(32)

2.4K 306 61
                                    

Dua bulan kemudian.

"Abang! Abang! Abang!" Panggil gue nyariin Bang Lana dikamar, orangnya gak ada.

"Abang!" Teriak gue cukup keras kali ini, jantungan gue lama-lama kalau Bang Lana makin sering ngilang kaya gini.

"A_

"Abang disini Ay! Kenapa?" Potong Bang Lana nyentil kening gue.

"Abang kemana aja? Aya nyariin dari tadi tapi kenapa gak Abang jawab?" Kesel gue pake acara mata udah ikut berkaca-kaca pula.

"Lah kenapa malah nangis? Abang dikamar mandi Ay, suara air jadi gak kedengeran panggilan kamu." Bang Lana yang masih andukan doang terlihat cukup kaget dengan mata gue yang berkaca-kaca.

"Kamu kenapa?" Tanya Bang Lana memeluk gue, ah jantung gue.

Semenjak ancaman Kiran dua hari yang lalu, setiap kali panggilan gue gak dijawab Bang Lana, gue kalang kabut sendiri, gue khawatir, gue takut kalau Kiran bakalan nekat nyelakain Bang Lana lagi sama seperti dua tahun yang lalu.

"Aya gak papa." Balas gue memang jauh lebih tenang.

"Ay, Aya gak bisa terus-terusan kaya gini, Aya gak bisa terus ketakutan tanpa sebab kaya gini, Abang gak papa jadi Aya harus berhenti khawatir." Bang Lana mengusap bahu gue.

Tenang? Gak khawatir? Gimana bisa? Setiap kali Bang Lana ngilang pikiran gue udah kemana-mana, gue udah mikir aneh-aneh setiap kali inget anceman Kiran, "lo lengah, Lana celaka." Cuma empat kata tapi bisa hampir ngebuat gue gila.

"Aya akan cerita sama Mas Suga, harus." Ucap gue yakin, gue harus ngasih tahu ini ke Mas Suga, gue gak bisa berdiam diri seperti mau Bang Lana.

"Ay! Bang Suga gak perlu tahu." Tolak Bang Lana.

"Gak perlu tahu? Abang sama sekali gak ngerti perasaan Aya, lebih baik Kiran ngancem nyawa Aya dari pada terus main-main dengan nyama Abang, cukup sekali Aya lengah Bang, Aya gak mau ada kali kedua." Gue melepaskan dekapan Bang Lana dan menangis cukup terisak sekarang.

"Tanpa Abang! Aya harus gimana?" Lirih gue tertunduk dengan air mata berlinang, gue mulai menekuk kedua kaki gue dan menenggelamkan wajah gue disana, gue bak anak kecil yang takut kehilangan sesuatu miliknya yang paling berharga.

"Abang gak akan kemana-mana Ay!" Bang Lana ikut berlutut dan mengusap kepala gue menenangkan.

"Makanya ayo kasih tahu Mas Suga! Aya minta tolong." Bang Lana narik nafas dalam tapi tetap mengiyakan keinginan gue.

.
.
.

"Aya kenapa Lan?" Tanya Mas Suga begitu kita berdua sampai di apartement Mas Suga, ah semenjak kejadian Papa ngundang Kiran ke acara resepsi kita berdua, Mas Suga juga mutusin keluar dari rumah.

"Dua hari yang lalu Kiran dateng nemuin Lana Bang." Ucap Bang Lana pada akhirnya.

"Kiran nemuin kamu? Untuk apa? Jadi Aya kaya gini cuma karena cemburu sama Kiran?" Ya Allah tebakan Mas Suga asli kagak berbobot, cemburu sama makhluk jadi-jadian? Kurang kerjaan banget.

"Mas, Aya serius ini, Kiran dateng dan ngamcem Aya untuk nyawa Bang Lana, Aya cerita sama Mas karena Aya gak mau kejadian dua tahun lalu keulang, Mas bisa ngertikan?" Gue mengusap wajah gue dan duduk menyenderkan tubuh gue di sofa kaya sekarang, berat banget.

"Bang, Abang tahu Lana kan? Gak pernah sekalipun terbesit dalam hati Lana untuk berebut harta sama Abang, Lana sama sekali gak mempermasalahkan itu, tolong, Lana butuh bantuan Abang kali ini." Gue cukup kaget dengan kata tolong Bang Lana.

"Abang baru selesai beli makanan, kalian makan dulu, Abang keluar sebentar." Gue makin kaget dong dengan jawaban Mas Suga.

"Mas mau kemana? Jangan aneh-aneh ya Mas." Tanya gue takut Mas Suga hilang kendali.

"Jadi orang yang konsisten dikit bisakan Ay? Tadi minta tolongkan?" Gue bengong sendiri dan Mas Suga keluar dari apartement, malah berasa gue sama Bang Lana yang punya tempat.

"Bang, Mas Suga gak akan aneh-anehkan?" Tanya gue nyikut lengan Bang Lana.

"Gak akan, paling cuma peringatan." Peringatan? Peringatan seorang Suga bakalan kaya apa dimata orang-orang? Bahaya.

"Yaudah ayo." Gue bangkit lebih dulu.

"Ayo kemana lagi Ay?"

"Ayo makan, kan katanya Mas Suga disuruh makan, Abang gimana sih? Konsisten dikit dong, kalau nurut ya udah nurut sampai akhir." Gue tersenyum jail dan jalan lebih dulu, makan gue laper, butuh asupan secepatnya.

"Kita nunggu Mas Suga balik dulu atau gimana Bang?" Tanya gue disela suapan.

"Abang punya kelas satu jam lagi Ay, kalau kamu mau nunggu sendirian juga gak papa." Gue langsung menggeleng gak setuju, iya kali gue nunggu disini sendirian.

"Anterin Aya kerumah Bunda aja ya Bang, tar Abang selesai jemput Aya lagi." Dan Bang Lana mengangguk setuju.

Sebenernya rada males juga sih dateng kesana, bukan karena Bunda tapi karena Mas Vian, tapi jam segini Mas Vian paling dikantor, kecil kemungkinannya bakalan ketemu deh, dari pada nunggu sendirian dirumahkan? Lebih gak enak lagi.

.
.
.

Jam udah nunjukin pukul lima sore tapi Bang Lana belum jemput juga, Bunda juga keluar sebentar kerumah tetangga depan, ada syukuran sih katanya, ah tahu gini mending gue nunggu dirumah, ujung-ujung sendirian juga, apes banget.

"Loh Dek, kamu kapan dateng?" Tanya Mas Vian yang tetiba ngebuka pintu kamar gue.

"Udah dari tadi siang Mas, Bang Lana kuliah jadi dari pada bosen dirumah sendirian Aya minta anterin kemari, eh gak tahunya Bunda keluar juga." Jawab gue tersenyum kecil.

"Mau temenin Abang makan? Kita keluar?" Gue mengerutkan kening gue dengan tawaran Mas Vian, jarang- jarang diajak makan.

"Tapi Bang Lana bentar lagi jemput kayanya Mas, lain kali ya." Tolak gue alus.

"Lana mah gampang, tar kita suruh susul aja, ayo." Pada akhirnya gue ikut.

Entah cuma perasaan gue doang atau memang rada aneh, tatapan Mas Vian sekarang beneran ngusik gue, gue juga udah sempat ngabarin Bang Lana kalau gue keluar bareng Mas Vian cuma mungkin belum di read doang, masih dikelas kayanya.

"Kita mau makan dimana Mas? Udah sore gini jangan jauh-jauh, keburu magrib tar." Dan gak ada respon sama sekali dari Mas Vian, Mas Vian cuma natap gue sesekali menyunggingkan senyumannya.

"Mas, kita mau kemana?" Tanya gue ulang.

"Apa kamu yakin Lana masih ngizinin kamu keluar sama Mas setelah tahu semuanya?"

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang