"Assalamualaikum." Ucap gue begitu membuka pintu rumah.
"Waalaikumsalam, Dek, kamu berantem sama Dita?" Tanya Bunda begitu gue nyalim, kenapa tiba-tiba Bunda nanya gue berantem apa enggak sama Dita?
"Memang kenapa Bun?" Tanya gue bingung.
"Dita dikamar kamu dari tadi dan belum mau turun sama sekali." Gue langsung membelalakkan mata gue begitu mendengar ucapan Bunda.
"Kenapa Bunda biarin Dita masuk sih Bun?" Kenapa Dita naik ke kamar gue? Gimana kalau dia ngeliat barang-barang Bang Lana dikamar? Gue harus ngasih jawaban apa?
"Kan memang biasanya gitu." Bunda juga terlihat bingung dengan kelakuan gue.
"Itu sebelum Aya nikah." Gak nunggu lebih lama, gue berlari masuk ke kamar dan bener, Dita duduk disalah satu sisi ranjang dengan bingkai foto pernikahan gue sama Bang Lana ditangannya.
"Ta_
"Ini maksudnya apa?" Tanya Dita memperlihatkan bingkai foto ditangannya ke gue.
"Ta, Kakak bisa jelasin semuanya." Ucap gue memberanikan diri mendekat perlahan ke arah Dita.
"Penjelasan? Penjelasan apa? Penjelasan kalau Kakak udah nikah sama Bang Lana?" Tanya Dita sinis bahkan menatap gue dingin, gue belum lupa kalau temperamennya Dita gimana.
"Jawab!" Bentak Dita bahkan dengan berani melemparkan foto ditangannya ke dinding.
"Dita, kamu bisa tenang sedikit gak?" Bentak gue balik karena kesal menatap bingkai foto gue sama Bang Lana yang pecah gitu aja.
"Tenang? Tenang? Apa Kakak bisa tenang kalau ada diposisi Dita?" Dita berlari mendorong bahu gue kasar.
"Kakak bahkan tahu kalau Dita suka sama Bang Lana tapi kenapa Kakak tega ngerebut Bang Lana dari Dita? Kakak bahkan nikah sama Bang Lana tanpa pemberitahuan apapun." Kesal Dita dan balik mendorong tubuh gue kuat.
"Akh." Ringis gue karena jatuh dengan tangan tepat mengenai pecahan bingkai foto yang dilempar Dita barusan.
"Kakak itu sama aja kaya perempuan murahan diluar sana, sok suci, sok baik padahal hati Kakak busuk, gimana bisa Kakak tetap nikah sama Bang Lana disaat Kakak tahu perasaan Dita?" Gue mencoba bangkit dan menatap Dita nahan emosi, balik ngebentak Dita itu percuma.
Gue tahu Dita marah, gue tahu Dita kecewa tapi bukan kaya gini caranya, semuanya bisa dijelasin baik-baik, gue gak ngerebut siapapun, gue gak ngerebut Bang Lana dari Dita, kenapa? Karena gue tahu kalau Bang Lana gak pernah punya perasaan apapun untuk Dita.
"Ta kamu bisa tenang sedikit? Kakak bisa jelasin semuanya sama kamu." Gue masih mencoba bersabar dengan sikap Dita, karena bagaimanapun gue ngerti perasaan Dita sekarang, merasa dikhianati.
"Gak perlu, Dita benci sama Kakak." Dan tepat saat Dita melemparkan vas bunga yang didekatnya ke gue, gue udah gak tahu apapun lagi.
.
.
."Apa kamu gila Dek? Gimana bisa kamu mukul Aya kaya gitu?" Remang-remang suara Mas Keta yang masih bisa gue denger ketika gue mencoba membuka mata gue perlahan.
"Tapi Kak Aya duluan Mas, dia ngerebut Bang Lana dari aku." Jawab Dita bahkan tanpa rasa bersalah sama sekali, Bang Lana yang semulanya duduk tertunduk bangkit dan menatap Dita penuh amarah.
"Tapi gak kaya gini caranya Ta, kalau Aya kenapa-kenapa apa kamu bisa bertanggungjawab?" Dan beberapa detik kemudian tatapan Dita tertunduk dengan nafas tercekat.
"Bang Lana cuma mi_
"Ini terakhir kalinya Abang tahu kamu bersikap kasar sama Aya, kalau kamu gak bisa mikirin kesalahan kamu, jangan pernah berani nyebut nama Abang lagi setelah ini Ta." Ucap Bang Lana menatap Dita dengan tatapan dinginnya.
Mendapatkan ucapan tegas Bang Lana, Dita meneteskan air matanya dan duduk tertunduk dengan pemikirannya sendiri, apa mereka semua belum sadar kalau gue udah bangun?
"Lan." Lirih gue narik ujung kemeja Bang Lana yang masih bisa gue raih.
"Ay, Aya baik?" Tanya Bang Lana yang sekarang menggenggam tangan gue erat dengan raut wajah khawatirnya.
"Aya baik, Abang gak perlu khawatir." Lirih gue menyunggingkan senyuman.
"Apa ini yang kamu maksud baik? Kamu harusnya bersyukur Dek karena ada Han yang nolongin kamu." Mas Vian mengusap kepala gue.
"Han? Kenapa bisa?"
"Kebetulan Han yang nyariin kamu ke rumah makanya ada yang ngebawa kamu ke rumah sakit secepatnya." Lanjut Mas Vian.
"Han kerumah? Jadi Han yang ngebawa Aya kesini?" Tanya gue untuk meyakinkan diri gue sendiri.
"Terus sekarang Han mana Mas?"
"Han udah pulang sama Bunda untuk ngambil keperluan kamu." Gue mengengguk mengiyakan.
Sadar dengan gue yang terus nanyain Han, Bang Lana tanpa sadar juga melepaskan genggamannya ditangan gue dengan tatapan mulai tertunduk merasa bersalah.
"Ay, Mas juga minta maaf atas nama Dita." Mas Keta nepuk bahu gue pelan.
"Gak papa Mas, Aya ngerti." Gue tersenyum kecil.
"Kamu gak berencana minta maaf Dek?" Mas Keta natap Dita dengan tatapan menusuk, bukannya memberikan jawaban, Dita malah bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan gue dirawat gitu aja, pada akhirnya Mas Keta juga ikut nyusulin.
"Abang kenapa?" Tanya gue mengusap bahu Bang Lana pelan.
"Abang minta maaf." Cicit Bang Lana menatap teduh gue.
"Mas keluar sebentar." Nepuk bahu Bang Lana, Mas Vian juga pamit keluar meninggalkan gue sama Bang Lana dalam hening.
"Bukan salah Abang." Gue kembali menggenggam tangan Bang Lana, raut wajah bersalahnya sangat mengganggu gue.
"Kalau seandainya Abang bisa lebih tegas sama Dita, kalau seandainya Abang bisa_
"Abang gak salah, Dita juga gak salah, Aya juga sama sekali gak nyangka kalau perasaan Dita ke Abang sedalam ini, pernikahan kita juga gak banyak yang tahu jadi Aya rasa wajar kalau Dita merasa dikhianati Bang." Jelas gue.
Gue sendiri juga salah, kalau seandainya gue ambil berat mengenai perasaan Dita, gue akan jujur lebih awal ke Dita masalah pernikahan gue, apa dan bagaimana gue bisa menikah dengan Bang Lana, gue akan menjelaskan semuanya.
"Tapi sikap Dita hari ini udah gak bener Ay, kalau terus dibiarin gak menutup kemungkinan dia bisa berbuat yang lebih dari ini." Bang Lana masih terlihat sangat kesal.
"Itu karena perasaan Dita ke Abang juga dalam, apa Aya salah?" Gue tersenyum menenangkan.
"Tapi jangan menjadikan cinta sebagai alasan untuk merusak diri sendiri bahkan merusak hidup orang lain." Gue masih mendengarkan.
"Tingkat ketulusan tertinggi dalam mencintai adalah membiarkan orang yang kita cintai berbahagia dengan pilihannya."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...