DUA

12.9K 1.1K 158
                                    

Masa KKN
Magelang, tiga tahun yang lalu

"Ini rumah poskonya, Mas, Mbak." Abdullah, carik Desa Salaman, menunjuk pada bangunan rumah sederhana di belakangnya. Sementara, mahasiswa KKN kelompok Magelang Delapan dari Universitas Duta Yogyakarta berdiri di depannya.

Bayu mengamati bangunan yang ditunjukkan Pak Abdullah. Griya itu akan menjadi tempat tinggalnya selama empat puluh hari masa KKN di Desa Salaman, Magelang. Rumah itu sebenarnya terdiri dari dua buah rumah yang berdempetan. Yang pertama bercat biru telur asin dan yang kedua berwarna merah muda pucat. 

"Ini yang punya rumah, Bu Yekti." Pak Abdullah mengacu pada seorang wanita dengan jilbab sederhana yang berdiri di sampingnya. "Beliau menempati rumah yang sebelah sana." Carik desa itu lalu menunjuk pada rumah yang berwarna biru telur asin.

"Rumah ini aslinya milik putri Bu Yekti, tapi sudah lama kosong karena dia dan suaminya sedang kerja jadi TKI di Singapura," lanjut Pak Abdullah.

Bayu mengangguk paham, hal yang sama dilakukan oleh kawan-kawannya. Pasti ada sebuah pintu penghubung di dalam rumah, duganya. Indra, sang ketua KKN, maju menyalami Bu Yekti. Bayu dan teman-teman yang lain pun mengikuti. Kemudian Bu Yekti dan Pak Abdullah mengajak mereka masuk ke dalam rumah.

Gerakan Bayu memanggul tas di punggung terhenti saat matanya menangkap salah satu gadis rekan KKN-nya sedang menyobek daun pisang dari pelepahnya. Rumah Bu Yekti ini memang dikelilingi oleh pepohonan hijau nan asri.

Gadis itu, seingat Bayu, bernama Ratna dari Jurusan Sastra Inggris. Mereka baru satu kali bertemu selepas pembekalan KKN. Bayu masih berusaha menghafal nama kesembilan orang rekan satu kelompoknya.

Ratna sepertinya tidak memedulikan teman-teman yang sudah mulai masuk ke dalam rumah. Dia malah asyik melipat-lipat daun pisang. Bayu mendecakkan lidah. Ini jelas bukan waktu yang tepat untuk membuat hasta karya.

"Ayo, masuk," ajak Bayu setelah menghampiri Ratna.

Berdiri bersisian begini, Bayu jadi tahu bahwa tinggi Ratna hanya mencapai dagunya. Gadis itu memiliki wajah berbentuk hati dengan hidung kecil dan mancung. Rambut ikal bergelombangnya panjang sampai dada dan dibiarkan bebas tergerai.

"Eh, iya, 'bentar." Ratna nyengir ke arah Bayu dan merogoh saku jas almamater. Gadis itu mengeluarkan bungkusan plastik berisi selembar tisu makan dan sebuah tusuk gigi. Benda itu pasti didapat Ratna dari nasi kotak, menu makan siang mereka tadi. Bayu tidak menyangka Ratna menyimpan benda remeh seperti itu.

Bayu terus memperhatikan Ratna. Gadis itu mengambil tusuk gigi dan menyematkannya pada lipatan daun pisang yang sudah berbentuk mirip sebuah simpul pita. "Apa itu?" tanya Bayu, tak kuasa menahan rasa ingin tahu.

"Pembatas buku sementara. Pembatas bukuku pasti jatuh saat di bus tadi."

Ratna membuka tas selempangnya dan mengeluarkan sebuah buku yang cukup tebal. Mahabharata. Pilihan bacaan yang cukup unik untuk generasi milenial, pikir Bayu.

Ratna membuka-buka lembaran buku dan akhirnya menyelipkan ujung kanan atas halaman yang dia kehendaki ke dalam 'pita-daun pisang-bertusuk gigi' dan, hei, benda itu ternyata benar-benar menjadi pembatas buku. Unik sekali. Bayu ingin bertepuk tangan saking kagumnya.

"Sip, udah beres." Ratna tersenyum puas dan memasukkan kembali buku Mahabharata ke dalam tas. "Ayo, kita masuk." Dengan santai gadis itu menyeret koper beroda miliknya dan mendahului Bayu masuk ke dalam rumah posko.

Rumah itu dicat dengan warna pink yang sudah memudar, di bagian dalam bahkan banyak bagian dinding yang catnya sudah mengelupas. Lantainya berupa ubin keramik putih. Selain jendela depan yang memiliki kaca, jendela lain di rumah itu masih menggunakan daun jendela kayu yang dibagi dua, jadi kita bisa membuka daun jendela bagian atas saja dan membiarkan bagian bawah tetap tertutup agar orang lewat tidak bisa mengintip ke dalam rumah.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang