18. Seorang Pembunuh

9.4K 1.4K 9
                                    

"Kami mau tahu apa yang Mas Bima lakukan terhadap Riyan dan Rahayu lima tahun lalu?" Acha memberanikan diri bertanya.

"Mereka sudah tidak ada, mereka tidak pernah ada!"

Bima terdiam beberapa saat, ia lalu menutup wajahnya dengan kedua tangan.

"Sebenarnya saya udah sembuh dari sebulan yang lalu."

"Lalu kenapa mas masih bertahan di rumah sakit ini?" tanya Acha.

"Percuma saya keluar dari sini, semuanya sudah terlambat."

"Maksud, Mas?"

"Sebenarnya Rahayu masih hidup ketika saya menusuknya dengan pisau saat itu tapi tiba-tiba Mirna datang bersama Riyan." karena Bima menyebut nama Riyan akhirnya Acha sadar bahwa semenjak Ia dan Alvin keluar dari mobil ia sudah tidak melihat roh gentanyangan itu lagi.

"Dokter Riyan.... " panggil Acha, ia melihat sekelilingnya. Bima yang melihat tindakan itu merasa kebingungan.

"Apa gadis ini bisa melihat sosok Riyan? Apa Riyan masih bergentayangan?" Bima membatin.

"Kemarin kami ketemu perempuan yang namanya Mirna itu," ujar Alvin angkat bicara. Meski ini pertama kalinya ia melihat adiknya almarhum temannya, Bima sudah merasa bersalah.

"Kalian jauhi dia, dia itu lebih jahat dari saya."

Dari kejauhan seorang petugas rumah sakir tampak mulai curiga karena Acha dan Alvin yang mengobrol dengan Bima tampak seperti orang mengobrol biasa tanpa susah payah mengajak Bima bicara. Menyadari gelagat petugas itu buru-buru Bima memberi kode lewat matanya agar kedua anak muda itu seolah susah mengajaknya bicara.

"Jawab dong, Mas!" rengek Acha pura-pura.

Alvin juga ikut dengan melambaikan tangannya di depan Bima yang berlagak diam dengan tatapan lurus ke depan. Melihat hal itu petugas tadi kembali melakukan tugasnya.

Saat itu...

24 agustus 2014

Hari ini Bima mengajak Rahayu ke rumahnya, saat itu Bima sudah tahun ke tiga menjadi dokter. Rahayu sendiri adalah petugas administrasi di rumah sakit mulia dan saat ini yang bekerja giliran teman satunya lagi.

Mereka berdua ada di ruang keluarga yang memang dekat dengan dapur.

"Aku hamil, Bim," ujar Rahayu tanpa basa-basi lagi.

"Kamu jangan bercanda, Yu." Bima memang memanggil Rahayu dengan sebutan Ayu.

"Aku nggak bohong, Bim."

"Aku nggak percaya kamu hamil!" tegas Bima

"Aku beneran hamil anak kamu, kehamilanku baru dua bulan."

"Tapi aku belum siap nikahi kamu. Aku butuh persetujuan orangtuaku." Bima mencoba mencari alasan.

"Orangtua kamu pasti setuju, mereka juga senang banget aku sama kamu."

"Tapi aku belum siap...,"

"Bilang aja kalau kamu nggak mau nikahi aku, kamu jahat, Bim!" Ayu mulai menangis. Bima yang melihat itu mulai iba, ia mendekatinya.

"Kamu gugurin aja kandungannya...,"

"Apa? Kamu gila? Kamu itu Dokter tapi kok malah nyuruh aku gugurin kandunganku sih? " tanya Ayu marah.

"Siapa tahu dia bukan anakku, kamu bisa aja hamil sama yang lain."

"Kamu jahat Bima! Jahat!" Ayu tak bisa lagi menahan amarahnya, ia memukuli Bima sekuat yang ia mampu sambil terus terisak.

Ayu segera mengambil pisau yang terletak di atas meja, pisau yang tadi di gunakan untuk memotong buah oleh Bima.

"Kalau gitu kamu harus mati! " teriak Ayu histeris, ia segera mengarahkan pisau itu kepada Bima yang ada di depannya. Tapi Bima berhasil menghindar.

"Buang pisaunya, Yu. Kamu gila ya? Kalau aku beneran ketusuk pisau itu gimana?" Bima berusaha menghindar. Bima berusaha lari ke kamarnya di lantai dua. Ayu terus mengejarnya.

"Dari pada calon bayiku yang mati lebih baik kamu sebagai bapaknya yang nggak bertanggung jawab aja yang mati."

Saat itu ruangan rahasia di kamar Bima terbuka, Bima segera lari kesana.

"Aku nggak mau nyakiti kamu, Yu. Tapi aku memang belum siap."

Dengan cepat Ayu mendekati Bima, ia arahkan pisau itu ke perut Bima tapi melesat. Bima berusaha menahan perlawanan ayu, tanpa sengaja tangan ayu terluka. Telapak tangannya mengeluarkan darah.

Ayu mengaduh kesakitan. Saat itu ia dalam posisi terduduk di lantai. Sebuah peti terbuka lebar, di atasnya ada beberapa surat dan foto mereka berdua. Ayu mengambil foto itu sesaat. Foto itu kemudian di taruh lagi, lengkap dengan lumuran darah tangannya yang tertinggal di foto itu.

Ayu bangkit, ia segera mendekati Bima. Tapi tampaknya Bima sudah menyiapkan rencananya.

"Oke, aku akan nikahin kamu. Kapan? Besok? Ayo! " tegasnya. Mendengar itu tentu saja Ayu senang, ia menghentikan tindakannya.

"Benaran, Bim?" tanyanya penuh harap.

"Iya, yaudah sini pisaunya. Lihat tuh tangan kamu berdarah."

Seketika itu Ayu menyerahkan pisau itu pada Bima. Bima mengajaknya ke dekat jendela besar kamar itu. Bima memeluknya dari belakang.

"Aku ambillin obat merah dulu ya," ujar Bima. Ia segera pergi keluar kamar.

Setelah mengambil obat merah, ia kembali ke kamar itu sambil tersenyum jahat.

Ayu masih berdiri menghadap keluar jendela.

"Sayang."

Ayu menoleh ke belakang. Bima kini tepat berada di belakangnya.

"Peluk aku dong."

Ayu tersenyum, ia mendekatkan tubuhnya pada Bima. Dengan cepat Bima menusukkan pisau tadi ke pundaknya.

"Bima! Apa yang kamu lakukan padaku!"

"Lebih baik beginikan?" seringainya.

"Lelaki bajingan!" umpat Ayu, ia semakin kesakitan hingga akhirnya tersungkur jatuh dan tak sadarkan diri.

Bima buru-buru merapikan kamarnya. Ia juga menutup kembali ruangan rahasia itu. Tubuh kekasihnya yang kini tak sadarkan diri ia taruh di atas tempat tidur lengkap dengan di tutupi selimut. Bima segera mengganti pakaiannya dan bergegas hendak pergi dari rumahnya.

Tepat saat ia hampir sampai di depan pintu, bel berbunyi menandakan ada yang datang.

"Gawat," ujar Bima panik, buru-buru ia merapikan penampilan dan suaranya agar tidak kelihatan seperti orang ketakutan. Bima tahu kalau Rahayu yang ada di kamarnya belum meninggal melainkan pingsan.

Bima segera membuka pintu. Ternyata tamu yang datang adalah Mirna dan Riyan. Kedua orang itu merupakan dokter baru di rumah sakit mulia.

"Ada apa ya?"

"Kami nyariin Mbak Rahayu Mas, " ujar Riyan.

Mencari JasadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang