[22]

3.8K 648 145
                                    

Berhubung mayoritas ngevote supaya Jun tetap hidup, maka penulis pun berunding kepada malaikat pencabut nyawa untuk menyampaikan proposal pengajuan penyelamatan satu nyawa kepada Tuhan. Beruntung, setelah mendapat voicemail yang bersuara, "Done, babe." dari Tuhan, kepala si penulis terhantam meja kerjanya dan pingsan selama seharian penuh. Ketika sadar, jarinya sudah menyelesaikan satu chap yang aneh. Dan itu dimulai dengan tulisan:



"HaAEee GaYss jAdI gUE Ga mATi hAHAahaHaa..."

Junhui merekam wujud nyata tubuhnya yang masih dalam kondisi prima tanpa cacat dengan ponsel seorang nelayan di atas perahu. Mungkin memang tak ada cacat fisik, tapi sepertinya ia kena cacat mental karena kepalanya lagi-lagi terhantam.

Ia harus berterima kasih pada Dewi Keberuntungan, Teteh Fortuna, dan Dewa Lautan, Bang Poseidon, karena telah menyelamatkan nyawanya. Peluru tidak menembus dada dan melubangi jantungnya, benda itu terhalang oleh ponselnya yang ia simpan dalam saku jas. Alhasil yang bolong bukan tubuhnya, tapi ponselnya.

Selepas terlempar dari ketinggian bermeter-meter dan menghantam air dengan keras, Jun kira dia sudah mati. Apalagi yang kena duluan kepalanya, dilanjut tubuh bagian belakang. Paru-parunya terasa terhempas keluar, bersamaan dengan tulangnya yang patah menjadi berkeping-keping. Tapi dia tidak mati! Tidak juga lebam atau tergores kerang cilik tukang sayat.

Tubuh macam apa yang Juna miliki, ia pun tidak tahu. Mungkin selama hamil, ibunya mengidam kukubima energi dan edible baja.

Saat ini ia sedang mengungsi di salah satu rumah nelayan yang menemukannya mengapung tak tahu diri di tengah lautan. Berkat kadar garam yang tinggi, Jun tak perlu berenang kesana kemari atau panik. Tubuhnya dengan mandiri mengapung seperti gabus. Lalu nelayan itu datang, mengangkut tubuh Jun karena beliau kira Juna adalah ikan pari. Malah, anaknya yang rada rabun itu mengira Juna putra duyung yang ekornya terbelah.

Ia disediakan baju ganti kering, dan susu hangat buatan ibu yang tiada duanya. Tentu saja Arjuna langsung meminumnya sampai habis, sebelum si ibu sempat memperingatkan kalau susu yang ia pakai sepertinya sudah agak basi.

Sambil menunggu pakaiannya dijemur, Jun memutuskan untuk jalan-jalan sebentar ke pantai bersama si anak nelayan bernama Coco. Cowok itu sepertinya seusia dengannya, atau lebih muda. Dia menikmati angin laut yang sejuk sementara matanya mengamati tebing tinggi yang atasnya berdiri villa raksasa serupa mansion di Timur Tengah.

Membayangkan ia jatuh dari ketinggian yang seperti itu membuatnya merinding. Jangan-jangan dia ternyata sudah mati dan sekarang jadi arwah gentayangan. Tapi ketika Coco memukul punggungnya keras sekali, dia tahu dia belum mati.

"Jatoh dari sana, mas?" tanyanya. Logatnya aneh.

"Iya, nggak tau juga ternyata masih hidup haha," timpal Jun bergurau. Ia lantas menoleh ke pantai yang berdesir. "Ini dimana sih, Co?"

"Pantai selatan."

Arjuna sontak memperhatikan setelan yang ia pakai. Kaos oblong warna kuning, jeans pendek warna cokelat. Ia menghela nafasnya. Namun baru sadar kalau ia pakai sempak warna hijau, neon pula. Ia lantas mencengkeram lengan Coco yang kurus.

"Kenapa lo?" tanyanya datar. Wajahnya minta dipukul.

"Gue... pake sempak warna ijo."

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang