"Udahlah Pa, Suga mulai capek, kalau Papa gak mau Suga ikut berbalik arah seperti Lana, stop ini semua." Mas Suga bahkan nurunin kasar tangan Bang Lana dibahunya.
"Ga, lo gak malu di_
"Ini juga berlaku untuk lo, akan lebih baik kalau lo juga berhenti ngusik urusan gue kalau lo gak mau gue ikut campur dalam urusan lo juga." Potong Mas Suga untuk ucapan Mas Vian.
Gue sama Bang Lana menatap Mas Suga khawatir sedangkan Papa dan yang lain terlihat hanya diam gak tahu harus bereaksi kaya apa, semuanya seakan kehabisan kata dengan kalimat terakhir Mas Suga, kalimat yang entah kenapa lebih terdengar seperti ancaman ditelinga gue.
"Dan untuk lo silahkan keluar sekarang juga." Setelah natap Kiran dengan tatapan yang gak bisa gue artikan juga, Mas Suga ninggalin tempat acara gue sama Bang Lana lebih dulu pergi entah kemana.
"Bang, apa Mas Suga bakalan baik? Wajahnya kacau banget soalnya." Tanya gue mengusap lengan Bang Lana.
"Mas Suga bakalan baik-baik aja, permainan kita untuk hari ini Abang rasa juga udah cukup." Hah? Permainan? Maksudnya apaan?
"Kalau memang udah gak ada yang penting, Aya sama Lana juga pamit pulang, daftar tamu yang Lana tunggu udah dateng semua soalnya." Dan tanpa babibu, Bang Lana juga menggandeng lengan gue ninggalin tempat acara, masuk ke mobil dan pulang kerumah kita.
.
.
.Sampai dirumah, gue beberes dan sekarang mulai membaringkan tubuh gue diranjang, menatap langit kamar gue sambilan geleng-geleng kepala kaya orang gak waras, ah seriusan keluarga gue kacau parah.
"Ah, beneran kacaukan Bang." Ucap gue mengusap wajah sembari nahan tawa, Bang Lana baru aja keluar dari kamar mandi.
"Abang juga gak nyangka kalau beneran bisa kacau kaya tadi." Balas Bang Lana ikut tertawa.
Gue sama Bang Lana ketawa karena kita udah yakin dari awal kalau resepsinya gak bakalan selancar seluncuran, pasti bakalan ada kejutan dari orang tua kita nantinya, yang ngebuat gue sampe sekarang masih gak habis pikir itu cuma Kiran, kenapa harus Kiran yang jadi senjata Papa?
Papa beneran niat ngerusak resepsinya menurut gue tapi terlepas dari perasaan gue sama Bang Lana yang udah jelas-jelas gak dipikirin, gimana bisa Papa ngelakuin itu sama Mas Suga? Apa perasaan Mas Suga sama sekali gak penting? Ngundang Karin sama aja kaya mukul Mas Suga didepan muka, wajar orangnya ngamuk kaya tadi.
"Bang, tapi gimana Papa bisa kenal sama Karin?" Tanya gue nepuk sisi ranjang sebelah gue minta Bang Lana ikut duduk.
"Abang juga gak tahu, walaupun kita gak tahu tapi ngeliat ekpresi Bang Suga tadi Abang yakin Bang Suga punya jawabannya." Bang Lana ikut duduk.
"Terus kita kudu nguber-nguber Mas Suga lagi gitu? Yaelah Bang, Adek lelah." Gue menghela nafas dalam dan berpindah tidur dengan paha Bang Lana sebagai bantalannya.
"Hari ini kamu cantik." Ucap Bang Lana mulai mengusap helaian rambut gue, asli detak jantung gue sekarang bikin gagal fokus.
Gue langsung nelen ludah gugup sama ucapan Bang Lana, sebenernya bukan cuma karena ucapannya doang tapi situasi kita berdua sekarang gue rasa sangat tidak menguntungkan untuk gue.
"Jadi maksud Abang selama ini Aya gak cantik? Bukannya Aya udah cantik dari dulu ya?" Balas gue lebih kaya becanda, situasi kaya gini gak bisa gue buat lebih serius lagi, kudu diselewengin.
"Kamu tahu maksud Abang Ay, kamu memang cantik hari ini." Aduh pake diulang pula kata-katanya.
"Terus Aya harus bilang makasih gitu karena di bilang cantik?" Otak gue serasa tertampar dengan mulut gue sendiri, ngapain lo pancing Aya? Ngoblok lo pelihara memang.
"Hadiah? Ide bagus." Bang Lana malah senyumnya manis banget.
Ah gue kudu ngapain? Bangkit bangun sekarang? Ya dikata gue takut dimakan suami lagi, tapi bertahan di posisi kaya gini jantung gue juga bisa copot, bertahan jelas gak mungkin, atau pura-pura bego aja? Tapi muka gue gak sepolos itu.
"Abang laper gak? Aya masakin." Gue tersenyum cukup manis sekaligus cukup canggung.
"Abang gak laper, kalau kamu laper, Abang temenin kamu makan." Balas Bang Lana tersenyum manis sekaligus cukup tulus menurut gue.
Kenapa gue bilang kaya gini? Itu karena kata-kata Bang Lana terlihat jelas membantu gue untuk lebih nyaman, seperti gue katakan tadi, gue gak bodoh dan gue gak sepolos itu, gue jelas tahu arah maksud dari kata-kata pujian Bang Lana barusan.
Disaat kaya gini gue malah seakan menghindar dan pura-pura gak ngerti apapun, disaat gue jelas-jelas nyoba menghindar, Bang Lana malah dengan gampangnya membantu alasan gue untuk kabur, apa gue setega itu? Apa gue sejahat itu?
Kalau situasinya udah kaya gini gue kudu gimana? Nolak sama aja gak ngelakuin kewajiban, gue egois dan cuma mikirin diri gue sendiri, terima? Gue gak bisa bayangin, ah kudu ngapain sekarang?
"Kenapa Ay? Kamu laper? Yaudah ayo turun." Dan disaat Bang Lana berencana bangkit, gue memeluk pinggangnya membiarkan Bang Lana bertahan ditempat, udah bakalan kaya apa biarlah, gak dosa juga.
"Aya gak laper sih, cuma rencananya mau menghindar tapi gak tega juga, hehe." Jujur gue lagi-lagi ketawa gak jelas.
"Abang tahu, tapi gak tega kenapa? Abang gak akan maksa dan kamu tahu itukan Ay?" Gue mengangguk pelan.
"Abang udah terlalu banyak bersabar untuk Aya." Lirih gue semakin menyamankan posisi gue, tangan Bang Lana kembali mulai mengusap helaian rambut gue, gue cukup nyaman.
"Karena kamu terlalu penting untuk Abang perdebatkan Ay, apapun mau kamu selama masih bisa Abang toleransi kenapa enggak, kamu juga udah cukup banyak bersabar dengan keluarga kita, kalau kamu harus nahan diri didepan Abang juga, semuanya akan jauh lebih berat untuk kamu dan Abang gak mau itu." Mata gue mulai berkaca-kaca.
"Tengkyu sama sekalian Aya minta maaf, Aya cukup nyusahin Abang ternyata." Gue mengeratkan dekapan gue.
Dalam diam, Bang Lana melepaskan dekapan gue di pinggangnya dan ikut membaringkan tubuhnya disebelah gue, bergantian memeluk gue erat sesekali mengecup kening gue, cuma ada dua kata yang gue rasain sekarang, terlalu nyaman.
"Gak ada yang perlu dimaafin Ay, kamu gak pernah bikin salah sama Abang, malah Abang yang harusnya berterimakasih." Gue sedikit mendongak untuk ucapan Bang Lana.
"Untuk?"
"Terimakasih karena bersedia ngabisin masa lalu, kini dan masa depan kamu bareng Abang." Gue tersenyum cukup sumringah.
"Ah kayanya Aya juga harus berterimakasih untuk alasan yang sama." Dan satu sentilan mendarat tepat dikening gue.
"Punya baby yang mirip kamu juga bukan pilihan jelek Ay." Itu pujian apa hinaan? Tapi gue masih tersenyum cukup manis sekarang,
"Bang! Abang tahu baby itu lambang apa?" Tanya gue natap Bang Lana lama.
"Apa? Tanda cinta?"
.
.
.Adegan yang mengandung unsur 21+ seperti biasa Aya skip kwkwkw
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...