[26]

3.4K 568 116
                                    

"Cilukba keparat."

Ada setidaknya 2 berita untuk Arjuna, berita baik dan berita buruk. Berita baiknya, suara itu milik Xuhao. Berita buruknya, dia bawa pistol dan pistolnya mengarah ke kepala Arjuna. Salah gerak, dia bakal berakhir seperti almarhumah Sinta.

"Buang senapannya," titah Xuhao dengan suaranya yang serak.

Menurut, Jun membuang senapannya ke sembarang arah, membiarkan benda itu berkelotak menghantam lantai. Pistol itu menekan kepalanya yang berlapis helm, menyuruhnya bergerak maju ke dekat almari raksasa.

"Masuk."

Tidak. Tidak boleh begini. Xuhao harus tahu kalau pria di balik seragam ini adalah Arjuna. Jadi dia melepas helmnya dan melemparnya juga.

"Gue bilang masuk!" bentaknya. Kali ini ujung pistol itu bersentuhan dengan rambut dan kulit kepalanya. Rasanya dingin dan mengancam.

Arjuna menghembuskan nafasnya sebentar, sebelum perlahan memutar badannya, menatap mata Xuhao lamat-lamat. Kedua tangannya yang terangkat perlahan turun, bersamaan dengan air mata yang mulai mengalir dari mata Xuhao yang indah itu, mata yang Jun sukai. Arjuna menyentuh tangan Xuhao yang bergetar, berusaha mengambil alih pistol yang mengarah tepat ke tengah alisnya.

Jun berhasil merampas pistol itu dengan lembut, menyalakan pengamannya, lalu meletakkan benda itu ke balik saku seragamnya. Ia melangkah maju dengan perlahan, menangkup wajah Xuhao, menghapus air mata dengan ibu jarinya, lalu memeluknya erat.

Tangis anak itu pun pecah.

Lagi, Juna melihat bagaimana rapuhnya Xuhao. Sudah 3 kali dia melihat anak ini menangis, dan dia pun masih tak tahu cara menghentikannya. Ia mengelus punggung yang kurus itu, menepuk kepalanya pelan, mengucapkan bahwa semua bakal baik-baik saja walau Arjuna pun tidak yakin. Kini, bahkan ketika ia sudah menemukan Xuhao, Jun tak punya rencana lagi. Bagaimana cara melarikan diri, bagaimana cara menghadapi para petugas berseragam armor, bagaimana cara tetap hidup.

"G-gue pikir lo udah m-mati," celetuk Xuhao sambil sesenggukan. Kedua tangannya balas memeluk sementara kepalanya bertumpu di bahu Arjuna.

"Shhh... gue ga akan mati sebelum semua ini berakhir. Gue janji," bisik Jun.

Ia melepas pelukan, mencium dahi Hao lalu melukiskan senyum kecil. Kepalanya berputar untuk memperhatikan sekeliling. Bahkan kamar Xuhao jauh lebih mewah dari kamar Arjuna. Sebenarnya tujuan Arada itu masih menjadi misteri. Tidak mungkin cuma karena darah, tidak mungkin cuma hobi, tidak mungkin harta warisan. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang tak terjamah otak jenius Arjuna.

Jun mengambil senapannya kembali, membuka kulkas untuk mengambil soda kalengan sebelum duduk di sofa dengan alis berkerut. Sialan dia lapar.

"Lo ngapain?" tanya Xuhao.

"Gue lagi mikir," jawab Jun, menegak sodanya dengan rusuh. "Kita harus pergi dari sini."

Xuhao lantas memutar bola matanya. "Nggak bisa. Mustahil."

"Kenapa? Nggak ada yang mustahil selama ada gue di sini," jawab Juna.

"Iya terserah. Tapi kita ada di pulau antah berantah di daerah lautan nusa tenggara. Dan kalau mau balik ke Jawa harus pake kapal atau pesawat."

Nusa tenggara. Pulau antah berantah. Kapal. Lautan.

Kelar hidup lo.

Arjuna berdecak, tangannya meremas kaleng soda itu sampai langsing, lalu membuang benda itu ke tong sampah.

"Kalo gitu kita harus menyelinap ke kapal," kata Jun kemudian.

"Caranya?"

"Pikir pake logika aja deh. Di pulau antah berantah ada bank darah, ada pasien sama dokternya pula. Pasti mereka ke sini naik kapal, dan pasti darah yang disimpen juga bakal didistribusikan pake kapal. Jadi kita punya dua pilihan. Masuk ke kapal isi darah, atau masuk kapal isi turis."

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang