Setibanya gue sama Lana di kampus kita berdua langsung pada misah, entah apa yang salah tapi banyak dari mahasiswi perempuan disini mulai memperhatikan gue setelah mendapati gue dateng bareng Lana tadi, ini kampus kenapa lagi?
"Sekarang jelasin." Gue melenguh kaget begitu Han dengan tiba-tiba dateng dan narik tangan gue.
"Sakit Han, lo kenapa? Jelasin apaan?" Gue narik paksa lengan gue yang ditarik Han sembari balas menatapnya geram.
"Suami? Maksud lo tadi apa?"
"Ya suami, lo gak ngerti dibagian mananya? Gue berangkat bereng suami gue." Ulang gue masih gak habis pikir, Han gak ngerti dibagian mananya? Berangkat bareng? Suami?
"Kapan lo nikah?"
"Dua tahun yang lalu, lo kenapa sih Han? Gue punya kelas, kalau sampai gue gak lulus MK ini lagi gue gak bakalan bisa ikut sidang, lupa lo? Ngapain lo nahan gue disini?" Geram gue, Han jelas tahu gue lagi ngejar ketertinggalan gue selama setahun terakhir, berapa banyak MK yang harus gue ulang lagi?
"Lo tahu perasaan gue ke lo gimana Ay dan lo masih gak cerita apapun ke gue?" Ucap Han menatap teduh gue, gue narik nafas panjang dan berbalik menghadap Han langsung.
"Karena gue tahu perasaan lo kaya apa makanya gue selalu bilang jangan berharap apapun, gue gak mau lo kecewa." Balas gue ikut mencoba selembut mungkin.
"Apa Mas Suga orangnya? Bukannya pertunangan kalian udah batal? Gimana tiba-tiba kalian malah nikah?"
"Lana, gue menikah dengan Alana Rian Akbar bukan dengan Mas Suga." Jawab gue seadanya.
Menepuk pelan bahu Han, gue berjalan lebih dulu ninggalin koridor kampus masuk ke kelas, gue tahu Han kecewa tapi gue gak bisa berbuat apapun, gue gak bisa nanggung perasaan orang lain sekarang.
Selama dikelas gue udah nyoba untuk fokus tapi tetap gak bisa, gue kepikiran Lana dan gue juga kepikiran Han, apa Han baik? Jujur gue khawatir, gue khawatir karena bagaimanapun dia temen gue, dia ada disaat Lana gak ada.
"Kita lanjutkan pembahasan kita dipertemuan selanjutnya." Dan begitu dosennya ninggalin kelas, gue langsung bangkit dan keluar kelas nyariin Han.
"Kemana Ay?" Gue menghentikan langkah gue begitu Lana berdiri tepat dihadapan gue kaya sekarang.
"Lan, Aya ada perlu sama temen Aya sebentar." Gue berniat meninggalkan Lana sebelum Lana balik menggenggam tangan gue.
"Kenapa?" Tanya gue bingung.
"Apa laki-laki tadi pagi yang Aya maksud?" Gue terdiam untuk pertanyaan Lana, apa ada yang salah?
"Dengar Kak Aya, Lana cuma akan ngasih tahu Kak Aya sekali." Gue menyipitkan mata bingung.
"Han atau siapapun itu? Lana gak akan ngelarang Kak Aya berteman dengan siapapun tapi andai kata ada lelaki yang memandang Kak Aya dengan tatapan berbeda akan berbeda pula ceritanya."
"Maksud Lana?" Tanya gue masih bingung.
"Lana bukan Bang Suga, Aya milik Lana jadi Lana gak suka kalau Aya mikirin laki-laki lain, untuk atau apapun alasannya, Lana gak suka." Dan gue tersenyum kecil untuk ucapan Lana, jujur amat Dek?
"Kakak? Udah lama Aya gak denger Lana manggil Aya kaya gitu tapi Lan, Han cuma temen dan gak_
"Apa Han menganggap Aya cuma temennya? Lana rasa enggak." Dan tatapan Lana sekarang beneran dingin menurut gue, apa Lana marah? Memang bisa?
"Lan, Lana kenapa? Aya cuma nganggep Han temen, bukannya yang terpenting itu perasaan Aya?"
"Dan gak ada yang menjamin perasaan Aya gak akan berubah." Haduh ribet kalau udah begini.
Masih dengan senyum mengembang, gue berjalan beberapa langkah mendekat ke sisi Lana dan memeluknya sekedar menenangkan, awalnya gue pikir Lana gak akan membalas tapi nyatanya Lana mempererat dekapan gue sembari mulai mengusap kepala gue pelan.
"Lan, malu diliatin orang." Gue mulai mengedarkan padangan gue karena beberapa orang mulai menjadikan kita berdua tontonan menarik.
"Apa perlu Lana kasih stempel kepemilikan di Kak Aya?" Stempel kepemilikan? Kata-kata Lana selalu susah untuk gue cerna.
"Caranya?"
"Kita harus cepet punya momongan, Kak Aya harus diamankan" hah?
"Dasar bocah saraf, lepas."
.
.
.Sampai dirumah, gue melangkah naik lebih dulu dibandingkan Lana yang masih sibuk ngobrol sama Mas Vian dibawah, gue gak tahu apa yang mereka bicarain tapi yang jelas, itu cuma masalah kerjaan dan gak ada sangkut pautnya sama gue.
Dikamar gue menghempas tubuh gue sembarangan diranjang dan membalut tubuh gue dengan selimut cukup tebal, entah kenapa badan gue rada gak enak.
"Ay, gak beberes dulu?" Dan gue langsung menggeleng untuk pertanyaan Lana barusan.
"Aya kenapa?" Gue masih diam belum ngasih jawab apapun, kepala gue sakit sama mulut gue rasanya pait, sadar dengan sikap aneh gue, Lana meletakkan tasnya dan ngambil posisi disisi ranjang gue berbaring sekarang.
"Ay, Aya sakit? Panas gini." Lana membantu mendudukkan tubuh gue untuk bersandar di ranjang, gue masih dengan selimut yang melilit hanya mengangguk untuk pertanyaan Lana.
"Kita kerumah sakit." Dan gue langsung nolak, ngapain kesana? Bukannya sembuh tar yang ada malah makin sakit.
Mendengar jawaban gue, Lana mengusap wajahnya sebentar masih dengan tatapan yang sangat khawatir, gue udah biasa demam mah jadi gak perlu panik sebegitunya, paling kecapean.
Mengabaikan penolakan gue, Lana berjalan kearah pintu dan ngunci pintu kamar gue gitu aja, ni anak orang mau ngapain? Jangan aneh-aneh, gue sakit jadi jangan macem-macem.
Tanpa mengucapkan apapun, Lana melepas jaket dan kemejanya lalu tanpa rasa bersalah ikut berbaring disebelah gue, Lana mikir apa coba?
"Tidur dalam pelukan Lana atau kerumah sakit sekarang juga?"
"Tidur atau__"
"Ini udah tidur." Potong gue dan kembali membaringkan tubuh gue dengan lengan Lana sebagai sandarannya.
"Jangan ngebuat Lana khawatir, Aya tahu kenapa Lana lebih milih ngambil jurusan yang sama dengan Aya dari pada kuliah seperti jurusan yang Lana mau?" Gue menggeleng pelan.
"Itu karena Lana selalu panik setiap kali Aya sakit kaya gini, Lana pikir dengan ngambil jurusan yang sama, Lana bisa kuliah bahkan kerja ditempat yang sama dengan Aya, supaya Lana punya waktu memperhatikan Aya sesibuk apapun Lana nantinya."
"Bukannya Lana selalu bilang kalau strategi hidup Lana adalah jadi seorang dokter? Kenapa sekarang malah beralih cuma karena Aya?"
"Karena Aya adalah semua tujuan dan strategi hidup Lana sekarang, Aya lupa? Menikah dengan Kak Aya udah ngubah semua strategi hidup seorang Alana"
"Maaf." Cicit gue yang dibalas dengan usapan lembut Lana dibahu gue dan membawa gue masuk lebih erat dalam dekapannya.
"Kenapa harus minta maaf? Lana gak bilang Aya ngancurin masa depan Lanakan? Gak semuanya sesuai dengan mau kita tapi yang kita mau juga belum tentu menjadi yang terbaik jadi Kak Aya gak perlu merasa bersalah."
"Tapi Aya yang minta Lana menikah."
"Dan Lana yang setuju dengan permintaan Kak Aya, Kak Aya bahkan gak maksa Lana, ini juga pilihan Lana jadi Lana akan bertanggung jawab dengan pilihan Lana sampai akhir."
"Jadi bisa Kak Aya berhenti menyalahkan diri sendiri kaya gini? Bagi Lana, Kak Aya gak pernah jadi beban, sekarang Lana bahagia dan Lana berharap Kak Aya juga akan bahagia karena punya Lana."
"Bisa berhenti manggil Aya Kakak? Mau sampai kapan Lana manggil Aya pakai sebutan Kak kaya gitu? Kalau tar kita punya anak Lana mau mereka mikir apa?"
"Jadi Aya mau ngebahas itu sekarang?" Dan Lana malah mengedipkan matanya ke gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...