dulu, Aya lebih penting.

"Belum ada kabar apapun Lan?" Tanya Bunda dengan mata yang cukup sembab, raut wajahnya terlihat jelas sangat khawatir.

"Belum Bunda." Ucap gue berusaha tersenyum, kalau Aya masih bisa tersenyum disaat tersakitnya demi gue, gue juga bisa melakukan hal yang sama, tersenyum untuk menenangkan seluruh keluarga gue.

"Bang, kalau Abang butuh istirahat gak papa, Abang bawa Mama sama Kiran pulang dulu, wajah mereka juga gak begitu baik." Ucap gue nepuk bahu Bang Suga.

"Kiran dateng dijemput bentar lagi, Mama udah pulang sama Papa, kamu gak perlu khawatir, Abang disini nemenin kamu." Gue mengangguk pelan.

Untuk sementara gue mikir ulang alasan Mas Vian bisa setega itu sama Aya, apa hanya karena harta? Apa waktu puluhan tahun yang dia habisin ngerawat Aya gak berharga sama sekali? Apa yang harus gue jelasin ke Aya kalau tahu Mas Vian dikantor polisi?

"Bang, Mas Vi_

"Keluarga Mbak Aya." Gue mengakhiri ucapan gue dan berjalan cepat menemuin suster jaga.

"Saya suaminya Sus."

"Dokter minta Mas masuk sebentar." Dalam hati gue udah harap-harap cemas, semoga ini adalah kabar baik, semoga.

"Jadi bagaimana keadaan istri saya Dok?" Tanya gue begitu mendudukkan tubuh gue tepat dihadapan dokter yang menangani Aya sekarang.

"Begini Mas_

"Abang." Mendengar suara lirih yang sangat gue kenal, gue berbalik dan mendapati Aya membuka matanya, menatap gue lemah dengan tangan terulur kearah gue.

"Abang disini Ay! Aya baik?" Tanya gue khawatir, gue menggenggang tangan Aya erat, kondisi Aya beneran kacau sekarang, gue sama sekali gak bisa ngebayangin seberapa besar rasa sakit yang harus Aya tanggung.

"Maaf Aya ngebuat Abang khawatir lagi." Lirih Aya ke gue, gue menggeleng cepat untuk ucapan Aya, Aya gak perlu minta maaf, gue yang seharusnya minta maaf.

"Abang yang salah, Abang yang harusnya minta maaf Ay, Abang yang salah." Aya hanya tersenyum kecil dengan ucapan gue.

"Mas Vian gimana?" Tanya Aya yang membuat gue diam tertunduk.

"Mas Vian ditahan Ay." Cicit gue kurang yakin, apa harus Aya ngebahas Mas Vian sekarang.

"Bang, apapun yang terjadi sama Aya, Mas Vian gak boleh dipenjara, Aya gak mau, tolong Mas." Gue menatap Aya gak percaya sekarang.

"Kamu ngomong apa sih Ay! Kamu gak akan kenapa-napa." Ucapan kaya gini rasanya juga untuk menguatkan hati gue sendiri, menyakinkan diri gue sendiri kalau Aya akan baik-baik aja.

"Aya minta maaf kalau permintaan Aya ngebuat Abang kecewa tapi kalau Aya gak ada, Ayah sama Bunda gak akan punya siapapun Bang, Mas Vian gak boleh dipenjara." Gue diam gak merespon apapun, gue gak suka dengan arah pembicaraan Aya tapi gue gak mungkin berdebat dengan Aya disaat kaya ginikan?

"Istirahat Ay, kita bahas ini nan_

"Abang harus janji, apapun yang terjadi kedepannya, Aya tetap sayang sama Abang, Aya akan selalu cinta sama Abang, Abang harus inget itu." Potong Aya untuk ucapan gue, gue bahkan kembali meneteskan air mata gue, gue ketakutan.

"Ay, kamu gak akan kemana-mana, Aya istirahat, kita bicara setelah Aya lebih baik, heumm." Gue memaksakan senyuman gue dan mengusap air mata gue cepat.

"Abang harus bahagia, walaupun tanpa Aya." Dan Aya kembali menutup matanya.

Apa harus seperti ini? Apa harus gue kehilangan? Gue harus gimana tanpa Aya? Tuhan, engkau yang mengatur segala pertemuan juga perpisahan segala hamba-Mu, akankah takdir kami hanya sampai disini?

Gue tanpa Aya bakalan kaya apa? Waktu yang gue habiskan bareng Aya membuat gue terbiasa dengan kehadirannya, gue terbiasa dengan senyumannya, gue terbiasanya dengan kemarahan, gue terbiasa dengan kekesalannya, gue bisa menerima semua itu.

Apa pergi seperti ini adalah balasan untuk kelalaian gue menjaga Aya? Apa meninggalkan gue sendirian adalah hukuman yang harus gue terima? Jangan kaya gini Ay! Abang gak akan bisa hidup tanpa kamu.

Kalau takdir kali ini tidak menyatukan kita untuk waktu yang lama, Abang akan terus hidup dengan cinta yang kamu punya Ay! Abang akan hidup bahagia seperti yang kamu mau dan tunggu Abang di Surga-Nya untuk kita bahagia bersama.

(End)

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang