Setelah jeda lama, kepala Bayu akhirnya tertoleh ke arah Ratna. Dilihatnya bibir gadis itu membuka lalu mengatup lagi. Kata-kata urung meluncur.
"Jangan coba-coba bilang kamu nggak ngerti apa yang kubicarakan, Na. Apa yang kita lakukan dulu nggak memungkinkan kita untuk bertingkah seolah nggak terjadi apa-apa."
Pipi Ratna memanas. Namun, membuang muka pun percuma. Bayu tetap bisa melihat wajahnya yang memerah. Jadi Ratna sebisa mungkin bersikap acuh tak acuh, meski mungkin triknya tidak akan terlalu berhasil.
"Sejak semula aku sudah bilang bahwa aku pasti bisa melupakan apa yang terjadi tiga tahun lalu. Dan, ya, forgetting you is not as hard as I thought."
"Masa?" Alis Bayu naik, sangsi. "Kamu juga melupakan malam itu?" desaknya.
Lelaki itu memandang Ratna lamat-lamat. Rambut bergelombangnya yang dikucir separuh, membuat keseluruhan wajah berbentuk hati itu terekspos. Ratna tidak punya tameng untuk menyembunyikan mimik. Dari mata Ratna yang terbeliak dan wajah yang semakin memerah, Bayu sudah mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
"Kamu pembohong yang buruk," simpulnya pongah disertai senyum kemenangan.
Ratna mendengkus. Sengaja supaya terdengar kesal dengan topik ini. "Dengar, Bay. Nggak ada gunanya mengungkit masa lalu. Aku harap ke depannya kita bisa bersikap normal seperti selayaknya dua orang kawan lama."
Tahu bahwa Bayu pasti akan membantah, Ratna gegas beranjak, tak perlu menunggu tanggapan lelaki itu. Dia menghampiri Ayu dan berpura-pura tertarik pada dua pasang sepatu yang sedang dipilih Ayu.
"Yang ini kayaknya lebih bagus. Warnanya lebih ngejreng. Iya, nggak?" Tangan kanan Ayu mengangsurkan sebuah sepatu hak tinggi berwarna cokelat, meminta Ratna membandingkan dengan sepatu lain yang juga berwarna cokelat di tangan kiri.
Ratna mencermati kedua sepatu dengan permukaan glossy. Keduanya sama-sama berwarna cokelat dan memiliki tumit runcing dan polos tanpa aksesoris. Yang membedakan hanya gradasi warnanya. Sepatu di tangan Ratna berwarna cokelat kayu manis, sedangkan yang dipegang Ayu berwarna cokelat karamel.
"Nggak terlalu kelihatan perbedaan warnanya, Yu. Dua-duanya sama-sama netral, cocok untuk warna pakaian apa pun."
Dalam urusan berbelanja, perempuan tidak benar-benar membutuhkan masukan. Terkadang mereka hanya butuh mendengar pendapat yang sama dengan opini mereka. Terbukti, Ayu lalu memutuskan membeli sepatu cokelat kayu manis yang sejak awal sudah menjadi kecondongannya.
"Kamu nggak beli?" tanya Ayu setelah menyerahkan sepatu yang akan dia beli pada pramuniaga.
Ratna melirik label harga. Tidak semahal wedges yang dipajang di etalase, tetapi tetap saja harganya dua kali lipat dari harga sepatu yang biasa dia beli di Matahari. Lagi pula, Ratna tidak terlalu suka menggunakan sepatu hak tinggi. Kesannya memang cantik dan seksi, tapi rasa pegal yang harus ditanggung betisnya tidaklah sebanding.
"Aku penggemar flat shoes," kilahnya sambil mengangkat sedikit kaki kanan lalu menggoyangkannya, menunjukkan sepatu pantofel putih bersol datar. "Lagi pula, kalau pakai high heels aku takut nanti nancep di tanah dan nggak ada yang bisa mencabut."
Ayu terkikik. "Omonganmu sama kayak Bayu. Dia pernah komen begitu waktu pertama kali lihat aku pakai high heels. Cowok mah sering gitu, nyinyir, padahal kalau kita tampil cantik mereka juga suka."
Mereka berjalan bersisian menuju meja kasir. Ayu mengeluarkan kartu kredit dan melakukan transaksi pembayaran.
"Bukan Bayu yang bayar?" tanya Ratna ingin tahu. Dilihatnya Bayu masih duduk di tempat Ratna meninggalkannya tadi dan asyik dengan ponsel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tiga Sisi
عاطفيةCinta sejati bukan berarti dia yang datang pertama. Begitulah Bayu berdalih saat mendapati dirinya jatuh cinta pada Ratna, di saat sudah memiliki Ayu sebagai kekasih. Cinta pertama akan abadi selamanya, tetapi cinta pertama itu sering kali jatuh pa...