(11)

3.6K 469 80
                                    

"Jadi Aya mau ngebahas itu sekarang?" Dan Lana malah mengedipkan matanya ke gue.

"Yak bukan itu maksud Aya, kenapa jadi nyeleweng sampai kesitu?" Gue yang memang masih berada dalam dekapan Lana hanya mendongak dan mendengus kesal dengan ucapan Lana barusan.

"Kenapa? Memang Kak Aya gak mau punya anak bareng Lana?" Tanya Lana mulai mempotskan bibirnya didepan gue.

"Kesurupankah? Kenapa tiba-tiba ngebahas itu? Lulus aja belum." Jawab gue dengan wajah memerah, gue sendiri gak bisa ngebayangin gimana kalau gue sama Lana beneran punya anak, gimana caranya anak-anak kaya gue ngurusin anak-anak? Mereka nangis tar gue ikutan.

"Tapi berhubung udah Kak Aya bahas Lana rasa panggilan juga harus kita ubah? Lana mulai bosen dimarahin Mama cuma karena pekara begini."

"Sama." Sambung gue, ya kata Bunda semuda-mudanya usia Lana bagaimanapun sekarang itu Lana suami gue dan hormat untuk suami itu perlu.

"Kak Aya mau Lana panggil apa? Sayang? Baby?" Dan gue langsung nyubit lengan Lana geram, sayang? Baby? Denger aja geli sendiri gue.

"Lana sendiri mau dipanggil apa? Sayang? Abi?" Balas gue nanya Lana balik gak yakin.

"Cukup panggil Lana, atau mau ditambah embel-embel Mas, Sayang juga bukan masalah." Hah? Mas? Bisa keseleo bibir gue kalau manggil Lana begitu.

Masih gue menimbang-menimbang panggilan untuk Lana, usapan Lana disetiap helaian rambut gue juga kembali membuyarkan pemikiran gue sekarang, "Jangan sakit." Gumam Lana yang masih bisa gue dengar.

Menikah diusia muda dan dengan lelaki yang lebih muda dari gue awalnya gue berpikir semuanya gak akan berjalan baik, keputusan gue untuk menikah dengan Lana waktu itu hanya untuk lepas dari Mas Suga tapi akan bagaimana nasib rumah tangga gue sama Lana? Gue sama sekali gak tahu.

Jangankan mikir banyak hal, mikirin panggilan yang baik untuk Lana sesuai mau Bunda aja gue gak bisa, ya gue tahu hormat itu perlu, terus manggil Lana cuma pakai nama itu juga gak baik tapi apa ada embel yang paling cocok untuk Lana selain adik? Tolong kasih gue solusi.

"Mikirin apa Ay?" Pertanyaan Lana kembali ngambil alih pemikiran gue.

"Gimana Lana bisa lulus dalam waktu dua tahun?" Bukannya setahu gue kuliah mau jurusan apapun tetap aja sulit? Dua tahun terlalu cepat menurut gue, hampir gak mungkin.

"Karena Aya, Lana ngelewatin itu semua dengan terus mikirin Aya, Papa punya kuasa jadi gak ada salahnya memamfaatkan koneksi Papa diwaktu yang tepat dan dengan cara jujur pastinya, Lana berusaha keras lulus cepat sebaik yang Lana bisa." Jawaban Lana yang membuat gue mengangguk pelan.

Ya gue juga tahu koneksi orang tua Lana bukan main, tapi satu yang harus kalian ingat, orang kaya juga gak akan bertahan lama tanpa kerja keras mereka, orang gak kaya secara instan, mereka melalui semua proses dengan kerja keras mereka dan didukung otak cerdas untuk mendapatkan itu semua, kerja keras adalah kuncinya.

Tapi kenapa banyak orang kaya yang berlaku curang? Itu karena mereka menghalalkan segala cara untuk mempertahankan posisi mereka, mereka bahkan rela mengorbankan diri dan keluarga mereka sendiri, itu yang gue benci.

"Lana mau jujur untuk sesuatu dan Lana harap, Aya akan setuju dengan pilihan Lana." Gue menyipitkan mata dengan ucapan Lana, mencurigakan.

"Apa?"

"Menolak jurusan yang Papa harapkan Aya tahu artinya apa? Itu artinya Lana juga siap untuk melepaskan perusahaan di teruskan oleh Bang Suga." Dan gue masih setia mendengarkan.

"Kedepannya mungkin Lana gak akan bisa memberikan kehidupan yang mewah seperti yang Aya dapat dari keluarga Aya sekarang, Lana cuma gak mau hidup Lana terikat untuk menuruti semua keinginan Papa, Lana gak mau melepaskan tanggung jawab Lana untuk Aya hanya untuk mendapatkan simpati Papa." Lanjut Lana menatap gue sedikit khawatir.

"Aya gak keberatan untuk itu." Jawab gue yakin.

Gue dan Lana lahir dari kondisi keluarga yang bisa terbilang sama, hanya saja yang membedakan gue perempuan dan sudah pasti gue gak akan memperebutkan warisan dengan Mas Vian, berbeda halnya dengan Lana, Lana dan Mas Suga memiliki peluang yang sama untuk warisan Papanya.

Seberapa besar yang ingin kamu dapatkan, sebesar itu pula pengorbanan yang harus kamu berikan, Mas Suga menyetujui perjodohannya dengan gue waktu itu karena itu adalah permintaan orang tuanya, menolak? Itu sama artinya Mas Suga menyerah.

Tapi apa ini semua adil untuk Lana, kenapa gue seakan terus jadi beban? Karena gue Lana melepaskan masa remajanya, karena gue Lana melepaskan kesempatannya, apa gue berhak menerima itu semua?

"Kenapa Lana gak nurut dan ngambil jurusan seperti yang Papa mau? Bukannya itu cita-cita Lana? Membangun perusahaan Papa bareng Mas Suga."

"Itu dulu Ay, itu dulu ketika Lana hanya bertanggung jawab untuk diri Lana sendiri tapi sekarang beda, hidup Lana bukan hanya tentang Lana, ada hidup Aya disana, Lana punya Aya sekarang."

"Hidup jauh dengan Aya selama dua tahun, cukup itu yang harus Lana korbankan hanya untuk mendapat restu Papa, Lana gak bisa menuruti setiap keinginan Papa dengan mengabaikan Aya sebagai tanggung jawab Lana sekarang." Dan gue mengerti maksud ucapan Lana.

Hanya untuk menikah dengan gue Lana mengorbankan masa remajanya, kalau Lana tetap menuruti keinginan Papanya hanya untuk mendapatkan perusahaan, belum ada jaminan Papa akan memberikan berbagai syarat yang gak bisa dipenuhi Lana nantinya, salah satunya bahkan mungkin harus meninggalkan gue lagi.

Apa boleh gue berharap lebih banyak dari Lana? Bahkan sampai detik ini Lana menepati janjinya sewaktu menikahi gue dulu, Lana akan melakukan apapun dengan memikirkan kebaikan gue lebih dulu, Lana menepati janjinya bertanggung jawab sampai akhir untuk menikahi gue.

"Maaf." Cicit gue, berkali-kali Lana ngingetin gue kalau gue gak pernah jadi beban tapi seberapakeraspun gue mikir, kata maaf tetap harus gue ucapkan untuk semua kebaikan Lana.

"Maaf kenapa? Menikahi Aya adalah satu-satunya permintaan Papa yang gak pernah Lana sesali, mungkin kalau Aya gak minta Lana menikah waktu itu, Lana masih harus hidup dalam kekangan Papa, Lana yang seharusnya berterima kasih."

Lana tersenyum dengan tangan masih setia mengusap helaian rambut gue, gue harusnya juga bersyukur, mungkin kedepannya hidup gue dan Lana akan lebih sederhana tapi selama gue sama Lana memiliki kehidupan kami sendiri, seperti mau kami, itu lebih dari cukup, hidup untuk membahagiakan diri kami sendiri bukan untuk membahagiakan orang lain.

"Lana juga udah sempat bicara sama Papa dan Mas Vian mengenai keinginan Lana untuk ngajak Aya pindah, mereka setuju."

"Pindah? Kemana?"

"Lana punya apartement yang dihadiahkan Mama pas ulang tahun ke 17 Lana waktu itu, Lana berharap Aya setuju, mari bangun rumah tangga kita berdua tanpa campur tangan orang lain didalamnya." Kaku amat perasaan.

"Lana suami Aya jadi kemanapun Lana pergi Aya akan ikut, asal diajak, di ajak gak?"

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang