[24]

3.5K 588 54
                                    

Cahaya yang silau adalah hal pertama yang tertangkap indera Arjuna, kemudian diikuti telinganya yang berdenging, dan hidungnya yang mencium bau kimia yang menyengat. Kulitnya mendadak sangat sensitif, belum lagi suhu di sekitarnya mendadak sangat dingin. Ia mengerjap sebentar, membiarkan cahaya yang membutakan berubah membantu fokus matanya. Semuanya masih melebur, dan jujur saja, seluruh tubuh Jun mati rasa.

Bagian perutnya keram bukan main. Rasanya kalau ia menggerakkan tubuhnya sedikit, sesuatu bakal melompat keluar dan mencabiknya hidup-hidup.

Bunyi klik terdengar di sampingnya, cukup nyaring hingga Arjuna mengerjap dan melihat sosok kemerahan buram berdiri di sampingnya. Ada seseorang, yang entah sedang apa di sampingnya. Arjuna berusaha memanggil, memberitahu orang itu kalau matanya buram. Tapi yang keluar malah erangan menyedihkan.

"Oh? Sudah sadar?"

Suara itu membuat sekujur tubuhnya menegang. Suara yang tak asing, yang selalu menghantuinya hingga ia terjebak dalam keadaan yang sedemikian buruknya. Sialnya lagi, kenapa dia masih hidup? Kenapa Sinta masih hidup? Padahal jelas kepalanya bolong, dia ditembak tepat di depan mata Jun, dan ia lihat darah kental yang mengalir keluar dari kepalanya itu. Tapi kenapa dia ada di sini sekarang?

"Jangan ngeliatin gitu dong! Heran ya? Heran ya? Hihihi..."

Sinta, atau yang Jun tangkap dari suara mendayu-dayu itu, menyuntikkan sesuatu ke lengan kiri Arjuna, membuatnya mengerjap dan menggeram pelan.

"Aku bukan Sinta kok, mas! Sinta teh udah mati. Bego sih dia. Pantes aja matinya cepet," katanya.

Ingin sekali Jun tapok mulutnya yang ringan itu. Tapi sial, badannya masih tak bisa digerakkan.

"Aku Cinta! Kembarannya!"

Fuck.

Arjuna tidak tahu harus merespon apa. Kalau mau membayang jauh ke waktu-waktu sebelumnya, harusnya Jun menyadari perbedaan dalam suara dan gaya bicaranya. Sinta jauh lebih sopan, tidak terlalu terkesan menggoda, dan dia chill kalau bicara. Kalau si Cinta ini, dia adalah orang pertama yang mengaku sebagai Sinta. Orang yang membuatnya cringe setengah mati, orang yang berani melakukan kontak fisik dengannya, orang yang selalu memanggilnya pakai embel-embel mas.

Sialan. Bahkan orang jahat juga punya kembaran. Lebih sinting juga.

Cinta tidak mengatakan apapun lagi. Bersamaan dengan pandangannya yang mulai fokus, Arjuna jadi ingat apa yang membuat perutnya keram setengah mati.

Kan perut lo dirobek, Jun! Diobok-obok pula!

Mengingat hal itu membuat lukanya berdenyut nyeri. Terguncang-guncang dalam bagasi, terantuk besi knalpot rusak dan burik yang ada di atas kepalanya berulang kali, hampir mati. Tapi Juna masih hidup, keajaiban yang mengutuk.

"Minum dulu, mas!" kata Cinta, sambil menyodorkan segelas air bening di depan mulut Arjuna.

Belum sempat pria itu menolak, Cinta sudah duluan memiringkan gelasnya, membuat Juna mau tak mau menegak air itu susah payah, bahkan dia tersedak karena ada beberapa air yang masuk hidungnya. Wanita sialan.

Diluar dugaan, sepertinya itu bukan air biasa. Dadanya mulai panas, kemudian luka di perutnya jadi luar biasa perih. Arjuna menggeram.

Sakit cuk, sumpah!

Cinta menyuntik lagi, 2 kali. Lalu perihnya berangsur menghilang, juga menyebabkan seluruh tubuhnya kembali mati rasa.

"Nah, mas Juna. Habis ini, kalo badannya udah bisa digerakin, kita keliling klinik!" seru Cinta riang.

Lesson To Learn | Junhao[✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang