(12)

3.1K 390 38
                                    

Setelah ditinggalkan Lana gue pikir gak akan ada lagi kebahagian dihidup gue, semuanya berasa semakin sulit untuk gue raih, gue gak pernah tahu kalau kehadiran Lana jauh lebih penting bagi gue dibandingkan kehadiran Mas Suga, gue gak pernah sadar hal itu.

"Mikirin apa Ay?" Lana yang baru selesai beberes mengusap helaian rambut gue sekilas sebelum menyelempangkan tas nya.

"Perasaan sekarang sering banget ngusap kepala Aya, berasa aneh tahu gak?" Jawab gue jujur, ya gue belum terbiasa dengan sikap Lana yang sekarang, Lana selalu memperlakukan gue seakan dia lebih tua.

"Lana gak mau denger tar ada yang protes karena dikata kurang perhatian, lagian gak ada salahnya dengan sering ngusap kepala istri, Lana mau Aya ngerasa lebih nyaman didekat Lana."

"Hah? Ngomong apaan sih pagi-pagi?"

Makin lama sikap Lana malah ngebuat gue ngerasa aneh sendiri, gue yang gak nyaman apa Lana yang mulai gak beres? Perjanjiannya kan cuma nikah tapi gak pake nuntut perhatian apalagi kasih sayang.

"Lana cuma gak mau Aya ngerasa kurang perhatian, walaupun semua orang didunia ini gak peduli sama Aya tapi Aya harus inget kalau Aya sekarang punya Lana!"

"Sakit kayanya!" Mata gue udah mulai natap Lana menelisik.

"Oya Aya mau izin, Aya tahu Lana gak suka kalau Aya deket sama laki-laki lain, bukan maksud Aya gak mau menghargai perasaan Lana tapi Lana juga harus tahu, selama Lana gak ada, selain Mas Vian, Han juga ambil andil banyak untuk nyemangatin Aya." Ini kenyataan.

"Jadi intinya?"

"Aya izin untuk ketemu Han, Aya memang gak punya perasaan apapun sama Han terlepas bagaimana perasaan Han sama Aya sendiri, Aya cuma gak mau nyakitin orang yang udah baik, Aya mau Han ngerti dan gak ngerasa dikecewakan."

Andai kata Han kecewa tapi gue tetap mau manjelaskan semuanya sama Han, selama ini gue belum memberikan penjelasan yang baik, gue hanya menolak tanpa memberikan alasan kenapa gue menolak perasaannya.

Bukan maksud gue untuk ngebantah Lana tapi gue rasa memberikan penjelasan yang layak untuk Han juga tanggung jawab gue, menolak perasaan seseorang bukan berarti harus menyakitikan? Gue mau Han tahu kalau gue sangat menghargai kebaikannya selama ini ke gue, sebagai seorang teman walaupun gak lebih.

"Memang Aya udah mendingan?" Gue mengangguk pelan.

"Lana anter." Lana tersenyum sekilas dan keluar kamar lebih dulu, apa Lana ngasih izin gue? Harusnya iyakan?

.
.
.

"Han." Gue melambaikan tangan gue begitu mendapati Han berdiri bersandar didepan kelas seperti biasa.

Bukannya membalas lambaian gue, Han malah memperbaiki posisinya dan berjalan cepat mengabaikan panggilan gue, gue yang berniat berlari ngejar Han malah tertinggal jauh dengan Lana yang ngebantuin gue nahan Han sebelum makin jauh lebih dulu.

"Gue mau ngomong." Ucap gue masih ngosngosan, menatap gue sekilas, Han menepis tangan Lana yang nahan bahunya dengan tatapan gak suka.

"Ngomong apalagi? Bukannya semua udah jelas?" Bentak Han ke gue, sabar Ay sabar.

"Jangan kasar sama istri gue." Ucap Lana balik gak suka.

Seketika tatapan Han langsung tertuju untuk Lana setelah ucapannya, kata istri yang Lana ucapin seolah jadi kata manarik yang membuat Han menggepalkan kedua tangannya kuat.

"Kalau lo gak mau gue kasar, silakan bawa istri lo jauh-jauh dari gue." Lana juga hampir kehilangan kesabarannya dengan ucapan Han barusan.

"Lan, biar Aya yang ngomong sama Han." Gue narik lengan Lana mundur dan bicara dengan Han tegas.

"Han, gue tahu lo marah sama gue, gue tahu lo kecewa tapi gue sama sekali gak berniat nyakitin perasaan lo Han, mungkin memang kesalahan gue karena gak pernah jujur ke lo tentang status gue itu apa tapi gue gak cerita apapun karena gue pikir itu sama sekali gak penting, apapun status gue itu gak akan mempengaruhi pertemanan kita, itu pemikiran gue."

"Gak penting? Gak ngaruh apapun? Gimana bisa lo gak pernah tahu perasaan gue Ay?" Ucap Han dengan nada sedikit berubah.

"Gue gak tahu Han, gue sadar baru belakangan setelah sikap lo yang semakin beda menurut gue, untuk apa gue pura-pura gak tahu dan ngasih lo harapan kalau cuma mau nyakitin hati orang yang udah baik sama gue?"

"Gue nemuin lo kaya gini karena gue masih nganggep lo temen gue jadi sekarang gue udah ngejelasin semuanya, apa status gue dan siapa suami gue, dateng temuin gue kalau lo masih berniat nganggep gue temen."

Tersenyum untuk Han sekilas, gue menggandeng lengan Lana dan ninggalin Han sendiri yang mematung dengan segala keterpakuannya, gue gak bisa menawarkan apapun untuk Han selain pertemanan.

"Han gak cuma nganggep kamu temennya Ay, Lana juga lelaki, Han natap kamu lebih dari sekedar temen." Ucap Lana memberhentikan langkah.

"Terus Aya harus gimana? Aya beneran gak berniat ngasih Handri harapan apapun." Kesalahan terbesar gue adalah terlambat menyadari perasaan Han, andai gue sadar lebih awal, gue gak akan membiarkan Han menggantungkan harapan apapun ke gue.

"Jangan terlalu dekat atau malah narik diri menjauh dari Han karena cara terbaik melupakan bukan dengan menjauhi, kasih waktu Han untuk ngatur perasaannya tapi ingat, bagaimanapun perasaan Han, Lana gak akan melepaskan Aya untuk alasan apapun." Gue menyunggingkan senyuman gue.

"Jangan terlalu manis tar diabetes, yaudah Aya masuk ya." Lana mengangguk pelan dan gue melambaikan tangan menjauh.

"Kak Aya, itu siapanya? Saudaranya ya? Kenalin dong." Tetiba ada mahasiswi yang nanya kaya gitu ke gue.

"Kenalin ya? Tar ya kalau orangnya ada." Balas gue tersenyum canggung, belum juga gue jauh itu orang yang dimaksud malah balik lagi.

"Kenapa?" Tanya gue.

"Handphone ketinggalan." Lana mengulurkan handphone gue.

"Heum heum, orangnya ada, kenalin dong Kak Aya, punya saudara ganteng gak ngabarin kita-kita." Hah! Terus kalau punya saudara ganteng gue harus bikin pengumuman gitu? Pasang selembaran?

"Kenalin, Lana, suami Aya." Lana dengan pedenya ngenalin diri, pake ngomong suami gue lagi, jangan tanya ekspresi mahasiswi yang nanya barusan, suram dengan tingkat cemoohan mulai nyelekit ditelinga gue.

"Suami? Kapan nikahnya Kak Aya? Kenapa gak ngundang-ngundang? Kebablasan ya?" Gue langsung natap yang nanya barusan dengan tatapan membunuh, asli mulut gak disekolahin banget.

"Lo--"

"Kebablasan sama suami sendiri bukan masalahkan? Sering kebablasan malah lebih bagus." Lana mengusap pipi gue dan tersenyum menenangkan.

My Euphoria (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang