"Abang harus bahagia, walaupun tanpa Aya." Dan Aya kembali menutup matanya."Dok! Dokter!" Teriak gue hampir kehilangan kendali untuk diri gue sendiri, gue mengusap wajah gue kasar menatap Aya penuh ketakutan, tolong Ya Allah, jangan sekarang.
"Mas tolong keluar dulu." Pinta suster yang terpaksa gue turuti, dengan langkah gemetar, gue keluar dari ruangan Aya dan berjalan tertatih mendudukkan tubuh gue kembali dikusi tunggu.
Ada saatnya menunggu menjadi proses paling meyakitkan untuk seseorang, entah itu karena rasa takut kehilangan atau menunggu tanpa adanya sebuah kepastian, apa ini juga yang Aya rasakan waktu nunggu gue tanpa kabar dua tahun yang lalu?
"Kenapa Lan?" Tanya Bang Suga ikut khawatir melihat gue keluar dengan langkah bergetar.
"Aya balik gak sadarkan diri Bang." Lirih gue berusaha keras nahan isak tangis gue sebisa mungkin.
"Aya akan baik-baik aja, Abang yakin Aya kuat Lan." Gue mengiyakan.
Aya kuat, gue juga yakin itu, sekali lagi Ay, tolong bertahan untuk Abang, untuk anak kita, rutuk gue sendiri, hampir setengah jam berlalu, gue sama Bang Suga masih setia nunggu, Ayah sama Bunda udah balik ngejengukin Mas Vian, ini juga berat untuk mereka.
Gue yang semulanya tertunduk tanpa arah mendongak cepat begitu suster yang tadi nemuin gue balik keluar, gue sangat berharap ini adalah kabar baik.
"Mas Lana tolong masuk sebentar." Gue mengikuti susternya dengan langkah sedikit tidak sabaran.
"Gimana dok? Istri saya baikkan Dok?" Tanya gue begitu mendudukkan ulang tubuh gue dihadapan dokter yang menangani Aya.
"Alhamdulillah, jadi begini Mas, Mbak Aya memang sudah sempat siuman hanya saja kondisinya masih sangat lemah, Mbak Aya butuh banyak tambahan darah sampai kondisinya benar-benar stabil." Gue ikut mengucapkan kata alhamdulillah sembari mengangguk mengiyakan.
"Kebetulan stok darah dirumah sakit juga masih cukup jadi Mas dan keluarga tidak perlu cemas, untuk sekarang keluarga mungkin belum bisa menemui pasien, hanya Mas yang menemani itu akan lebih baik untuk pasien."
"Saya mengerti Dok, jadi bisa saya menemui istri saya sekarang?" Mendapat persetujuan dokter, gue balik menemui Aya dan nafas gue seakan tercekat melihat kondisi Aya sekarang.
"Abang minta maaf Ay! Abang gagal ngejagain kamu, Abang bahkan gagal ngejagain anak kita." Lirih gue menggenggam tangan Aya erat.
Gue duduk dikursi sebelah Aya berbaring, memperhatikan wajah lelah Aya sembari mengucapakn rasa syukur yang tak terhitung, bagaimanapun, Aya sempat sadar itu pertanda baik seperti yang dokter sampaikan.
"Abang janji ini juga akan jadi pertama dan terakhir kalinya kamu terluka untuk Abang Ay, gak akan ada kali kedua, gak akan." Lirih gue mengecup tangan Aya berkali-kali.
"Janjinya Aya pegang ya Bang." Lirih Aya kembali membuka matanya.
"Pasti sayang." Gue tersenyum mengiyakan.
.
.
."Satu bulan kemudian."
Satu bulan berlalu terlalu banyak yang berubah, sepanjang umur ini adalah perubahan terbesar yang gue punya, Gue mendapatkan kembali kasih sayang Bang Suga dan Papa, Mama belakangan juga semakin bahagia dengan keakuran kedua putranya.
Sekarang Mas Vian juga udah gak serumah sama Ayah Bunda tapi gue melihat perubahan sikap yang sangat tulus dari Mas Vian, walaupun Ayah tetap dengan keputusannya mengenai warisan tapi Mas Vian udah bisa menerima itu.
Permintaan maaf Mas Vian ke Aya juga gak akan bisa gue lupain, Mas Vian menangis hampir setiap kali melihat keadaan Aya, menyesali perbuatannya aja udah lebih dari cukup, ah mungkin banyak yang nanya kenapa Aya gak mau Mas Vian di penjara? Itu karena menurut Aya, Mas Vian sebenernya baik, mungkin perasaan merasa dibedakan yang membuat Mas Vian berubah, itu juga berlaku untuk Kiran dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...