16. Dia Adalah Mirna

9.6K 1.5K 30
                                    

Alvin sebenarnya tidak ingin membantu Acha karena ia merasa bakal ada masalah yang lebih besar ke depannya. Seperti laki-laki pada umumnya yang tidak tega melihat cewek memohon akhirnya Alvin mau menemani Acha.

"Lo yakin lihat dia di sekitar sini?" tanya Acha tampak sedikit takut. Kini mereka ada di kompleks perumahan yang rumahnya masih sedikit bahkan beberapa tampak sudah di tumbuhi tanaman liar karena lama sudah tak di huni.

"Gue waktu itu lewat sama Bang Alan sekitaran jam lima sore. Saat itu cewek itu lagi jalan kaki di sekitar sini dan sontak abang gue ngerem mendadak."

Kejadian beberapa bulan lalu, empat hari sebelum kematian Dokter Alan.

"Kenapa, Bang?"

"Vin, lihat cewek tadi nggak?"

"Lihat bang, kenapa memangnya?"

"Nggak apa-apa."

"Kok abang kayak ketakutan?"

"Dia teman lama Abang, namanya Mirna."

"Cha," pria berbaju dokter itu muncul di jok belakang mobil Alvin.

"Ingat sesuatu, Dok?"

Alvin yang melihat tingkah Acha berbicara sendiri langsung bertanya, "Lo ngomong sama siapa? Lo indigo?"

"Gue.... Panjang ceritanya nanti gue ceritain."

Alvin terus memperhatikan bangku belakang yang kosong.

"Dasar cewek aneh, tapi cantik sih."

Tiba-tiba seseorang berjubah mengetuk jendela. Itu bukan jubah tapi jas hujan berwarna hitam.

"Jangan buka jendelanya, Vin." Acha takut kalau-kalau itu penjahat yang hendak merampok mereka mengingat lokasi sekitar sangat sepi.

Karena pintu jendela tak kunjung di buka akhirnya orang yang mengetuk itu membuka penutup kepalanya. Seorang kakek-kakek!

Alvin kemudian membuka jendela mobil.

"Ada apa, Kek?"

"Kalian ngapain di sini?" tanyanya tanpa ekspresi.

"Nyari rumahnya Mirna, apa kakek tahu rumahnya?" tanya Alvin.

"Perempuan jahanam itu tinggal di ujung jalan ini."

"Perempuan jahannam? Maksud kakek apa?"

"Dia pembunuh! Dia pembunuh! Hahaha.... " Kakek itu tertawa lepas dan tanpa izin segera pergi dari hadapan Alvin. Seperti Kakek itu sedikit mengalami stres mungkin karena faktor usia juga.

"Kakek!" Alvin hendak keluar mobil untuk mengejar kakek tersebut.

"Alvin!" Acha menarik tangan Alvin agar tak keluar dari mobil.

"Udah biarin aja kakeknya, kita coba aja ikuti kata kakek itu." mendengar Acha memohon akhirnya Alvin tidak jadi keluar rumah.

Mobil melaju sampai mereka hanya menemukan satu rumah yang di kelilingi banyak tumbuhan. Saat itu ada perempuan sedang menyapu halaman.

Alvin dan Acha segera keluar dari mobil hendak bertanya.

"Assalamualaikum.... permisi, Mbak."

"Waalaikumsalam.... Ada apa ya?" perempuan itu melihat Acha dan Alvin sekilas kemudian kembali menunduk.

"Apa mbak tahu rumah perempuan bernama Mirna? " tanya Acha.

"Dia.... " perempuan itu bingung hendak berkata apa.

"Sakit! Perut gue!" roh dokter riyan berteriak kesakitan tapi hanya di ketahui Acha.

"Kenapa mbak nunduk terus? Kami bukan orang jahat kok," Alvin tidak bisa melihat dengan jelas wajah perempuan itu tapi ia seperti pernah melihatnya.

Sementara itu roh dokter riyan terus menahan rasa sakitnya, itu adalah rasa sakit yang di alaminya saat ia di tusuk pisau oleh pembunuhnya.

"Mbak Mirna sedang pergi keluar kota, saya pembantu di rumah ini."

"Bisa minta nomor teleponnya?" tanya Acha.

"Bisa," perempuan itu kemudian menyebutkan nomor handphone pribadi Mirna.

"Yaudah kalau memang mbak Mirnanya lama balik mungkin sebaiknya lain kali kami datang ke sini, mbak. Makasih ya, mbak," ujar Acha sopan.

"Dia Mirna!" seru Alvin dalam hati, ia akhirnya bisa melihat wajah perempuan itu saat ia menyebutkan nomor telepon pada Acha. Itu adalah perempuan yang di sebutkan abangnya dulu.

"Kalian ada perlu apa sama beliau? Mbak bisa sampaikan saat beliau kembali."

"Kami mau nyampaikan pesan dari teman beliau yang namanya Dokter Bima." Acha sengaja begitu untuk mengetahui reaksi perempuan di depannya itu.

"Apa pesannya?" terdengar nada tak suka dari wajah perempuan itu.

Sementara Acha berbicara, Alvin malah sibuk menahan rasa sakit di kepalanya.

"Nanti saja kami sampaikan kalau sudah ketemu mbak Mirna, sekali lagi makasih ya, mbak." Acha pamit hendak pulang saja.

"Ya sudah kalau begitu hati-hati ya," ujar perempuan yang berumur sekitar tiga puluh tahun itu.

Acha segera menarik tangan Alvin ke mobil.

"Yuk pulang, Vin."

Alvin mengiyakan saja ajakan Acha, ia kini makin penasaran dengan perempuan itu. Kenapa pula harus menutupi kalau dirinya memang Mirna? Kejadiannya sudah lama nggak mungkin di tuntut lagi sama polisi kan?

Dari awal pembicaraan dengan perempuan itu memang tampaknya dia tidak tersenyum sedikitpun bahkan dia seperti menyembunyikan ketakutannya terus menerus.

****

Setelah mobil Alvin benar-benar jauh dari lokasi tadi barulah Acha memberanikan diri bercerita dengan Alvin.

"Vin, tadi kenapa lo kayak nahan rasa sakit gitu?"

"Gue emang sering ngerasain itu semenjak gue balik dari rumah sakit mulia ngelihat abang gue yang di temukan meninggal."

"Gue merasa lo sama gue di bawa buat mecahin kasus kematian dari masa lalu dokter-dokter itu."

"Dokter-dokter?" Alvin masih belum mengerti dengan ucapan Acha.

"Abang lo dan teman-temannya di rumah sakit mulia lima tahun silam." jelas Acha.

"Cha, tadi kenapa lo buru-buru mau pulang pas kita nanya sama mbak itu padahal lo penasaran."

"Itu pembantunya kok, ngapain banyak nanya. Kita itu nyari mbak Mirna bukan pembantunya." jelas Acha tegas. Sekali lagi Alvin hanya mampu mengiyakan, ia ingin mengikuti permainan Mirna ini.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Instagram Author @fitrirezkiamelia

Mencari JasadTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang