[29]

3.2K 583 88
                                    

Arjuna ajaibnya belum mati.

Tapi dia sudah sebulan koma dan terus menunjukkan penurunan fungsi tubuh. Kaca yang menembus tubuhnya waktu itu merusak paru-parunya, dan sedikit menyayat bagian kanan jantungnya. Tulangnya banyak yang patah, kepalanya mengalami pendarahan luar dan dalam, dan luka tusukan di perutnya terinfeksi.

Satya Manggala Xuhao selalu menyalahkan dirinya semenjak hari itu. Dia tidak layak hidup, dia ingin mati saja supaya tidak ada lagi orang yang terluka dan terenggut nyawanya. Dia bahkan tidak mengalami luka serius. Cuma dada yang tergores, lebam di sana sini, dan kepala belakang yang robek 1 cm.

Dia berharap ada yang memarahinya, dia berharap ada yang menyalahkannya atas semua masalah yang terjadi. Tapi tidak ada. Orang-orang sibuk menghiburnya, berceloteh bahwa ini bukan salahnya. Bahkan ibunda Arjuna yang datang jauh-jauh dari Bandung hanya untuk mendapat kabar anaknya nyaris mati, cuma tersenyum lemah dan memeluknya penuh kasih sayang.

Xuhao butuh ditampar. Dia begitu egois, menginginkan dunia bahagia untuk kehidupannya, menginginkan cinta dari Arjuna yang begitu tulus, hingga tak sadar malah melukai orang banyak.

Dan dia belum mengeluarkan satu tetes pun air mata.

Hah, lucu bukan?

Mungkin dia memang anak sial, anak tak tahu diuntung. Itu sebabnya Tuhan mengambil kehidupan orang tuanya, karena mereka sudah terlalu sering tersakiti hanya untuk mengasuh anak seperti Xuhao. Bukankah lebih baik kalau Xuhao tidak lahir? Semua orang akan bahagia, ayah dan ibunya tak kan mati sia-sia. Surya dan Ajisaka hidup sebagai orang sukses, dan pastinya Arjuna tidak akan terbaring kritis di rumah sakit.

Butuh 10 menit bagi Garuda untuk bisa berhasil menemukannya di atap sekolah. Anak itu jadi super over protektif padanya. Dia kadang marah-marah kalau Xuhao kelamaan di kamar mandi, takut kalau Hao bakal bunuh diri atau sebagainya. Padahal yang ia lakukan cuma berendam di bathtub sambil merenungi semua dosanya.

Dia duduk di samping Xuhao, ikut menatap ke langit sore.

"Dicari kak Bintang," katanya.

Xuhao menoleh seraya mengangkat alisnya. "Hah? Ngapain?"

Hanya mendapat kedikkan bahu, Xuhao segera turun ke lantai satu. Ia mencangklong tasnya di satu bahu, kemudian berjalan cepat menghampiri Bintang yang sedang bersenderan di pilar kanopi sekolah. Ia menepuk bahu pemuda itu, tersenyum tipis.

"Kenapa, kak?" tanya Xuhao.

"Gue disuruh Aji jemput lo," jawabnya.

"Kan gue bisa pergi sendiri. Kak Bintang ga perlu pake jemput gue segala, astaga."

Bintang terkekeh. Xuhao mengikutinya ke parkiran motor. Tangan Xuhao yang kosong menerima helm sementara Bintang menyiapkan motornya.

"Emang kalo ga gue jemput, lo mau ke sana?" tanya Bintang sambil menyipitkan matanya yang sudah sipit.

"Ya enggak sih," gumam Xuhao. Ia naik ke jog belakang, sedikit banyak bersyukur karena Bintang pakai scoopy, jadi naiknya tidak susah.

"Dasar," kekehnya. "Oh iya. Betewe lu kalo manggil gue ngga usah pake kak dong. Bintang aja. Biar sok akrab gitu," lanjut Bintang ketika mereka berangkat.

Xuhao mengangkat alisnya dan melongokkan kepala ke samping. "Yakin kak?"

"Iya lah. Kan lu sama Juned juga langsung manggil nama, kan?"

Mendengar nama Arjuna disebut, Xuhao mau tak mau langsung kicep. Perasaan bersalah itu muncul lagi. Sialan. Padahal dia mau mencoba memaafkan diri sendiri. Tapi rasanya sulit sekali. Mungkin merasakan perubahan suasana, Bintang cuma melirik Xuhao dari spion kemudian menepuk lutut kirinya.

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang