"Abang aneh." Cicit gue mulai memejamkan mata.
Gue udah pertimbangin ini mulai dari mentah sampai mateng-mateng masalah panggilan untuk Lana dan kata Abang paling mendingan menurut gue ketimbang gue panggil cuma pake nama, keliatan banget gak sopannya.
"Aya manggil Lana, Abang? Ke_
"Jangan tanya kenapa?" Potong gue tahu kemana arah pertanyaan Lana.
Jangan tanya kenapa karena gue sendiri gak bisa ngasih alasan apapun, walaupun malu dan belibet dilidah pas diawal gue harus terbiasa, gue bosen sama ceramah dan omelan Bunda.
"Aya juga mau bersikap hormat sama Lana, ini lagi Aya coba jadi jangan banyak nanya."
"Tapi_
"Jangan banyak protes." Gak tahu gak tahu gak tahu lagi gue, gue malu tapi tetap harus gue coba.
"Mau nemenin Abang makan?" Gue tersenyum geli sendiri tapi tetap gue iyakan, jangan tanya muka Lana sekarang, nahan tawa tingkat akut.
.
.
."Ay, liat buku diatas nakas yang semalem Lan, a yang semalem Abang baca?" Tanya Bang Lana yang dari tadi keliatan mondar mandir gak jelas, gue sendiri menyipitkan mata mulai ikut mikir.
"Yang ini bukan?" Tanya gue memindahkan lettop yang gue taruh diatas buku yang dimaksudkan, bukunya gue jadiin bantalan lettop.
"Ya Allah bener-bener, siniin bukunya." Gue tersenyum manis dan mengulurkan bukunya ke Bang Lana, gue mana tahu itu buku punya siapa?
"Oh ya, jadwal sidang Aya minggu depan, Abang bisa datengkan?" Gue ngomong tapi fokus gue ke lettop tetep.
"Insyaallah, jam berapa?" Balas Bang Lana beralih ikut duduk disamping gue.
"Jam delapan pagi." Gue tersenyum ke Bang Lana.
"Abang kirain kamu lagi fokus belajar Ay, serius pake tingkat ketelitian penuh lah ternyata, ngedrama." Satu sentilan mendarat di kening gue.
"Ih ini bukan cuma sekedar mendrama Bang tapi lagi mengrilekskan pikiran, kalau otak ngestak skripsi gak bakalan jalan, Abang tahu apa?" Gue gak terima, ini namanya pencerahan, kalau terlalu suntuk tar pas sidang gak tahu ngeles kemana.
"Alasan, sidang itu udah duluan Abang yang ngalamin dan gak sedrama itu." Iya sih bener.
"Mending tidur atau mau Abang tidurin?" Tanya Bang Lana mengedipkan mata aneh.
"Modus." Gue menutup lettop gue dan mulai membaringkan tubuh gue diranjang, Bang Lana juga meletakkan buku ditangannya dan ikut berbaring disebelah gue.
"Lan! A Abang maksudnya." Cicit gue berbalik tidur menghadap Bang Lana.
"Kenapa?" Gue tersenyum penuh arti.
"Kenapa?" Ulang Bang Lana memperbaiki selimut gue.
"Elusin." Cicit gue mulai memejamkan mata, gak sanggup gue natap Bang Lana setelah minta kaya gitu.
Hitungan detik setelah gue memejamkan mata, gue ngerasa ada yang mulai mengusap helaian rambut gue, tersenyum kecil gue langsung memeluk Bang Lana dan nyari posisi senyaman mungkin.
Kesempatan.
.
.
."Dek, Lana mana?" Tanya Mas Vian begitu gue turun ke dapur, seperti biasa Mas Vian lagi nyeruput kopinya.
"Bang Lana masih atas, bentar--"
"Brukk." Mas Vian keselek parah sampai kopinya muncrat kemana-kemana.
"Ih Mas jorok banget." Protes gue karena ikut kena cipratan.
"Apaan tadi Dek? Abang? Ke Lana? Wah ngeri." Mau gue pukul pake centongan tahu gak kepala ni orang satu.
"Bunda, liat ni Mas Vian, mulutnya kaya petasan seribuan." Gue udah nyikut-nyikut lengan Mas Vian buat duduk jauh-jauh dari gue.
"Ian, gak boleh gitu, bagus tahu Adek mau manggil Lana, Abang, lebih enak didenger sama lebih sopan." Gue langsung bangkit memeluk Bunda gue.
"Mas Vian mana tahu Bun, kan jomblo akut." Gue menatap Mas Vian menang dan balik duduk ditempat gue.
"Kenapa Mas?" Tanya Bang Lana yang sekarang udah ikut gabung.
"Gak papa Lan, Mas hampir serangan jantung denger Aya manggil kamu Abang." Mas Vian masih setia dengan tawa mengejeknya.
"Sama." Bang Lana malah membalas ucapan Mas Vian dengan senyum tertahan.
"Oh yaudah Aya panggil pake nama aja, sehatkan jantungnya?" Dan hening, hening di gue tapi Mas Vian sama Bang Lana masih senyum-senyum gak jelas, dasar.
"Mau Abang tungguin sampai selesai?" Tanya Bang Lana begitu kita sampai digerbang kampus.
"Gak perlu, Aya gak lama tar Lana masih punya kelas kayanya." Gue yang berniat turun balik natap Bang Lana karena pintu yang ternyata dikunci.
"Buka." Ucap gue datar.
"Ay_
"Lana mau apa lagi? Aya bikin salah apa lagi sekarang? Jantungnya sehatkan?" Gue beneran kesel sama mereka berdua, gak Mas Vian, gak Bang Lana kalau soal beginian memang gak enak didenger.
"Abang becanda." Hah! Becanda? Kagak lucu.
"Abang? Bukannya gak suka dipanggil begitu? Aya udah nahan malu buat nyoba manggil Lana lebih sopan tapi tetap aja gak dihargain malah diketawain lagi." Jujur gue.
Dikata gampang ngeberaniin diri manggil Lana Abang? Butuh keberanian dan keteguhan hati yang dalam buat nentuinnya, ini bukannya disemangatin tapi malah diketawain, syok ya gue juga tahu tapi gak usah diperjelas kan bisa?
"Abang minta maaf, Lana aja butuh keberanian ekstra buat ngebiasain diri dipanggil Abang sama Aya apa Aya tahu?" Gue mengiyakan tapi dalam hati.
"Kalau udah tahu susah kenapa malah ngetawain Aya?" Tanya gue natap Bang Lana geram.
"Itu yang namanya becanda, yaudah Abang minta maaf, okey." Bang Lang ngeluarin handphone gue yang entah sejak kapan ada sama dia.
"Kenapa bisa sama Abang?" Tanya gue kaget, perasaan tadi udah gue masukin tas.
"Abang pinjem sebentar buat nyari handphone Abang, tadi gak tahu Abang ditaruh mana." Kebiasaan banget naruh barang sembarang.
"Terus ketemu?" Bang Lana mengangguk pelan.
"Dimana?"
"Diatas kulkas." Astagfirullah, gimana bisa itu handphone nyasar sampai keatas kulkas? Ngambil minum apa gimana?
Gue natap Bang Lana sambilang geleng-geleng kepala sekarang, Ya Allah diatas kulkas, kurang kerjaan memang, untuk gak didalem kulkasnya Bang.
"Yaudah Aya masuk, buka pintunya." Gue udah siapa buat keluar.
"Dimaafin belum?" Ish.
"Iya udah, buka." Bang Lana tersenyum sekilas dan pintunya udah bisa dibuka, dasar ya.
"Ay, tadi Dita nelfon kamu, Abang yang angkat." Prang, masalah baru.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...