(21)

2.5K 318 58
                                    

"Siapkan acara resepsi Lana sebaik yang kalian bisa, kalau Papa menolak, 50% saham yang sudah Papa berikan atas nama Lana, Papa akan kehilangan itu semua." Kita berdua siap keluar dari rumah.

"Lan, Mas mau bicara sama kalian sebentar." Ucap Mas Vian berdiri dan berjalan lebih dulu, gue mengusap lengan Bang Lana menenangkan.

Mengikuti langkah Mas Vian, kita bertiga berpindah duduk di dapur, gue yang berniat memberikan minum untuk mereka berdua malah dipaksa duduk sama Bang Lana lebih dulu.

"Kamu baik Ay?" Tanya Bang Lana mengusap pipi gue khawatir, gue menggenggam tangan Bang Lana dan menurunkannya pelan.

"Aya baik, Abang duduk dulu Aya ambilin minum." Memberikan Mas Vian sama Bang Lana minum, gue kembali ikut mendudukkan tubuh gue disamping Bang Lana seperti semula.

"Kalian udah yakin mau ngadain resepsi? Udah kalian pertimbangkan baik-baik?" Tanya Mas Vian yang membuat gue narik nafas jengah, apa Mas Vian bakalan menentang juga?

"Mas, apa Mas juga_

"Dek, denger dulu omongan Mas jadi bisa kamu lebih tenang sedikit?" Tanya Mas Vian yang membuat Bang Lana ikut mengusap lengan gue menenangkan, gue bukannya gak bisa tenang tapi rasa parno gue sama keluarga udah gak bisa gue kontrol sendiri.

"Mas nanya bukan karena Mas mau menentang keinginan kalian tapi Mas mau ngingetin, melawan itu artinya kalian udah siap untuk perang, apa kalian belum ngerti juga?" Mas Vian mengusap wajahnya memperhatikan gue.

"Lana tahu Mas tapi Lana juga udah mikirin ini baik-baik, bagaimanapun caranya Lana gak akan bisa hidup dalam kekangan orang lain, ini adalah salah satu cara untuk mendapatkan kehidupan Lana sendiri, untuk Aya juga."

"Bukannya kita berdua gak nyoba ngalah seperti saran Mas tapi Mas sendiri bisa ngeliat semuanya tadikan? Ayah atau Papa gak akan luluh semudah itu, kami gak punya pilihan lain."

Gue hanya diam mendengarkan, Bang Lana bener, kami berdua bukan mau membangkang orang tua tapi sekarang kami punya keluarga kami sendiri, kami punya kehidupan kami sendiri, kami punya keinginan kami sendiri, sampai kapan mereka akan ikut campur hanya untuk kepentingan mereka sendiri?

"Mas juga harusnya tahu, Lana sama sekali gak berniat mempersulit keadaan tapi disaat kami berdua semakin dipojokkan, pilihan kami hanya dua, diam menerima atau melakukan perlawanan disaat kami punya kesempatan."

Seperti ucapan Mas Vian juga, melawan itu sama artinya perang, gak mungkin mau perang tanpa persiapan apapunkan? Gak mungkin perang tanpa bawa senjata, senjatalah yang ingin di ingatkan oleh Mas Vian, perang dengan tangan kosong itu sama artinya bunuh diri.

"Baik kalau memang kalian udah yakin, akan Mas bantu sebisa Mas juga, kalian jangan terlalu khawatir." Mata gue langsung menatap Mas Vian gak percaya, Mas Vian beneran udah berubah, gue pikir gue gak akan pernah mendapatkan kasih sayang Abang kandung gue yang beneran tulus lagi.

"Mas makasih." Gue bangkit memeluk Mas Vian dari belakang.

"Selama Mas belum menikah, tanggung jawab terberat Mas masih kamu sama Bunda." Gue tahu.

"Yaudah kalau gitu Lana sama Aya pamit Mas, Aya butuh istirahat." Mendapat anggukan Mas Vian, gue bangkit dan dengan tetiba ditarik paksa Mas Suga.

"Mas butuh bicara." Mas Suga narik lengan gue tapi ditahan Bang Lana juga.

"Apa lo takut Aya bakalan milih gue dari pada lo? Kalau_

"Aya bicara sama Mas Suga sebentar." Mengusap lengan Bang Lana, gue mengikuti langkah Mas Suga dengan perasaan cukup geram, mau apalagi?

"Sekarang apa?" Tanya gue narik paksa lengan gue dari genggaman Mas Suga.

"Apa kamu bersikap kaya gini untuk balas dendam karena Mas nyakitin kamu? Kalau memang iya Mas gak masalah tapi setelah kamu selesai dengan permainan kamu, tinggalkan Lana dan kembali sama Mas." Ck! Gue tersenyum takjub dengan pemikiran Mas Suga, apa otakkan udah gak beres?

"Memang Mas siapa sampai Aya harus buang-buang waktu buat balas dendam sama Mas? Bahkan tanpa harus Aya balaspun, Aya rasa pernikahan Aya sama Bang Lana udah cukup jadi tamparan keras untuk Mas."

"Ah satu lagi, Aya sama Bang Lana gak lagi main-main, pernikahan bukan mainan seperti yang ada di otak Mas itu."

"Kalau tujuan Mas ngajak Aya bicara hanya untuk membuat Aya membenci Bang Lana itu percuma karena ini cuma akan membuat Aya semakin membenci Mas."
.
.
.

"Bang, boleh Aya nanya?" Tanya gue begitu kita berdua udah dirumah.

"Apa?" Angguk Bang Lana menutup buku bacaan ditangannya.

Gue narik nafas dalam dan mendudukkan tubuh gue tepat berhadapan dengan Bang Lana, melepaskan kacamata Bang Lana perlahan dan menangkup kedua pipinya.

"Kamu kenapa Ay?" Bang Lana natap gue heran sekarang.

"Abang tadi bilang kalau Abang juga punya cara pasti untuk ngancurin Mas Sugakan? Caranya apa?" Bang Lana tersenyum cukup lebar dengan pertanyaan gue, kenapa ketawa? Memang ada yang lucu?

"Pertanyaan Aya lucu dibagian mananya?" Gue masih setia menatap Bang Lana aneh.

"Kamu nanya caranya?" Ulang Bang Lana yang membuat gue mengangguk pelan.

"Abang gak tahu." Hah? Ini apaan lagi? Bang Lana becanda sama gue?

"Abang becanda? Kalau memang Abang gak punya cara apapun terus kemarin maksud Abang ngomong kaya gitu apa?"

"Strategi perang yang Bang Suga ajarin adalah kalau kamu yakin gak bisa menang, cara terbaik untuk bertahan adalah memukul lebih dulu." Hah apa gue harus ketawa sekarang? Gue kehabisan kata.

Gue melepaskan tangkupan gue dipipi Bang Lana dan beralih duduk bersandar dibahunya, ah kacau kalau kaya gini, mau gak mau gue kudu turun tangan dalam perang keluarga.

"Abang beneran ngebuat Aya gak tahu harus bereaksi gimana?" Gue mau ketawa tapi gue takut, ini bukan berita baik.

"Kita akan menang, apa dan bagaimanapun caranya." Semoga aja, menang dari keluarga akan sangat sulit.

"Terus sekarang apa rencana Abang?"  Gue sedikit mendongak menatap Bang Lana.

"Abang gak akan menjadi anak sebagai pengikat kita kamu tahu kenapa? Kedepannya kita belum bisa memastikan apapun, Abang memang akan berusaha yang terbaik tapi hasilnya Allah yang menentukan, Abang gak mau menempatkan anak-anak kita dikeadaan yang tidak menguntungkan." Gue paham maksudnya.

Dalam keluarga gue segala kemungkinan bisa terjadi, punya anak atau enggak, Ayah atau Papa gak akan peduli, kalau memang akhirnya kami harus berpisah, Bang Lana gak mau anak-anak yang jadi korban.

Gue tahu pasti maksud Bang Lana tapi entah kenapa gue tetap kecewa, kecewa untuk keluarga gue, kecewa untuk diri gue sendiri, semuanya seakan semakin sulit, bahagia yang gue rasa udah dekat tapi ternyata masih tergantung bak angan.

"Abang tahu kamu kecewa tapi Abang juga gak bilang akan menunda Ay, kalau memang rezeki kita, insyaallah itu adalah yang terbaik." Gue mengangguk pelan.

Gue memeluk Bang Lana cukup erat sekarang, entah kenapa walaupun gue percaya dengan Bang Lana tapi perasaan gak enak hati tetap aja gak bisa hilang gitu aja, gue mengkhawatirkan sesuatu yang gue sendiri gak bisa mastiin itu apa.

"Asalkan Abang selalu ada itu lebih dari cukup." Untuk sekarang gue hanya menginginkan ini, gue gak tahu apa yang bisa gue perbuat tanpa Bang Lana disisi gue.

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang