(9)

3.7K 456 33
                                    

"Maaf Lana gak akan bisa narik balik semua rasa sakit yang udah terlanjur Aya tanggung." Kalimat gue yang membuat Lana melepaskan dekapannya.

"Andai kata Lana lelah kasih tahu Aya, andai kata sulit, kasih tahu Aya, andai kata semua yang ada di hidup Lana itu akan menjadi beban berat karena menikah, Lana cuma perlu ngasih tahu Aya bukan malah ninggalin Aya tanpa kabar apapun."

"Apa Lana pikir Aya gak khawatir? 'Ah apa Lana berakhir kaya gini karena gue?' Perasaan bersalah dan pemikiran bodoh Aya hampir ngebuat Aya gak mau hidup lagi apa Lana tahu?"

"Lana minta maaf." Lirih Lana sangat.

"Maaf? Aya udah gak butuh, lebih baik sekarang Lana tidur dan besok pulang ke rumah Lana, jangan masuk kedalam hidup Aya lagi Lan, Aya minta tolong, kalau kali ini Aya balik jatuh, Aya takut Aya gak akan pernah sanggup bangkit lagi." Ucap gue memohon.

"Jangan masuk kedalam hidup Aya lagi? Itu gak mungkin, Aya sendiri yang narik Lana untuk masuk kedalam hidup Aya dan setelah disana, Lana pastikan cuma akan ada Lana dihati Aya, apapun dan bagaimanapun caranya." Raut wajah yang semula penuh rasa bersalah seketika berubah menjadi terlihat sangat yakin.

"Lana pikir hati Aya apa? Mainan yang bisa Lana mainin sesuka hati? Perasaan Aya gak segampang itu." Terkadang menghadapi Lana rasanya persis kaya gue harus ngadepin anak kecil, walaupun nyatanya ni anak salah tapi anehnya gue sama sekali gak bisa marah.

"Bukannya Aya yang milih Lana? Secara tidak langsung Aya sendiri yang milih nyerahin diri ke Lana, jadi milik Lana." Kenapa kata-kata kaya gitu? Nyerahin diri apa maksudnya? Gue cuma minta Lana nikah sama gue bukan ngejadiin gue miliknya dia.

"Sejak kapan Aya jadi milik Lana? Aya cuma minta Lana nikah sama Aya gak lebih dan sekarang Lana yang udah milih ninggalin Aya jadi ngapain balik lagi?"

"Mau kita bahas sekarang? Duduk dulu biar Lana jelasin." Ckk bahas sekarang pula katanya, penjelasan apapun intinya tetep sama, Lana ninggalin gue.

"Penjelasan apa? Lana atau Mas Suga itu sama."

"Jangan pernah samain gue sama Bang Suga." Tiba-tiba Lana menggenggam tangan gue erat dan natap gue tajam setelah ucapannya.

"Memang gitu kenyataannyakan? Lo pergi tanpa ngabarin gue apapun dan sekarang lo balik seolah gak pernah terjadi apa-apa? Lo gila?" Balas gue natap Lana gak kalah tajam.

"Ay, Lana pergi juga karena itu salah satu syarat Lana bisa menikahi Aya, apa Aya pikir Papa akan ngebiarin Lana mempermalukan keluarga kalau semua orang tahu anak bungsunya yang masih SMA menikah lebih dulu dari pada Abangnya? Papa gak akan luluh semudah itu."

"Dan pergi tanpa pemberitahuan apapun adalah syarat yang di ajukan Bang Suga untuk mau melepaskan Aya, sampai kapan Aya mau salah paham? Apa Aya belum bisa nebak keluarga kita sama sekali? Lana berkali-kali ngingetin Aya kalau pernikahan kita gak akan berjalan semudah pemikiran Aya." Jelas Lana terlihat cukup frustasi.

Jadi itu alasannya sampai sekarang orang-orang belum ada yang tahu tentang pernikahan gue sama Lana? Yang semua orang tahu cuma pertunangan gue sama Mas Suga yang batal, apa ini juga alasannya keluarga Lana bahkan diam untuk semua pertanyaan gue?

Kenapa keluarga gue segila ini? Apa kebahagian anak-anak mereka gak penting? Hidup bergelimang harta tapi kalau gak bisa bahagia untuk apa? Hidup gue sama Lana seakan mainan yang siap dipertaruhkan kapan aja untuk mewujudkan keinginan mereka.

"Kenapa Lana gak pernah jujur? Kalau seandainya Lana jujur, mungkin Aya bisa ngelepasin Lana pergi untuk dua tahun dengan perasaan jauh lebih tenang, dua hari yang Lana maksud gak selama ini."

"Lana bahkan meluk Aya erat dua tahun yang lalu di bandara, apa Aya belum bisa nebak apapun? Sampai kapan Aya mau hidup tanpa persiapan sama sekali? Mau gak mau, suka gak suka, hidup kita berdua memang akan selalu kaya ginj, Aya pikir kenapa keluarga kita berdua bisa kaya seperti sekarang? Itu karena hidup mereka selalu penuh persiapan."

Gue diam tanpa kata setelah penjelasan Lana, apa lagi-lagi gue yang salah? Apa gue yang terlalu bodoh dengan percaya gitu aja semua ucapan keluarga gue untuk ngelupain Lana, apa gue yang salah paham lagi?

"Masih berniat menghindar dari Lana?" Tanya Lana melepaskan genggamannya di lengan gue, ah pada akhirnya keluarga gue dan keluarga Lanalah yang selalu jadi alasannya.

"SIM Aya Lana balikin."

"SIM? Apaan?"

"Surat Izin Menangis." Dasar gila.

"Aya bahkan hampir ngancurin hidup Aya sendiri cuma karena mereka." Balas gue pasrah.

"Jadi itu alasannya Aya belum lulus juga sampai sekarang? Dua tahun ngapain aja Ay? Dasar bocah." Lana maju dan mendekap tubuh gue tanpa aba-aba.

Dalam dekapan Lana, beban yang gue rasain rasanya berkurang banyak, ya setidaknya sekarang gue tahu kalau Lana gak pernah berniat ninggalin gue, Lana gak pernah berniat mengabaikan gue seperti Bang Suga, gue harus bersyukur banyak untuk itu.

"Jangan ngatain Aya bocah, Aya lebih tua." Ucap gue mendongak dalam dekapan Lana.

"Tapi suami selalu lebih berkuasa."

.
.
.

"Lana mana Dek?" Tanya Bunda begitu melihat gue nurunin tangga, bahkan Bundapun udah tahu Lana dirumah, luar biasa memang.

"Masih di atas, bentar lagi turun." Jawab gue males, kaget juga gak perlu kayanya, Lana bener, gue harus sadar, keluarga gue memang dari dulu udah kaya gini, udah gak bisa diapa-apain lagi.

"Kalian bareng?" Tanya Ayah menanggapi.

"Bareng? Kemana?" Tanya gue balik tapi gak begitu antusias.

"Lana ngambil S2 di kampus Adek, memang Lana belum ngasih tahu?" Hah? Sekarang apaan lagi? S2? Gimana ceritanya?

"Memang Lana udah selesai S1? Dalam dua tahun? Yang bener aja." balas gue masih belum percaya.

"Percaya gak percaya itu bukan masalah, memangnya Aya, hampir 10 semester tapi S1 masih belum ditangan." Tiba-tiba Lana turun dengan pakaian udah rapi dan ngambil posisi duduk disebelah gue.

"Gak usah pamer, tetap aja lebih_

"Dek, buruan katanya, Han udah didepan tu nungguin." Ucap Mas Vian santai, Han udah didepan? Kapan gue janjian berangkat sama dia?

"Mas yang bener? Aya gak janjian berangkat sama Hanpun, bentar Aya keluar." Mengabaikan keluarga, gue bangkit dan keluar nemuin Han didepan, ngapain nungguin gue dan bener aja, ni anak udah nangkring.

"Ngapain pagi-pagi udah disini? Gue udah bilangkan kalau gue gak bisa nerima perasaan lo Han?"

"Geer amat lo Ay, gue cuma mau ngasih tebengan, lo sendiri yang bilang kalau kita masih bisa temenan, gue lagi nyoba kontrol perasaan gue jadi jangan lo pancing."

"Lo kata hati lo ikan pake dipancing, lo duluan aja, gue bareng suami gue." Dan detik itu juga Han batuk parah didepan gue, ni anak kenapa lagi?

"Lo kenapa lagi? Keselek apa begimana?" Tanya gue ikut nepukin bahunya dia.

"Suami? Kapan lo nikah? Lo sakit Ay?" Han mulai meriksain kening gue dan nepuk jidat gue berkali-kali.

"Sakit, lo yang ngapain? Siapa yang sakit? Udah sana lo berangkat, ganggu gue sarapan aja." Mengabaikan Han, gue balik masuk dan balik ngelanjutin sarapan gue

"Han siapa?" Tanya Lana ke Mas Vian.

"Oh, tetangga sebelah, adiknya Candra, adiknya baru pindah sekitaran satu tahun yang lalu." Jawab Mas Vian yang gue angguki, adik tetangga yang nyebelinnya minta ampun, keponya tingkat akut.

"Yaudah ayo berangkat, Ayah Bunda, Aya pamit, Mas, Aya jalan duluan." Nyalim bergantian gue narik Lana langsung keluar dari pada pertanyaannya makin panjang.

"Tar pulangnya mau langsung kerumahkan?" Tanya gue begitu Lana mulai fokus dengan kemudinya.

"Bareng Aya juga" jawab Lana sesekali melirik gue.

"Rumah Lana sama Ayakan jauh, ngapain bareng? Tar malah muter-muter, ngabisin bensin."

"Mulai sekarang Lana akan tinggal bareng Aya, kita punya izin untuk itu sekarang." Dan sekarang giliran gue yang keselek parah sama ucapan Lana.

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang