13. Di Bunuh atau Membunuh?

10K 1.5K 23
                                    

"Kenapa semuanya berubah?"

Pelan-pelan Acha bangkit dari tidurnya, ia hendak ke keluar dari kamar yang menyeramkan itu.

Tapi baru saja tangannya menggenggam gagang pintu, tiba-tiba terdengar suara orang sedang mengobrol dari arah belakang. Acha menoleh ke sumber suara. Anehnya ia tak merasa takut sedikitpun.

"Jadi kapan kita nikah?" tanya perempuan berambut panjang.

"Kamu yang sabar dong, aku pasti nikahin kamu. Tapi mau bagaimanapun ada Alan, pacar kamu itu." kedua orang itu duduk membelakangi Acha. Pria itu lalu mengusap rambut si perempuan.

"Aku nggak cinta sama dia, aku cintanya sama kamu. Kasih aja Alan untuk Susan."

Tiba-tiba kedua orang itu menghilang. Acha merasa semua yang di lihatnya benar-benar membuat ia bingung.

Acha berjalan menuju ruang keluarga. Di sana ada perempuan tadi. Perempuan itu memakai baju berwarna biru.

"Aku nggak percaya kamu hamil." tegas pria itu.

"Aku beneran hamil anak kamu, kehamilanku baru dua bulan."

"Tapi aku belum siap nikahi kamu. Aku butuh persetujuan orangtuaku."

"Orangtua kamu pasti setuju, mereka juga senang banget aku sama kamu."

"Tapi aku belum siap...,"

"Bilang aja kalau kamu nggak mau nikahi aku, kamu jahat, Bim!" perempuan itu mulai menangis. Pria itu mulai iba, ia mendekati perempuan itu.

"Kamu gugurin aja kandungannya...,"

"Apa? Kamu gila? Kamu itu Dokter tapi kok malah nyuruh aku gugurin kandunganku sih? " perempuan itu mulai marah.

"Siapa tahu dia bukan anakku, kamu bisa aja hamil sama yang lain."

"Kamu jahat Bima! Jahat!" perempuan itu tak bisa lagi menahan amarahnya, ia memukuli pria itu sekuat yang ia mampu sambil terus terisak.

Perempuan itu segera mengambil pisau yang terletak di atas meja, pisau yang tadi di gunakan untuk memotong buah.

"Kalau gitu kamu harus mati! " teriak perempuan itu histeris, ia segera mengarahkan pisau itu ke pria di depannya. Tapi pria bernama Bima itu berhasil menghindar.

"Buang pisaunya, Yu. Kamu gila ya? Kalau aku beneran ketusuk pisau itu gimana?" Bima berusaha menghindar. Bima berusaha lari ke kamarnya di lantai dua. Perempuan itu terus mengejarnya.

"Dari pada calon bayiku yang mati lebih baik kamu sebagai bapaknya yang nggak bertanggung jawab aja yang mati."

Saat itu ruangan rahasia di kamar Bima terbuka, Bima segera lari kesana.

"Aku nggak mau nyakiti kamu, Yu. Tapi aku memang belum siap."

Dengan cepat perempuan itu mendekati Bima, ia arahkan pisau itu ke perut Bima tapi melesat. Bima berusaha menahan perlawanan perempuan itu, tanpa sengaja tangan perempuan itu terluka. Telapak tangannya mengeluarkan darah.

Perempuan itu mengaduh kesakitan. Saat itu ia dalam posisi terduduk di lantai. Sebuah peti terbuka lebar, di atasnya ada beberapa surat dan foto mereka berdua. Perempuan itu mengambil foto itu sesaat. Foto itu kemudian di taruh lagi, lengkap dengan lumuran darah tangannya yang tertinggal di foto itu.

Perempuan itu bangkit, ia segera mendekati Bima. Tapi tampaknya Bima sudah menyiapkan rencananya.

"Oke, aku akan nikahin kamu. Kapan? Besok? Ayo! " tegasnya. Mendengar itu tentu saja perempuan itu senang, ia menghentikan tindakannya.

"Benaran, Bim?" tanyanya penuh harap.

"Iya, yaudah sini pisaunya. Lihat tuh tangan kamu berdarah."

Seketika itu perempuan itu menyerahkan pisau itu pada Bima. Bima mengajaknya ke dekat jendela besar kamar itu. Bima memeluk gadis itu dari belakang.

"Aku ambillin obat merah dulu ya," ujar Bima. Ia segera pergi keluar kamar.

Setelah mengambil obat merah, ia kembali ke kamar itu sambil tersenyum jahat.

Perempuan itu masih berdiri menghadap luar jendela.

"Sayang."

Perempuan itu menoleh ke belakangnya. Bima kini tepat berada di belakangnya.

"Peluk aku dong."

Perempuan itu tersenyum, ia mendekatkan tubuhnya pada Bima. Dengan cepat Bima menusukkan pisau tadi ke pundaknya perempuan itu.

"Bima! Apa yang kamu lakukan padaku!"

"Lebih baik beginikan?" seringainya.

"Lelaki bajingan!" umpat perempuan itu, ia semakin kesakitan hingga akhirnya tersungkur jatuh dan tak sadarkan diri.

Bima buru-buru merapikan kamarnya. Ia juga menutup kembali ruangan rahasia itu. Tubuh kekasihnya yang kini tak sadarkan diri ia taruh di atas tempat tidur lengkap dengan di tutupi selimut. Bima segera mengganti pakaiannya dan bergegas hendak pergi dari rumahnya.

Sampai di situ Acha tak bisa lagi melihat kejadian berikutnya, sebuah cahaya datang dan semakin lama semakin menyilaukan.

"Acha... Bangun... Acha..." panggil Mama.

Acha merasa pipinya di tepuk pelan beberapa kali. Ia akhirnya bangun.

Kini ia berada di kamarnya. Di kamar itu juga kini ada Papa, Mama, dan Guntur. Di belakang Guntur berdiri sosok hantu Dokter Riyan.

"Mama... " Acha segera memeluk mamanya sambil menangis.

"Kamu kenapa bisa pingsan tadi?"

"Nggak tahu, Ma. Acha takut di sini, Ma."

"Tenang, Acha. Sekarang Mama udah ada di sini kan."

"Cha." sapa Guntur.

"Ngapain lo kesini?" tanya Acha datar.

"Gue mau minta maaf, Cha."

"Nggak mau gue maafin." Acha pura-pura merajuk, mana mungkin ia akan membenci Guntur. Meski sebenarnya semua yang di alaminya ada kaitannya dengan Guntur.

"Maafin lo? Bersyarat!"

"Apapun gue lakuin!"

"Buktiin sama gue." tegas Acha.

Mencari JasadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang