SEPULUH

8.4K 1K 158
                                    

Selama ini Bayu pikir melihat bokong Ratna adalah hal terbaik yang bisa dia dapatkan dari gadis itu. Namun, sekarang, mendapati Ratna merona merah padam karena ucapannya ternyata jauh lebih menyenangkan.

Bayu memperhatikan cara pipi putih Ratna berubah menjadi semerah tomat. Dan saat rona itu merambat sampai ke telinga, Bayu merasakan dorongan untuk mengulurkan tangan dan merangkum wajah tersipu di hadapannya. Apakah panas itu akan menjalar di telapak tangannya?

Bayu menyukai apa yang dia lihat, sebagaimana dia menyukai desiran aneh di dadanya yang bahkan tidak pernah terjadi saat sedang bersama Ayu.

"Pantesan metik daun salamnya lama. Ternyata metiknya sambil pacaran."

Suara Rengganis terdengar dari arah teras rumah. Bayu dan Ratna kompak menoleh. Cepat Ratna menyambar kesempatan itu untuk lepas dari situasi canggung yang membelit.

"Sorry, Nis." Hanya itu yang bisa Ratna ucapkan. Dia benar-benar kehabisan kata-kata. "Yuk, ke dapur lagi," ajaknya pada Rengganis. Namun, kawannya itu tak segera beranjak dari tempatnya berdiri.

"Diapain sama Bayu? Mukamu merah gitu?"

Ratna berjuang keras agar tidak melirik ke arah Bayu. "Panas di luar."

Ratna sadar alasannya terdengar konyol karena halaman rumah posko KKN tergolong teduh, tetapi dia bersyukur Rengganis tidak mencecar lebih jauh dan memilih mengikutinya ke dapur.

Sementara Bayu tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Tingkah Ratna sangat menggemaskan. Gadis itu bisa bersikap muka tembok dan cuek, tetapi ada kalanya Ratna juga bersikap malu-malu.

Tatapan Bayu mengikuti, sampai Ratna dan Rengganis menghilang ke dapur. Setelahnya, barulah dia masuk ke dalam rumah. Bayu memutuskan untuk duduk saja di ruang tengah, di mana Fattan sedang berbaring tengkurap di atas kasur yang ditempatkan di sudut ruangan.

Tidak biasanya pemuda slengekan itu masih betah rebahan pada jam segini. Bayu melirik jam dinding. Pukul sepuluh. Tumben Fattan tidak melakukan pendekatan pada Melan hari ini. Gadis itu bahkan turut dengan Ardi membuat semacam peta desa.

"Woi, mau tidur sampai jam berapa? Calon cewekmu udah digondol Ardi, tuh," gurau Bayu sambil menepuk betis Fattan. Lho, kok panas?

"Kenapa kamu? Sakit?"

Fattan mengerang lalu sedikit menolehkan kepala ke arah Bayu. "Bay, nanti kalau kakiku mendadak dingin, cepat bawa aku ke Puskesmas," pesannya.

"Jangan bercanda kamu."

"Tenan, Bay. Kowe meneng wae ning kene. Njagani aku." (Sungguh, Bay. Kamu di sini saja. Menunggui aku.)

Aduh, malah ngomong Jawa. Bayu mana paham. Bingung, Bayu hanya duduk di samping Fattan dan sesekali memegang telapak kaki temannya. Masih hangat. Apa itu artinya Fattan masih baik-baik saja?

Fattan tidur tak nyenyak. Suara rintihan kecil keluar dari mulutnya. Mulai panik, Bayu menuju dapur. Rengganis yang pertama menyapanya.

"Dih, Papa Bayu nggak betah amat pisah dari Mama Ratna. Udah nyariin aja."

Putri dan Nanda, yang entah bagaimana bisa ada di dapur, terkikik. Sementara Ratna pura-pura sibuk menggoreng ikan asin dan tidak menoleh ke arah Bayu.

"Fattan sakit. Badannya panas. Dia pesan yang aneh-aneh, kayak udah mau mati aja."

Perhatian keempat gadis langsung terpusat pada kabar itu. Ratna mematikan kompor dan meniriskan ikan asin. "Sejak kapan?" tanyanya.

"Nggak tahu. Tadi malam dia nggak ngeluh apa pun."

Mereka semua lalu menuju ruang tengah. Fattan kini sedang meringkuk di atas kasur sambil memegangi perut. Terlihat jelas dia kesakitan. Bibirnya bahkan memucat.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang