"Ay! Kamu didalem?" Dan gue menutup gitu aja panggilan dengan Mas Vian.
Membuka pintu gak sabaran dan air mata gue langsung berlinang begitu ngeliat kalau Bang Lana yang sekarang berdiri didepan gue, yang ada dihadapan gue sekarang beneran suami gue.
"Hei istri Abang kenapa nangis?" Tanya Bang Lana terlihat cukup kaget dengan pecahnya isak tangis gue.
Mengabaikan pertanyaan Bang Lana, gue langsung memeluk Bang Lana erat menyalurkan semua kekhawatiran gue, kalau dalam lima menit kedepan gue gak ngeliat Bang Lana setelah dapet kabar dari Mas Vian kaya gitu, gue gak tahu gue sekarang bakalan kaya apa.
"Ay kamu kenapa? Jawab Abang jangan ngebuat Abang khawatir." Tanya Bang Lana ulang sembari mengusap punggung gue pelan.
"Abang yang kenapa gak ngejawab panggilan Aya? Abang yang bikin Aya khawatir." Lirih gue sedikit terisak.
Bang Lana mengucapkan kata maaf dan mulai mengecup kepala gue yang ada dalam dekapannya, gue yang diperlakukan kaya gitu tangis gue bukannya berhenti tapi malah makin kejer.
"Lan! Dek! Kalian kenapa?" Suara Bunda yang lagi-lagi gue abaikan, gue bahkan belum mau melepaskan dekapan gue ditubuh Bang Lana.
"Gak papa Bun, Aya cuma kangen." Jawab Bang Lana sedikit tertawa.
"Kangen macam apa sampai nangis kejer begitu Lan? Kalau mau melepas kangen bawa Aya masuk ke kamar sana, Bunda mau masuk ke kamar."
Seketika gue langsung sadar dimana gue sama Bang Lana berdiri sekarang, kita berdua berdiri tepat diambang pintu kamar Bunda.
"Ay, lepas dulu." Cicit Bang Lana yang gue balas dengan gelengan.
"Sayang!" Dan tepat beberapa detik setelah gue menggeleng lagi, Bang Lana ngangkat tubuh gue dan dibawanya masuk ke kamar.
"Maaf Bunda." Cicit Bang Lana ninggalin kamar Bunda yang masih bisa gue denger.
"Ay, duduk dulu dengerin penjelasan Abang." Ucap Bang Lana mendudukkan tubuh gue disofa kamar.
"Abang mau ngasih penjelasan apa? Abang mau bilang yang handphone Abang baterainya habis? Atau Abang mau bilang kalau Abang sangat serius ngomong sama Papa sampai lupa kalau ada Aya?" Semprot gue masih sesegukan.
"Aya ngomong apa ni? Dengerin penjelasan Abang dulu bisakan?" Bang Lana membantu mengusap air mata gue.
"Yaudah ngomonglah? Abang tunggu apalagi?" Kesal gue.
"Handphone Abang memang gak habis baterai dan ngomong sama Papa juga kaya biasa cuma_
"Cuma apa?" Potong gue gak sabaran, lama amat.
"Cuma handphone Abang ketinggalan dalam mobil dan Abang sadarnya begitu sampai depan rumah Bunda barusan apa Aya tahu?" Dan tatapan gue berubah.
"Abang jujur?"
"Pernahkah Abang bohong sama kamu Ay? Gakkan? Udah Aya jangan kebanyakan mikir yang bukan-bukan." Bang Lana kembali mengusap pipi gue dan menatap gue cukup lama.
Memperbaiki posisi duduk gue, gue berbalik menatap Bang Lana lama dan yakin dengan sesangat yakin walaupun yang Bang Lana omongin tadi jujur, Bang Lana tetap nyembunyiin sesuatu dari gue.
"Terus tujuan Abang nyuruh Han kemari apa?" Tanya gue nepuk bahu Bang Lana.
"Itu kar_
"Sebelum Abang jawab, Aya ngasih Abang saran ni, kalau Abang berencana bohong lebih baik gak usah, Abang gak punya bakat dalam bidang itu jadi percuma." Gue nepuk pelan lengan Bang Lana.
"Oke gimana penjelasannya?" Gue siap mendengarkan.
"Itu karena Abang akan cerita kalau memang udah saatnya, ini untuk kebaikan kamu." Hah? Jawaban apaan yang bukannya bikin hati lega tapi makin penasaran gak karuan modelan begini?
"Abang becanda sama Aya? Abang udah lama gak Aya timpuk?" Tanya gue tersenyum menggigit gigi, apaan ni ngasih jawaban modelan begini?
"Ay! Abang_
"Abang apa? Apa yang bilang apapun keadaannya Abang akan jujurkan? Abang yang bilang Abang akan ceritakan? Abang yang janji itu semua ke Ayakan? Sekarang apa?" Kesal gue.
Dari awal gue gak nanya apapun walaupun gue tahu ada yang salah itu kenapa? Gue nahan diri gue untuk apa? Gue diam untuk siapa? Karena gue percaya kalau Bang Lana akan jujur dan cerita tapi sekarang?
"Abang mau jawab apa sekarang? Abang mau bilang kalau Aya harus nunggu? Nunggu dengan kekhawatiran yang semakin gak karuan? Abang ni gila apa gimana?" Gue bangkit dari duduk gue dan balik make hijab gue, gue mau pulang.
"Kamu mau kemana?" Tanya Bang Lana nahan lengan gue.
"Abang mau kita berantem dirumah Bunda?" Tanya gue balik, gue gak bisa nahan emosi gue lebih lama lagi.
Selesai dengan hijab, gue narik kunci mobil yang kebetulan memang ada dikantong celana belakang Bang Lana dan turun gitu aja, gue tahu Bang Lana kaya gini karena gak mau gue kepikiran, gue tahu Bang Lana gak mau cerita karena memang itu yang lebih baik tapi setiap kali gue inget kenyataan kalau Bang Lana lagi-lagi nanggung bebannya sendirian gue mau gila rasanya.
Gue gak tahu apa yang ada diotaknnya Bang Lana sekarang tapi yang pasti ada banyak cara nyelesain masalah, ada banyak cara lain yang bisa kita lakuin asalkan bareng-bareng, ada banyak cara, ada.
"Ay, Abang yang bawa mobilnya." Gue melemparkan kuncinya balik ke Bang Lana dan cuma nyalim sekedar sama Bunda.
.
.
.
Sampai dirumah, gue turun dari mobil dan berjalan cepat masuk ke kamar, gue gak tahu harus ngadepin Bang Lana gimana? Gue gak bisa ngeliat mukanya, gue kesel, marah tapi disaat bersamaan gue juga ngerasa bersalah, gue khawatir."Ay, dengerin penjela_
"Penjelasan apa? Bukannya Abang yang bilang kalau Abang gak akan cerita? Terus penjelasan yang Abang maksud sekarang itu gimana?" Lirih gue motong ucapan Bang Lana.
"Ay, Aya tahukan? Gak baik Aya bersikap kaya gini sama suami Aya." Gue mengusap pelan wajah gue.
"Aya tahu, Aya minta maaf, Aya gak ada niat sama sekali mau bersikap kurang sopan sama Abang tapi Abang juga tahukan? Aya paling benci kalau Abang nanggung rasa sakit Abang sendirian." Gue menatap Bang Lana.
"Bang, Aya tahu, Aya bukan wanita sempurna, Aya tahu kalau Aya belum bisa jadi istri yang baik untuk Abang, Aya tahu kalau selama ini Abang harus banyak bersabar ngadepin kelakuan Aya, Aya minta maaf."
Gue tahu gue belum bisa jadi istri yang baik untuk Bang Lana, gue bahkan belum menjalankan kewajiban gue, gue yang terlalu kekanak-kanakan, gue yang terlalu mementingkan kemauan gue sendiri, gue bahkan selalu minta Bang Lana menjawab semua keinginan gue walaupun gue tahu kalau Bang Lana juga tertekan dengan permintaan gue itu.
"Aya ngomong apa? Siapa yang bilang Aya bukan yang terbaik untuk Abang? Aya dapet pemikiran bodoh kaya gini dari mana?" Bang Lana maju mendekap tubuh gue.
"Ay! Semua manusia didunia ini memang gak sempurna, bukan cuma Aya, Abang juga gak sempurna tapi dengan kehadiran Aya, hidup Abang terasa lengkap Ay, Abang gak butuh apapun lagi."
"Abang gak menyesalkan nikah sama Aya?" Tanya gue lirih.
"Ya Allah, Aya ngomong apa sih Ay? Gak ada satu detikpun dimana Abang menyesal menjadi suami dari seorang Aya."
"Mungkin sekarang Aya mikir kalau Aya bukan yang terbaik untuk Abang tapi diluar sana, semua orang akan berpikir kalau Abang yang beruntung karena punya istri kaya Aya, cantik? Iya! Manis? Ngalahin gula! Kaya? Jangan tanya lagi, Aya merasa kurang dari segi mananya?" Gue langsung nepuk bahu Bang Lana.
"Abang becanda? Abang tahu bukan itu maksudnya."
"Intinya Abang sayang sama Aya apa itu belum cukup?" Gue menggeleng, sayang dari Bang Lana udah cukup banget buat gue.
"Kalau gitu jawab pertanyaan Aya, apa yang Abang sembunyiin?" Bang Lana melepas dekapannya dan menggenggam erat kedua bahu gue.
"Kalau Abang kasih tahu, Aya akan balik kehilangan seseorang yang sangat berharga dalam hidup Aya, apa Aya bisa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...