[28]

3.3K 585 134
                                    

Xuhao tidak pernah tahu kalau dirinya begitu populer hingga orang-orang ini bisa jadi sangat baik padanya. Bahkan ada salah satu dari om itu yang mengaku pamannya Garuda, dan betapa ia bersyukur karena Xuhao telah banyak membantu keponakannya itu. Dia juga tidak tahu kalau ayah Marie dan Angel ada di sana, yang tampilannya paling normal di antara om-om itu.

Arjuna diperbaiki perutnya. Jahitannya lepas 3 cm selepas dihajar, tapi untungnya dia tidak punya niatan untuk balas merobek perut mereka.

Kabar baik lainnya yaitu, kapal yang mereka tumpangi tidak akan meledak. Pak Lodee, si pemilik birthday organizer, bilang bahwa sebetulnya ini kapal mereka, dan mereka melakukan trip sendiri ke pulau itu. Tak disangka tiba-tiba kapal mereka sudah diisi muatan bunker darah dan diambil alih oleh sekelompok orang-orang berseragam ketat.

Awalnya mau langsung dihajar, mengingat mereka memang mantan pegulat, tapi karena ada satu hal yang harus diklarifikasi, maka mereka mengikuti alur mainnya. Bunker-bunker darah di tempat penyimpanan memiliki sertifikat legal. Tapi yang menjadikannya ilegal adalah orang-orang yang 'dibawa' kesana, dihipnotis lalu dijadikan sebagai pendonor permanen.

Bukan hipnotis ala-ala magician, tapi lebih ke cuci otak dan ancaman psikis.

Arjuna di luar dugaan sudah akrab saja dengan si nahkoda, yang rambutnya warna silver panjang dan dikepang ke samping. Sementara tak ada yang perlu dikhawatirkan, Xuhao duduk di kursi ruang monitor dan berkomunikasi dengan ayah Marie dan pamannya Garuda. Dua orang itu entah kenapa bersikeras bersama dengannya selama beberapa menit ke depan.

Xuhao berhasil menghubungi Ajisaka dan ayah angkatnya, Surya. Mereka terkejut dan terdengar menahan tangis saat mereka melakukan panggilan singkat tadi, yang mana agak aneh. Dan mengingat kalau Surya menghubunginya lewat penjara memang perlu dipertanyakan. Tapi di samping itu, Aji sudah mengirim bawahannya langsung ke daratan tempat mereka berlabuh nanti.

Langit berubah perlahan ke oranye-merah muda, bersamaan dengan matahari yang bangun dari tidurnya. Xuhao sedang berdiam diri di teras, menikmati angin pagi yang sejuk, dengan tubuh berlapis kaus lengan panjang kedodoran yang ia dapat dari salah satu om-om pegulat. Dia gugup, entah kenapa. Mungkin karena ini semua akan berakhir dan dia akan hidup dengan penuh kedamaian.

Dia akan kembali bersekolah, menikmati masa mudanya, berprestasi, masuk perkuliahan, wisuda, bekerja, lalu---

Xuhao terkekeh. Bukankah terlalu naif untuk membayangkan masa depan selancar itu? Entah kenapa membayangkan hari-hari ke depan membuatnya ketakutan. Apa yang akan ia lakukan kalau tidak ada Arjuna? Apa yang akan terjadi padanya kalau dia tidak ditakdirkan untuk bertemu dengan gurunya itu?

Apa yang terjadi kalau Arjuna mati?

Xuhao menggeleng keras. Otak sialan. Berani-beraninya memikirkan hal-hal seperti itu. Juna tidak mungkin mati. Malaikat pencabut nyawa sudah terlanjur muak untuk mencabut nyawanya. Iya. Tidak mungkin Jun akan pergi begitu saja.

Sebuah tepukan di kedua bahunya mengejutkan Xuhao. Arjuna melongok dari balik tubuhnya, menyelimutinya dengan selimut yang entah ia embat dari mana.

"Diem-diem bae," katanya, nyengir. Xuhao mendengus dan memutar bola mata.

"Kamu ngapain di luar sini, nanti masuk angin loh," tegur Juna lagi, memutuskan untuk memeluk anak itu dari belakang.

Xuhao tidak bisa untuk tidak menoleh dan mengernyitkan dahinya. "Bilang apa?"

"Ayolah, beb, kamu harus terbiasa sama aku-kamu-an yang keluar dari mulutku," celetuk Jun sambil terkikik.

"Cringe, sialan," gerutu Xuhao bercanda. Jujur, walau cringe dia suka, tapi cringe, tapi uwu, tapi...

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang