(7)

3.7K 449 62
                                    

Hari berlalu, bulan berganti bahkan lusa genap dua tahun pernikahan gue dengan Lana tapi gue masih belum nerima kabar apapun, kata dua hari yang Lana ingetin seolah berganti menjadi dua tahun, pergi ninggalin gue tanpa kabar, itu adalah beban dari pilihan yang harus gue tanggung.

Belum cukup dengan kepergian Lana, baik keluarga Lana ataupun keluarga gue gak ada yang bisa ngasih penjelasan apapun, mereka semua seolah diam membiarkan gue berlarut dengan pemikiran gue sendiri.

"Lana akan pulang!" Cuma tiga kata ini yang akan gue dapatkan sebagai jawaban untuk semua pertanyaan gue, pulang? Kapan? Apa Lana akan pulang setelah ninggalin gue gitu aja? Pada kenyataannya Lana ataupun Mas Suga itu sama, gak ada satupun dari mereka yang tulus nerima kehadiran gue, gak ada.

"Dek, mau berangkat bereng Mas?" Tanya Mas Vian yang sekarang berdiri diambang pintu kamar gue.

"Enggak Mas, Aya berangkat bareng Han." Jawab gue singkat tapi dibalas tatapan aneh dari Mas Vian, Mas Vian sekarang malah natap gue dengan tatapan menelisiknya.

"Kenapa?" Tanya gue berbalik menghadap Mas Vian.

"Adek harus ingat, Adek masih istri orang." Mas Vian mengusap kepala gue sekilas sembari menyunggingkan senyumannya, istri? Ah gue tahu gue masih istri orang tapi apa Lana melakukan hal yang sama?

"Apa Lana masih nganggep Aya istrinya Mas? Kayanya enggak." Gue membalas senyuman Mas Vian dan nutup balik pintu kamar gue, dari awal harusnya gue tahu, semua gak akan semudah yang gue bayangin.

Gak berselang lama, gue selesai beberes dan langsung turun ke bawah, gue juga cuma nyalim sama keluarga gue dan langsung kabur, males berdebat dan kasian juga Han kelamaan nunggu.

"Lama banget Ay, tahu Lo lama mending gue duduk manis sarapan sama Mama gue tadi." Semprot Han begitu gue masuk ke mobilnya.

"Ikhlas kagak ngasih tumpangan? Kalau gak gue turun nih." Balas gue menggenggam tas gue balik berniat turun.

"Ambekan Lo." Han mulai fokus dengan kemudinya dan gue juga mulai nyumpel kuping gue dengan earphone kaya biasa.

"Bimbingan jam berapa?" Tanya Han narik asal salah satu earphone gue sekarang, gue yang berniat marah malah kehabisan kata ngeliat ni anak udah unjuk gigi didepan gue.

"Belum tahu, Pak Azzam belum ngabarin lagi, kalau gue udah usaha dan tetap gak dibalas, gue bisa apa?" Jawab gue gak begitu ambil pusing.

Andai gue gak nyia-nyiain hidup gue setahun setelah kepergian Lana, mungkin gue udah mendapat gelar sarjana gue sekarang tapi kenyataannya kepergian Lana membawa pengaruh besar untuk hidup gue, gue harusnya banyak bersyukur dengan perubahan sikap Mas Vian, berkat Mas Vian gue bisa ngelanjutin hidup gue sampai sekarang, sekarang gue udah jalan semester akhir, bimbingan? Skripsi? Itu kerjaan gue, ngejar dosen sampai ke warung kopi.

"Pasrah bener Ay? Kapan Lo lulus kalau lemes begitu?" Han nyentil kening gue.

"Ya kalau Pak Azzam gak bisa ditemuin gue harus gimana? Maksa dia gitu? Gue labrak gitu? Memang gue siapanya dia?" Bentak gue prustasi.

"Ya gak sebegitunya juga kali Ay, santai, Lo lagi dapet apa begimana? Meledak mulu dari tadi."

Natap Han geram, gue milih memakai balik earphone gue dan ngebiarin Han fokus dengan kemudinya, kalau perdebatan gue sama Han diperpanjang, salah satu dari kita berdua bakalan jadi korban, korban perasaan.

.
.
.

"Ay, lo ditunggu Pak Azzam sekarang diruangannya." Gue yang memang lagi nyeruput minum gue langsung keselek angin sama ucapan Diana barusan, Pak Azzam nunggu? Perasaan pesan gue belum dibales.

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang