Selama 23 tahun ia hidup, tak pernah ia membayangkan rasa sakitnya dibohongi mbak-mbak google map yang waktu itu mengaku menuntunnya ke kediaman Arada. Alih-alih begitu, ia justru nyaris terjun ke sawah. Alamatnya tidak menunjukkan suatu koordinat yang jelas, malah kadang titiknya berubah ke lautan.
Sekarang dia ragu kalau Pak Prihadi lah yang salah mengeja alamatnya. Karena tentu saja tak punya pilihan lain, Arjuna menuruti keinginan wanita itu untuk menemuinya di kantor gedung sekolah. Dia tidak pakai kemeja dan jas rapi, tapi cuma pakai jeans dan kaus lengan panjang. Bahkan jeansnya robek di bagian lutut dan kausnya bertuliskan fuck you bitch.
Dia naik motor, parkir sembarangan di lapangan depan, hampir berkelahi dengan satpam, dan jalan tak tahu malu menyusuri koridor yang dipenuhi anak-anak. Sesuai perkataan si mantan kepala sekolah botak kemarin, sebuah pamflet besar ditempel di mading sekolah, menampilkan foto siapa saja staf yang diberhentikan tugasnya. Dan fotonya ada di urutan paling atas, paling besar pula dari yang lainnya. Tapi tak apa. Dia ganteng di situ.
Ia bertemu Udin tadi, bersama Garuda. Tapi keduanya enggan menyapa, malah menatap ragu, antara mau berkata tapi takut. Jun tak ambil pusing. Ia cuma menepuk puncak kepala kedua anak itu sebelum menghilang ke koridor 'batas suci'.
Oh, Arjuna sangat percaya diri. Dia merasa bebas bisa berkeliaran di gedung itu pakai sepatu converse. Staf yang tak pernah ia temui sebelumnya mendelik, menatap Juna sampai mereka hampir terjeduk tiang.
Sesampainya di tempat yang dimaksud, dia mendobrak pintu itu sampai nyaris sempal. Di dalam, seorang pria menyedihkan terkejut, memeluk nampan di tangannya erat-erat, sementara Arada duduk manis di kursinya sambil minum secangkir teh.
"Wah, cepat juga ya," katanya, mencuri minum pada teh yang mengebulkan asap.
Juna masih mematung di pintu, menunggu Arada tersedak teh dan mati di tempat. Tapi wanita itu cuma tersenyum seraya meletakkan cangkir tehnya. Ia bangkit dari kursinya kemudian beranjak ke sofa yang lebih santai di tengah ruangan.
"Ayo duduk."
"Nggak usah basa basi. Saya tahu---"
"Arjuna sayang, kesepakatan harus dilakukan dengan benar, salah satunya adalah duduk diam dan menenangkan emosi," potongnya tegas, cukup membuat ciut kepercayaan diri Arjuna.
Menurut, ia duduk di tempat terjauh, sebisa mungkin menjaga jarak dengan Arada. Tangan wanita itu terangkat. Si pria pembawa nampan membungkuk sebentar lantas pergi keluar ruangan, meninggalkan Arjuna berdua saja dengan selimut ketegangan yang tak bisa ditutup-tutupi. Ketika Arada mengangkat satu kaki ke kaki lainnya, Jun langsung waspada.
"Gimana kabar mbak Yuna?"
Bak balon karet yang terkena panas, otak Juna meledak. Ia sudah tidak tahan, ingin rasanya ia menendang wanita itu dengan tendangan maut. Berani sekali dia menyebutkan nama ibunya sesantai itu? Setelah apa yang pernah dia lakukan?
"Nggak usah nyinggung nyokap gue, bangsat," desis Jun marah, sepenuhnya sadar bahwa ia sudah sangat kurang ajar. Tapi persetan.
Arada mengernyit. "Tante cuma tanya, kenapa kamu malah nyolot?"
Arjuna bungkam. Tentu saja ia nyolot, Arada tidak bisa ditebak. Sesuatu yang keluar dari mulutnya itu bisa saja berarti apapun, dan Jun tak mau ambil resiko kalau wanita itu bakal mencelakai ibu dan adiknya.
Genggamannya makin terkepal ketika Arada tertawa terbahak-bahak, terlalu ringan dan natural, seolah keberadaan Arjuna di ruangan itu cuma lelucon.
"Astaga, Arjuna, padahal waktu itu kamu cuma anak kecil, yang bicara aja takut, diancam pun langsung kicep. Sekarang sudah berani ya! Tante salut," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lesson To Learn | Junhao[✔]
Fanfiction"Sudah cukup? Sudah selesai menggurui saya? Nah sekarang, giliran saya yang akan mengajari kamu." "L-lo mau apa bangsat?" "Yang pertama. Belajar diam." "Woi woi wOI--" Arjuna bukan ingin jadi guru. Tapi karena tuntutan kehidupan, maka ia harus punya...