"Brisik Ay!" Gue melirik ke sebelah dan menatap lelaki yang berbaring disamping gue cukup lama, apa gue masih merindukan Lana setelah dia ninggalin gue gitu aja? Gimana bisa gue ngebayangin Lana ada disempingbgue sekarang?
Apa belum cukup semua orang nyiksa gue? Perasaan guepun rasanya gak berpihak, gue ingin melupa tapi semakin gue coba, bayangan tentang Lana malah semakin sering muncul.
"Ck! Gue mulai gila." Gumam gue tertawa miris dan kembali berbaling terlentang.
Meletakkan lengan diatas kepala, gue memejamkan mata gue berharap kalau bayang-bayang Lana akan segera menghilang, gue gak mau nyiksa diri gue lebih lama lagi, tolong.
"Siapa yang gila?" Gue membuka mata gue perlahan dan gak bisa berkedip sedikitpun begitu sadar kalau ini bukan sekedar khayalan gue, Lana beneran pulang.
"Siapa yang gila Ay?" Ulang Lana bahkan masih menatap gue dengan wajah sayunya.
Seketika gue bangkit dan duduk terpaku dengan mata mulai berkaca-kaca, memperhatikan lelaki yang duduk disamping gue sekarang beneran mmebiat gue gak bisa mikirin apapun, apa Lana beneran pulang?
Masih dengan posisi yang sama, Lana bersikap seolah belum sadar dengan tatapan kaget gue, memperhatikan gue seakan menelisik, Lana berharap gue akan bereaksi kaya apa memangnya?
"Kamu baik?" Tanya Lana berniat mengusap pipi gue, gue mengalihkan tatapan gue menghindari Lana.
"Apa Lana akan baik-baik aja kalau Aya pergi tanpa kabar apapun?" Tanya gue balik dengan air mata siap tumpah.
Apa Lana berhak nanya keadaan gue setelah memeperlakukan gue sesuka hati? Apa gue baik? Ck, apa sikap Lana sekarang wajar? Perasaan gue sekarang beneran kacau.
Gue gak tahu gimana caranya gue ngejelasin perasaan gue sekarang, gue marah, kesal, sakit bahkan merindu disaat yang bersamaan, walaupun gue merasa terluka tapi nyatanya perasaan gak bisa bohong, gue merasa tenang dengan kehadiran Lana.
Memperhatikan Lana, entah kenapa air mata gue seakan siap tumpah, ngebayangin lelaki yang berstatuals suami ninggalin lo tanpa kabar apapun dan sekarang tiba-tiba ada disamping lo tanpa pemberitahuan apapun juga, mau gue maki bahkan gue pukul sampai babak belur rasanya juga percuma.
"Ay! La__"
Mengabaikan Lana, gue bangkit dari ranjang dan berlalu masuk ke kamar mandi, menghidupkan keran dan seketika tangis gue pecah, rasa sakit yang selama ini gue tanggung seolah hilang hanya karena kehadiran Lana.
Kehadiran Lana seolah ngambil alih semua beban yang selama gue tanggung sendiri, gue tahu ini mungkin terdengar lucu bahkan gila, setelah kepergian Lana gue marah, sakit hati bahkan sampai membenci tapi perasaan gue ngambang gitu aja cuma karena mendapati Lana balik dengan keadaan sehat kaya gini.
Cukup lama gue berlarut dengan tangisan gue, gue keluar setelah yakin wajah sembab udah gue gak begitu keliatan, ya walaupun mata dan hidung yang memerah udah menjelaskan semuanya tapi seenggaknya air mata yang memperlihatkan kelemahan gue udah gak ada.
Memperhatikan sekeliling kamar yang sekarang udah kosong, gue turun kebawah dan gak mendapati siapapun juga, Lana kemana? Apa semuanya beneran cuma halusinasi gue? Apa keadaan gue separah itu?
Nepuk pelan pipi, gue ngambil susu kotak dikulkas, gue kembali berlarut dengan pemikiran gue sendiri, keadaan gue sekarang malah semakin mengkhawatirkan, apa gue harus cek ke rumah sakit?
"Sendirian Dek?" Tanya Mas Vian ngagetin, ya gimana gak kaget tiba-tiba Mas Vian muncul entah dari mana ditempat yang udah sepi kaya gini?
"Inikan berdua sama Mas." Jawab gue males, Mas Vian hanya menyunggingkan senyumannya dan ngambil posisi duduk disebelah gue.
"Kenapa belum tidur? Bukannya Lana nginep dirumah malam ini?" Gue malah menatap Mas Vian kaget dengan pertanyaannya.
"Maksud Mas? Lana pulang?" Tanya gue memastikan, apa pendengaran gue juga mulai bermasalah?
"Lana pulang, memang kamu belum ketemu?"
"Mas nanya serius atau memang cuma mau ngerjain Aya?" Becandaan Mas gue gak lucu.
"Apaan sih Dek? Ditanya malah nanya balik."
"Jadi yang di kamar Aya tadi beneran Lana?" Tanya gue natap Mas Vian gak yakin, bukannya kaget Mas Vian malah mengiyakan dengan santainya.
"Ya memang Lana, memang kamu pikir siapa?"
"Kenapa Mas biarin Lana masuk kekamar Aya?" Bentak gue gak terima.
"Kamu kenapa Dek? Kalau Lana dikamar Adek memangnya aneh? Kalau Lana dikamar Mas itu baru aneh, lagian bukannya Lana yang selama ini Adek tunggu? Sekarang orangnya udah didepan mata kenapa Adek malah marah-marah? Aneh." Cerocos Mas Vian gak pakai saringan, ya gimana bisa semua orang bersikap sesantai ini?
"Mas sehat? Kenapa perasaan Aya seolah gak penting sama sekali untuk kalian? Apa Aya barang? Kenapa Lana dateng dan seenak jidatnya juga ninggalin Aya? Setelah pergi tanpa kabar dan sekarang balik tanpa pemberitahuan apapun juga, Mas malah bilang Aya aneh? Mas gak salah?"
Kesal gue dengan mata kembali berkaca-kaca, harus seberapa parah lagi mereka ngancurin hidup gue? Apa yang selama ini gue terima belum cukup? Hidup gue gak segampang itu, setiap tindakan yang mereka lakuin gue sendiri yang akan nanggung konsekuensinya, kenapa mereka gak pernah ngerti?
"Dek, Mas selalu bilang, setiap tindakan itu punya alasannya, kenapa gak Adek tanya baik-baik sama Lana? Marah? Itu gak akan memperbaiki keadaan Dek."
"Tapi semua gak segampang itu Mas, Mas lupa apa yang udah Aya lewati satu tahun yang lalu? Aya masih bisa berdiri didepan Mas aja harusnya kalian semua udah banyak bersyukur."
"Mas? Dek? Kalian kenapa?" Gue mengusap wajah gue begitu sadar dengan kehadiran Bunda, gue langsung pamit naik ke atas sebelum Bunda jadi khawatir memperhatikan gue.
"Kita butuh bicara." Ditangga, Lana narik lengan gue balik masuk ke kamar.
Sampai di kamar, gue bahkan masih gak bisa percaya kalau Lana beneran ada dikamar gue, duduk dihadapan gue dengan raut wajah lelahnya, gue harus gimana sekarang? Nanya baik-baik penjelasan Lana dan ngelupain apa yang udah gue alami satu tahun yang lalu? Itu gak mungkin.
"Jadi apa? Mau ngomong apa sekarang?" Tanya gue menatap Lana terluka.
"Lana minta ma__"
"Tapi Lana harus tahu, penjelasan apapun hasilnya akan tetap sama, Aya terluka lebih parah dari yang bisa Lana bayangin sekarang." Gue memejamkan mata gue untuk ngomong kaya gini sama Lana.
Sadar dengan suara gue yang bergetar, Lana beralih duduk berlutut dan mulai menggenggam tangan gue erat, apa setelah menggenggam tangan gue kaya gini Lana akan balik ninggalin gue lagi? Gue terlalu takut untuk kenyataan itu.
"Maaf." Lana memeluk tubuh gue erat dan gue masih dengan posisi yang sama, diam tertunduk dengan mata semakin berkaca-kaca, maaf? Perasaan gue gak akan sembuh secepat itu.
"Maaf Lana gak akan bisa narik balik semua rasa sakit yang udah terlanjur Aya tanggung." kalimat gue yang membuat Lana melepaskan dekapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romansa"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...