"Bang, bukan Mas Viankan?" Tanya gue penuh ketakutan, gue sama sekali gak akan sanggup kalau Mas Vian orangnya, gimana gue harus ngadepin Mas Vian kalau memang ternyata dia orangnya?
"Jawab Aya, bukan Mas Viankan Bang?" Tanya gue ulang, gue menggenggam erat kedua lengan Bang Lana menguatkan diri gue sendiri, menatap Bang Lana khawatir dengan mata gue yang mulai penuh ketakutan.
"Bang!" Dan diamnya Bang Lana menjawab sudah pertanyaan gue, beneran Mas Vian orangnya.
Gue melepaskan genggaman gue dilengan Bang Lana dan beralih duduk tertunduk dengan tatapan kehilangan arah, apa yang harus gue lakuin sekarang? Marah? Mempersalahkan keadaan? Atau menolak takdir yang seolah sama sekali tidak berpihak? Semuanya percuma.
Dari semua orang didunia ini kenapa harus Mas Vian? Gue baru aja mendapatkan kasih sayang dari Abang gue kurang dari dua tahun, apa gue harus kehilangan lagi? Ah mungkin lebih tepatnya gue kembali kehilangan atau memang tidak pernah memiliki kasih sayang yang tulus itu sama sekali?
Gimana gue harus ngadepin Bunda? Gimana gue harus bersikap ke Mas Vian kalau didepan Bunda? Apa gue bisa nahan diri? Apa gue bisa bersikap seperti biasa seolah semua baik-baik aja? Itu lebih gak mungkin lagi.
"Kita harus gimana? Gak ada yang ada dibelakang kita Bang." Lirih gue mendongak menatap Bang Lana.
Orang yang selama ini gue pikir berpihak untuk gue sama Bang Lana nyatanya juga berkhianat, lantas sekarang siapa yang harus gue sama Bang Lana percaya? Nyatanya kami hanya berdua, berdua menghadapi kelakuan keluarga kami sendiri.
"Kamu punya Abang dan Abang juga masih punya kamu, kita gak sendirian Ay!" Bang Lana tersenyum dan mengusap kepala gue menenangkan.
Bahkan disaat kaya ginipun Bang Lana masih berusaha menenangkan gue, menenangkan gue disaat jelas-jelas kalau keadaannya sekarang juga gak terilhat baik-baik aja, Bang Lana sama kecewanya dengan gue.
"Abang tahu ini dari mana?" Tanya gue disaat gue bisa sedikit menenangkan perasaan gue.
"Abang keluar dari kantor Papa setengah jam yang lalu tapi sebelum sampai diparkiran, Abang lupa ngasih tahu Papa sesuatu, Abang balik naik ke ruangan Papa dan ternyata Mas Vian masih disana, semua ide? Rencana? Mas Vian sama Papa yang ngerencanain semuanya, bukan Ayah atau Mas Suga." Gue masih mendengarkan.
"Dari awal, Mas Vian dan Papalah yang merencanakan perjodohan kamu sama Mas Suga, menerima pernikahan kamu sama Abang juga keputusan mereka." Dan Mas Vian masih bisa bersikap baik seolah beneran berubah hanya untuk kebahagian gue?
Gue gak bisa berkomentar apapun, kenyataan kalau Mas Vian belum berubah mukul keras kepala gue, kekecewaan yang gue dapatkan adalah hasil dari harapan yang terlalu tinggi, gue lupa kalau seandainya harapan itu gagal, gue akan jatuh dan sakit itu adalah hal pasti.
"Apa yang kamu pikirin Ay?" Tanya Bang Lana kembali memperlihatkan senyumannya.
"Aya gak tahu, Aya gak bisa mikir apapun Bang, Aya ngerasa kita terlalu mudah dipermainkan, kita terlalu bo_
"Apa kamu berpikir kita bodoh? Apa sekarang kamu berpikir kalau kita mengharapkan sesuatu yang sia-sia?" Potong Bang Lana untuk ucapan gue.
"Memangnya enggak? Kita itu bodoh Bang, percaya gitu aja sama mereka padahal nyatanya mereka belum berubah sama sekali."
Yang paling gue sesali sekarang adalah kebodohan gue, apa orang bisa berubah secepat itu? Gue yang terlalu mengharapkan kasih sayang seorang saudara pada akhirnya kecewa karena harapan gue sendiri, didunia ini mana ada yang instan? Perasaan orang juga samakan?
"Dan sekarang? Siapa yang harus kita percaya? Mas Suga? Ayah? Atau Bunda sama Mama? Apa ada dari mereka yang memihak kita?" Tanya gue putus asa.
Apa ada salah satu dari mereka yang beneran tulusmenginginkan kebahagian gue sama Bang Lana? Rasanya gue hampir sampai dititik terendah gue, siapa lagi yang gue punya? Siapa lagi yang harus gue andalkan? Pada kenyataan gue sama Bang Lana masih berjuang berdua, gak ada yang bisa kita berdua percaya.
"Untuk sekarang Abang belum bisa menjamin apapun Ay, entah itu Bunda atau Mama, cuma kita, kamu sama Abang, kita berdua." Gue kembali tertunduk untuk jawaban Bang Lana.
Untuk sekarang kita hanya perlu nahan diri didepan semua orang terdekat kita, mereka gak perlu tahu apapun karena mereka juga gak akan ngasih tahu apapun, ikuti semua sesuai rencana mereka lalu cari cara lain kita sendiri, pukul mereka dari bekalang.
"Apa kita bisa?" Tanya gue tersenyum miris, tingkat keberhasilan kita berdua terasa makin tipis.
"Kita gak akan pernah tahu kalau belum nyoba Ay." Gue tertunduk pasrah, lagi-lagi Bang Lana bener.
"Ayo kabur Bang! Aya capek." Gue kembali meneteskan air mata gue, cengeng memang tapi setidaknya air mata bisa mengurangi sesak yang gue tanggung sekarang.
"Ayo!" Gue bahkan tersenyum disela isak tangis gue dengan jawaban Bang Lana.
"Ayo kabur setelah kita nyelesain ini semua." Gue mengangguk pelan.
.
.
."Abang yakin mau nemuin Mas Suga?" Tanya gue sendiri bahkan kurang yakin, entah kenapa Bang Lana terus mikirin Mas Suga dari semalem, katanya ada yang salah.
"Abang harus nemuin Mas Suga kalau mau tahu kebenarannya." Jawab Bang Lana juga terlihat kurang yakin.
"Kalau gitu Aya ikut." Kalau boleh jujur, ada yang sedikit mengganjal dihati gue mengenai Mas Suga juga, sikapnya memang menentang tapi belum pernah Mas Suga menggunakan kekerasan seperti ancamannya selama ini.
Belum lagi masalah Kiran, Mas Suga terlihat sangat membenci Kiran dan satu-satunya alasan Mas Suga membenci Kiran adalah Bang Lana, karena Kiran berani mencelakai Bang Lana, adiknya, kalau orang lain aja gak boleh nyelakain adiknya, Mas Suga sendiri jelas lebih gak mungkin lagi.
Dan pemberitahuan Bang Lana mengenai Mas Vian juga memperkuat kejanggalan gue, kalau bukan Mas Suga atau Ayah, itu artinya bukan mereka yang sebenernya membenci, mereka mungkin hanya terpengaruh ucapan Papa sama Mas Vian, mungkinkan?
"Kamu yakin mau ikut nemuin? Abang bahkan belum bisa mastiin sebenernya apa yang ada dipikiran Mas Suga." Gue menggeleng pelan.
"Tapi walaupun Aya kurang yakin, Aya akan tetap ikut nemuin Mas Suga, Aya harus denger sendiri jawaban Mas Suga, Aya takut kalau selama ini kita berdua salah paham Bang."
"Maksud kamu?"
"Aya takut kalau selama ini kita salah membenci orang, kita salah menilai orang terdekat kita."
KAMU SEDANG MEMBACA
My Euphoria (END)
Romance"Gue mendingan nikah sama anak SMA ketimbang hidup sama orang yang gak pernah nganggep gue ada." "Selama ini apa Mas pernah peduli sama Aya? Enggak Mas, Mas gak pernah, selama ini Aya kaya berjuang seorang diri demi mempertahankan hubungan gak jelas...