"Lo gak akan pernah menang dalam hal apapun dari gue_
"Tapi atas diri Aya, Lana pemenangnya." Gue udah gak tahu harus bersikap gimana ngadepin Mas Suga, dia mau apalagi dari gue sekarang?
Ya memang bagaimanapun keadaannya yang namanya keluarga tetap akan selalu menjadi keluarga, dalam tubuh Mas Suga dan Lana akan selalu mengalir darah yang sama, gue sangat menghargai kenyataan itu.
Tapi semakin gue coba ngerti, gue malah makin gak bisa terima dengan sikap Mas Suga sekarang, gue pikir setelah Lana balik semuanya akan mulai membaik seiring berjalannya waktu, keluarga Lana akan melepaskan kita berdua dan Ayah gue juga akan lebih mudah gue yakinkan.
Jangan lupakan fakta kalau Ayah gue juga masih sangat mengharapkan kalau Mas Sugalah yang menjadi menantunya, hanya Mas Vian dan Bunda yang memihak gue sama Lana sekarang, mungkin Mama Rika juga.
Yang membuat gue semakin bingung sekarang adalah Mas Suga atau Lana apabedanya, mau gue nikah sama siapapun diantara mereka berdua bukannya gue akan tetap menjadi menantu keluarga ini? Terus yang sampai sekarang jadi masalah besar itu apa? Umur? Ayolah umur gak menjamin tingkat kedewasaan.
"Mas sebenernya mau apa lagi dari Aya? Bukannya kalau untuk menikah Mas udah mendapatkan kesempatan lebih dulu ketimbang Lana? Mas sendiri yang nolakkan? Dan sekarang Aya milih Lana, Mas punya masalah apa?"
"Mas menyesal_
"Menyesal? Menyesal kata Mas? Menyesal yang Mas maksud itu sebenernya untuk apa? Untuk kehilangan Aya atau untuk kehilangan kesempatan menjadi menantu pilihan Ayah Aya? Aya juga bukan anak kecil lagi Mas yang gak paham siatusi."
"Sama halnya Mas yang punya prinsip, Aya juga, sekali Aya kecewa, Aya gak akan pernah mandang orang itu untuk hal yang sama lagi." Gue melayangkan tatapan menusuk gue.
Bukan cuma Mas Suga dan Lana yang punya prinsip, gue juga, sekali gue kecewa gue mungkin bisa memaafkan tapi memberikan kesempatan untuk hal yang sama gue gak bisa.
Kedepannya gue mungkin bisa menganggap Mas suga sebagai keluarga gue, menganggap Mas Suga sebagai Abang dari suami gue tapi bukan untuk menjadikan Mas Suga pendamping hidup gue, itu gak akan pernah terlintas lagi, otak gue menolak keras.
"Ay, Papa percaya kalau Suga bisa lebih baik dari Lana." Gue tersenyum miris menghadapi Papa Akbar sekarang, apa Papa gak bisa melihat sisi baik Lana sedikitpun juga? Apa yang salah dengan keluarga ini?
"Pa, baik enggaknya Mas Suga atau Lana untuk Aya, bukan Papa yang nentuin tapi Aya sendiri, Aya milih Lana dan itu gak akan berubah." Ucap gue masih mencoba bersikap sebiasa mungkin.
"Lana bisa apa Ay? Apa kamu gak mau membahagiakan Ayah kamu? Ayah kamu menginginkan Suga sebagai menantunya."
"Terus yang mikirin kebahagian Aya siapa Pa?" Lirih gue tersenyum perih.
"Apa Aya bukan putri Papa sekarang? Apa Lana bukan putra Papa lagi? Kami berdua harus terluka seberapa jauh lagi untuk nurutin semua keinginan Ayah sama Papa?"
"Pa, Papa tahu, sewaktu Aya dijodohkan dengan Mas Suga dulu Aya terima gitu aja tanpa penolakan apapun, itu semua Aya lakuin untuk apa? Untuk kebahagian Ayah sama Papakan?"
"Tapi setelah itu, bagaimana sikap Mas Suga ke Aya kalian semua gak ada yang peduli, setiap ucapan Aya serasa angin lalu, kalau ada yang harus disalahkan untuk semua ini harusnya Mas Suga, bukan Aya apalagi Lana."
"Salah Lana dimana Pa? Bukankah Lana atau Mas Suga gak ada bedanya? Mereka berdua sama-sama putra Papa tapi yang membuat pernikahan Aya sama Lana sangat ditentang itu kenapa?"
Semuanya terdiam hening mendengarkan ucapan gue, Papa yang tertunduk tanpa bantahan sedangkan Mas Suga mulai menatap gue dengan rasa bersalahnya, Mama yang mulai berlinang air mata juga gak luput dari penglihatan gue.
"Pa, selamanya Papa tetap orang tua Lana tapi sekarang, tanggungjawab Lana juga besar Pa, membahagiakan Mama dan Aya, selebihnya Papa bisa melakukan apapun yang Papa mau dengan warisan yang Papa maksud."
"Papa mau memberikan semuanya untuk Mas Suga, Lana juga gak keberatan tapi tolong, jangan ikut campur dalam rumah tangga Lana sama Aya lagi."
"Ma, Lana pamit, Ay, kita pulang sekarang." Lana mengecup kening Mamanya sekali dan menggenggam tangan gue keluar dari rumah gitu aja.
Masuk ke mobil dalam diam, suasana terasa cukup hening sampai gue meminta Lana memberhentikan mobilnya disebuah taman yang mulai terlihat sepi sekarang.
"Lan, Lana baik?" Tanya gue mengusap bahu Lana pelan.
"Aya baik? Aya juga bicara cukup banyak didepan Papa." Gue yang awalnya sesangat khawatir dengan keadaan Lana malah ikut menyunggingkan senyuman begitu Lana memperlihatkan senyum kecilnya.
"Gak tahu, Aya ngerasa kesal bahkan marah dengan keadaan keluarga kita sendiri, apa harta segalanya? Mereka selalu ngungkit kebahagian mereka, terus kebahagian kita siapa yang peduli?" Kesal gue lagi.
Inget sikap Papa, Mas Suga bahkan Ayah gue sendiri, darah gue udah naik, gimana bisa mereka berpikiran sempit kaya gitu? Harta harta dan harta, gue bosen dengan alasan kebahagian mereka.
Hari ini bukan cuma sikap keluarga yang membuat gue kesal tapi perlakuan Papa sama Mas Suga ke Lana juga narik emosi gue, apa Papa selalu pilih kasih kaya gitu? Ya mau Mas Suga atau Lana apa bedanya?
"Lan, Aya mau tanya, apa Papa selalu bersikap begitu? Pilih kasih?" Tanya gue to the point, Lana lagi-lagi menyunggingkan senyumannya menatap gue.
"Itu karena Papa menaruh harapan terlalu tinggi untuk Bang Suga." Gue gak ngerti asli, bukannya setiap orang tua punya harapan yang sama untuk putra putri mereka?
"Dan Lana terima aja gitu sama sikap Papa? Gak protes gitu?" Tanya gue masih gak habis pikir.
"Apa Aya bisa membantah kemauan Ayah? Bisa protes? Enggakkan?" Gue mengiyakan, ah Lana bener, guepun sama, gue bisa apa kalau Ayah udah nentuin pilihan, ngebantah? Ya ribut kaya gini jadinya.
Gue menatap Lana lama tanpa mengeluarkan sepatah katapun, memperhatikan Lana dengan baik dan sukses membuat Lana ikut menatap gue cukup lama juga.
"Mau berapa lama lagi?" Tanya Lana menaikkan sebelah alisnya.
"Sampai rasa kesal Aya hilang, Lana tahu? Hari ini adalah hari terbanyak Aya ngomong tapi pake emosi." Lana menggeleng-gelangkan kepala menatap gue dengan senyum tertahan.
"Kenapa?" Tanya gue menyipitkan mata aneh.
"Lana cuma merhatiin Aya, apa ada yang salah?" Ya gak salah tapi natapnya gak usah pake senyum gak jelas gitu.
"Abang aneh." Cicit gue mulai memejamkan mata.
"Aya manggil Lana apa? Abang? Ke_
"Jangan tanya kenapa? Jangan banyak protes."Potong gue tahu kemana arah pertanyaan Lana.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...