Pagi-pagi sekali, mobil Jonathan sudah menjemput di parkiran apartemen cukup mewah yang saat ini ditinggali Xuhao. Surya benar-benar memegang perkataannya. Sepulang siaran pers waktu itu dia langsung beli lantai paling atas apartemen dan menyatukan setiap kamar di lantai itu untuk 'rumah' Xuhao. Agak berlebihan, tapi terima saja.
Aji memperbaiki jas hitam yang Hao kenakan, sesekali memoles rambutnya dengan pomet, dan masih saja ribut soal penampilannya di dalam mobil. Xuhao masih tidak mengerti kenapa Aji mendadak repot sekali soal fesyen atau kenapa Bintang jadi super duper kalem atau kenyataan bahwa Jonathan menyetir bisa jadi sangat keren.
Mereka berempat berencana menginap selama beberapa hari di Bandung, menghadiri pemakaman, berkunjung ke rumah Ibunda Arjuna, dan refreshing sejenak di kota kelahiran Jonathan dan Xuhao, juga Jun.
Singkat cerita, mereka langsung ke pemakaman yang dimaksud. Suasananya sepi sekali, seolah semesta benar-benar membiarkan hari itu menjadi hari yang harmonis. Awan-awan sibuk melindungi Xuhao dari teriknya matahari dan angin sejuk tidak akan membiarkannya merasakan gerah.
Xuhao berdiri di hadapan nisan marmer warna silver, dengan senyum kecil dan jantung berdegup kencang. Ia meletakkan buket bunga di sana, kemudian berjongkok dan mengelus batu berkilauan itu.
"Ayah, mama, maaf Satya baru bisa nengok sekarang," katanya.
Ia akhirnya memutuskan untuk duduk di pinggiran trap semen pembatas.
"Tahun ini tahun yang paling berat buat Satya. Tapi tahun yang paling buat Satya bahagia juga," dia terkikik.
Ia menyingsingkan lengan jasnya yang kepanjangan, lantas memamerkan cincin yang ada di jari manisnya.
"Nih, Satya dikasih ini sama orang yang Satya sayangin. Bukan cewek, sih, tapi..."
Awan mendadak kumpul-kumpul berhadiah bak mau tawuran di depan matahari. Warnanya yang semula putih kebiruan berubah jadi abu pekat. Gemuruh mulai terdengar dan angin bergerak kencang membawa badai.
Xuhao menghela nafas. Ini orang tua masih aja over reacting.
"Tapi Satya nggak homo! Satya cuma sayang sama orang ini. Cuma orang ini, kok, sumpah, namanya Arjuna Purnama Wendradiningrat. Masa gatau sih, kan ayah sama mama bisa liat dia," lanjut Hao sambil bermonolog ria, seolah ayah dan mamanya ada di hadapannya sambil minum cocktail.
Bintang dan Jon menatap dari kejauhan, bingung kenapa anak itu ngegas sama batu nisan, batu nisan orang tuanya pula. Dan bersamaan dengan itu, langit kembali cerah seperti sedia kala. Ajaib banget keluarga ini.
"Hao," panggil Aji.
Xuhao mengangguk. Ia berdiri dari posisi jongkoknya, kemudian tersenyum lagi.
"Habis ini Satya mau jenguk Arjuna. Jadi Satya pulang dulu ya. Satya janji bakal sering-sering ke sini. Dah ayah, dah mama."
Mereka memberikan penghormatan terakhir, sebelum kembali ke dalam mobil. Xuhao segera melepas jasnya dan melemparnya ke jog paling belakang. Dia merasa gerah sekali. Ia juga melepas kancing teratasnya dan mengendurkan dasinya.
"Eh, bang Aji, ini kita ke rumah dulu, kan?" tanya Xuhao. Wajahnya yang sudah merasakan ketidaknyamanan itu mendesah tak sabaran.
"Enggak. Kita langsung ke rumah Arjuna," jawab Aji.
Xuhao hanya menghela nafasnya sambil mengerucutkan bibirnya. Dia memang ingin bertemu Juna, tapi kan dia belum siap apa-apa. Dia belum beli bingkisan, belum tahu mau bilang apa, belum ganti baju juga. Masa dia ke rumah doi pakai jas hitam? Berasa mau layat aja.
Iya.
Jadi Jun memang tidak mati. Dia memang sukanya seperti itu. Sudah bikin orang sedih karena sekarat, eh ujung-ujungnya ga mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lesson To Learn | Junhao[✔]
Fanfiction"Sudah cukup? Sudah selesai menggurui saya? Nah sekarang, giliran saya yang akan mengajari kamu." "L-lo mau apa bangsat?" "Yang pertama. Belajar diam." "Woi woi wOI--" Arjuna bukan ingin jadi guru. Tapi karena tuntutan kehidupan, maka ia harus punya...