[3]

5.6K 892 41
                                    

Jadi sebagai peringatan, cerita ini aku buat atas dasar mengisi waktu luang.
Dan berhubung ternyata waktu luangku menghilang secepat pelangi, kemungkinan besar cerita ini jadwal up nya tidak stabil.
Mohon pengertiannya :)
Tapi aku akan tetap berusaha update secepat mungkin
don't forget to vote, babe :)
 

 
    
   
    
   
    
 
Arjuna nyatanya tidak jadi pulang. Kemarin, setelah mengantar anak muridnya pulang, dia pergi ke perpustakaan kota mau ngambis. Kenapa dia ke sana? Juna mau mencari riset-riset yang sekiranya berhubungan dengan psikologi seseorang dan beberapa data murid-muridnya. Andika Soekmali ternyata tidak se-bejat itu. Dia ternyata polos, dan mudah disetir untuk dipaksa cerita.

Dika bilang, teman-temannya dimasukkan ke kelas istimewa bukan tanpa alasan. Mereka dimasukkan ke sana karena mereka memang istimewa. Kepribadian mereka bermacam-macam. Mereka pun juga datang dari keluarga dengan latar belakang yang beda. Dika sendiri contohnya. Dia harus bekerja membantu orang tuanya semenjak ayahnya sering sakit-sakitan.

Malah yang mengejutkan, kebanyakan siswa di situ adalah siswa kurang mampu. Mereka masuk karena beasiswa, dan kalau tidak bisa mengangkat nilai sekolah, beasiswa akan dicabut dan mereka tidak lagi bisa sekolah di sana.

Karena anak itu bicara banyak hal penting, Juna akhirnya membelikannya 5 bungkus es krim sebelum mengembalikan Dika ke kediamannya.

Untungnya, perpustakaan kota sudah seperti rumahnya sendiri. Staf di sana sudah mafhum betul dengan keberadaan Juna. Ia sering mengunjungi tempat itu sejak SMA, jadi bukan hal aneh kalau dia bisa menghabiskan malamnya dengan tidur-tiduran tidak jelas di rak paling belakang. Tapi tujuan Arjuna bukan untuk luntang-lantung. Ia di sana mau menggunakan kemampuannya dalam stalking. Oh jangan salah. Dia sering seperti itu... dulu.

"Maaf, Pak. Saya nggak berani bicara lebih jauh. Bapak aja deh yang cari tahu sendiri, ini saya kasih linknya, bonus link JPV juga tuh," kata Dika kemarin.

Jun mengetik semua link itu--minus link biadab--lalu membukanya di tab yang berbeda. Ia meraup keripik yang ia beli sambil mengangkat kedua kakinya di atas kursi. Tak selang beberapa lama, muncul artikel-artikel, lalu iklan dan ads judi online yang sering membuatnya naik pitam. Ia dengan sabar menutup pop-ads yang tak penting itu dan mulai membaca satu persatu artikel yang diberikan Dika.

Jadi singkatnya Xuhao anak orang tajir.

Tajir banget malah. Keluarganya punya 30 rumah, 17 di antaranya tersebar di berbagai daerah di Indonesia, 5 di Seoul, 3 di Anshan, 2 di Shenzen, 1 di Sydney, 1 di Oklahoma, 1 di London. Ayahnya adalah CEO, sekaligus dalang di balik berdirinya gedung-gedung tinggi. Sambil membuat berisik dengan giginya, mata Arjuna menjelajahi tulisan-tulisan di layar.

Tak banyak artikel yang membahas anak muridnya. Kebanyakan berisi berita kesuksesan Pak Surya Kopsaka Choi. Bukan berita sebab akibat kepribadian Xuhao.

Jun beralih ke tab baru untuk mencari profil si Pak Choi ini. Bisa dibilang dia masih cukup muda untuk punya anak sebesar Xuhao. Dia kelahiran 1986 yang mana menjelaskan sedikit tentang kondisi yang terjadi. Ayah muda, Jun tebak. Pak Choi juga kemungkinan besar sangat fokus pada pekerjaannya hingga tak sempat mendidik anaknya sendiri.

Arjuna kembali membaca kelanjutan biografi yang ada, sebelum listrik tiba-tiba mati dan keadaan jadi gelap gulita.

"Shit," umpatnya.

Jun tidak terlalu suka gelap, apalagi di tengah perpustakaan raksasa berisi rak-rak tinggi tua. Potensi munculnya hantu sangat besar di tempat berdebu ini. Ia segera menyambar ponselnya lalu menyalakan senter ketika bunyi lantai kayu berderit di belakangnya. Di sana berdiri salah satu staf sambil memegang lilin di depan wajahnya. Sedikit banyak membuatnya mirip kuntilanak berambut pirang.

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang