(33)

2.4K 292 47
                                    

"Apa kamu yakin Lana masih ngizinin kamu keluar sama Mas setelah tahu semuanya?" Tatapan Mas Vian berubah.

"Kalian berdua terlalu bodoh kalau untuk ngadepin Mas Ay." Dan gue mulai ketakutan, Mas Vian tahu kalau gue sama Bang Lana tahu kelakuannya.

"Mas mau apa? Sebenernya apa salah Aya sama Mas? Apa Mas? Kenapa Mas bisa setega ini sama Aya?" Tanya gue menatap Mas Vian gak percaya.

Dengan tatapan penuh amarah, Mas Vian menepikan mobilnya dan beralih menatap gue, apa ini beneran Mas gue? Gue seolah gak kenal dengan saudara gue sendiri.

"Kamu mau tahu kenapa? Itu karena Ayah sama Bunda cuma peduli sama kamu, hanya karena kamu anak kandung mereka, mereka sama sekali gak pernah nganggep Mas ada." Bentak Mas Vian ke gue.

Gue beneran kaget dengan pemberitahuan Mas Vian, apa katanya? Hanya karena gue anak kandung? Apa selama ini Mas Vian bukan saudara kandung gue? Gimana bisa? Itu gak mungkin.

"Mas, Mas ngomong apa? Mas itu sa_

"Itu karena mereka hanya peduli dengan masa depan kamu, hanya karena kamu anak kandung mereka, semua yang udah Mas lakuin demi perusahaan gak ada artinya, pada akhirnya mereka tetap milih kamu sebagai pewaris tunggal, atau mereka berniat ngebuang Mas nantinya juga?" Hah! Jadi ini alasan Mas Suga sangat ingin menikahi gue dulu?

Gue bahkan tertawa dengan air mata berlinang sekarang, haha pada akhirnya hartalah yang mereka perebutkan, apa Mas Suga butuh gue karena Mas Suga udah tahu kalau Mas Vian bukan Abang kandung gue? Itu semua karena Mas Suga tahu kalau gue yang akan jadi pewaris tunggalnya.

"Apa Mas akan nyelakain Aya karena harta juga sekarang?" Walaupun dengan air mata berlinang, gue masih menyunggingkan senyuman gue menatap Mas Vian.

"Apa kamu pikir Mas gak bisa?" Mas Vian ikut tertawa kecil.

"Apa Aya sama sekali gak berarti untuk Mas? Apa gak ada sedikitpun rasa sayang Mas untuk Aya? Aya bahkan gak peduli dengan harta itu Mas, Aya gak butuh, yang Aya butuhin itu Mas." Tanya gue mengusap lengan Mas Vian.

"Sayang? Apa sayang bisa membuat Ayah mengalihkan semua hartanya untuk Mas? Enggak Ay." Apa harta sangat penting? Apa harga gue bisa ditukar dengan seluruh harta Ayah?

"Apa yang terpenting untuk Mas hanya harta? Apa hidup sebagai Putra Ayah sama Bunda dan Saudara untuk Aya belum cukup? Tanpa harta warisanpun, sekarang Mas gak kekurangan apapun." Dan Mas Vian sama sekali gak menjawab pertanyaan gue.

"Mas! Apa gak bisa kita stop disini aja, harta bukan segalanya Mas."

Harta bukan segalanya, berulang kali gue ngucapin kata ini, entah itu untuk keluarga Bang Lana atau bahkan keluarga gue sendiri, kenapa selalu harta yang menjadi puncak masalahnya? Hidup gue berantakan hanya karena hal gak penting kaya gitu?

"Aya tanya sekali lagi Mas, Apa gak bisa kita stop semuanya sekarang? Kalaupun Ayah akan ngalihin semuanya hartanya atas nama Aya, Aya juga akan ngalihin semuanya atas nama Mas, cukup disini Mas, Aya beneran udah capek." Lirih gue belum melepaskan lengan Mas Vian.

"Yang Mas butuh pengakuan Ayah bukan belaskasihan kamu Ay, apa kamu belum ngerti juga?" Ya Allah, ini harus gimana? Pengakuan? Ayah gak akan memberikan apapun kalau kaya gini caranya.

"Banyak cara lain untuk dapet pengakuan Ayah Mas, gak dengan cara ngancurin hidup adik Mas sendiri kaya gini, apa Mas bisa bahagia setelah ngancurin hidup Aya? Apa Mas bahagia setelah dapet pengakuan Ayah dengan cara jahat kaya gini?"

"Jahat? Jahat kamu bilang? Kalian yang jahat, selama ini gak ada yang peduli sama Mas, yang mereka tahu hanya perjodohan kamu, memastikan segala yang terbaik untuk kamu, melakukan apapun asal_

"Aya peduli sama Mas, Mas masih punya Aya, Aya yakin Bang Lana juga peduli sama Mas, kami semua peduli Mas." Potong gue, gak ada orang tua didunia ini yang gak sayang sama anaknya, walaupun bukan anak kandung tapi mereka juga membesarkan Mas Vian dengan tangan mereka sendiri.

"Mas, ini semua salah Mas." Gue masih mencoba meyakinkan.

"Salah? Udahlah Ay, apapun ucapan kamu gak akan ngubah pemikiran Mas, lebih baik kamu diem dan ikut sama Mas baik-baik." Mas Vian kembali melajukan mobilnya.

"Yaudah kita mau kemana?" Tanya gue melepaskan lengan Mas Vian dan mulai memperbaiki posisi duduk gue.

"Kamu akan tahu." Satu hal yang Mas Vian gak sadar, panggilan gue udah tersambung dengan Bang Lana dari tadi.

.
.
.

"Jadi Mas ngebawa Aya kerumah lama kita?" Ucap gue begitu tiba ditempat tujuan, gue turun dan Mas Vian juga ikut turun, mungkin terdengar aneh tapi gue juga gak ngerasa kalau Mas Vian sanggup berbuat jahat sama gue, ini adalah alasan gue bisa bersikap jauh lebih tenang.

"Masuk." Mas Vian mendorong tubuh gue pelan.

"Iya inikan jalan." Gue masuk dan asli lagi-lagi gue sama sekali gak bisa nutupin keterkejutan gue, apa selama ini Mas Vian sering kemari, rumah lama kita sangat tapi dan belum banyak yang berubah.

"Mas sering kemari?" Tanya gue duduk disofa.

"Jangan banyak tanya, kamu tetap disini dan jangan berani-berani kabur kalau kamu masih mau Mas bersikap manis." Gue mengangguk pelan.

"Sampai kapan Aya harus tinggal disini? Mas tahukan kalau Aya takut sendirian? Kalau Mas tinggalin Aya sendirian disini malem-malem, gak perlu Mas apa-apain, nyawa Aya juga udah terancam, serangan jantung." Mas Vian bahkan natap gue gak percaya.

"Aya masuk ke kamar, kalau Mas makan, pesenin Aya lebih." Gue bangkit dari duduk gue dan berjalan masuk ke kamar, kamar gue harusnya juga bersih.

Sekarang gue berdiri tepat dihadapan pintu kamar yang ditempeli lukisan bertuliskan Aya zone, gue tersenyum sekilas dan begitu pintu gue buka, senyum gue makin mengembang, belum ada yang berubah, semua masih sama.

Gue masuk dan menghempaskan tubuh gue asal diranjang, narik nafas dalam dan mengeluarkan handphone gue dari kantong celana, ah ini namanya mah bukan disekap tapi ditahan keluar rumah.

"Abang udah tahu Aya dimanakan? Buruan dateng tapi jangan ngebut juga, gak perlu khawatir, Aya tunggu." Ucap gue keseberang.

"Abang gak akan lama jadi jangan takut." Gue bergumam mengiyakan dan panggilan gue putus.

Cukup lama gue dikamar, gue menatap sekeliling kamar gue dengan pemikiran melayang kemanapun, perasaan gue sekarang memang sedikit tenang tapi bukan berarti gue aman, gue gak bisa nebak sama sekali jalan pikiran orang dan perasaan gue selalu bener, orang memang susah ditebak.

"Hai Ay! Lo apa kabar?" Tanya Kiran yang sekarang berdiri diambang pintu kamar gue.

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang