TUJUH

8.5K 1K 170
                                    


Ratna turun dari boncengan motor Bayu dan melepas helm. Hari ini mereka akan mendampingi Zoya mengisi kegiatan di TK. Mahasiswi Kedokteran Gigi itu akan memberikan sosialisasi cara menggosok gigi yang baik dan benar.

Bel masuk belum berbunyi. Anak-anak berseragam biru masih asyik bermain di halaman TK Pertiwi, Desa Salaman. Perosotan tampaknya menjadi favorit. Para siswa TK berebut untuk meluncur lalu mengulanginya lagi dan lagi.

Di luar gerbang sekolah, terdapat beberapa pedagang kaki lima yang menjajakan makanan, di antaranya: cilok, kue cubit, dan siomay. Namun, ada satu pedagang yang menarik perhatian Ratna. Seorang nenek tua yang menjual jajanan tradisional. Sudah dua minggu Ratna dan kawan-kawan menyambangi TK ini, tetapi baru hari ini dia melihat si nenek.

Bagai digerakkan otomatis, kaki Ratna terayun mendekati lapak nenek tersebut. Wanita tua itu menjual lopis, gendar, dan grontol jagung. Ratna memutuskan membeli grontol jagung. Sudah lama dia tidak menyantap jajanan tradisional yang satu itu.

Tangan keriput sang nenek masih cekatan membungkus grontol jagung dengan daun pisang. Saat dia menawarkan untuk memberi gula jawa cair di atas butiran jagung kukus itu, Ratna menolak.

Ratna duduk di bangku kayu panjang di bawah pohon ketapang dan membiarkan Zoya dan Putri masuk ke bangunan TK terlebih dahulu untuk berkoordinasi dengan para guru. Dia membuka bungkusan daun pisang dan mulai menyemil dengan tangan.

"Makan nggak ajak-ajak."

Ratna menoleh sewaktu tiba-tiba Bayu duduk di sebelahnya. Untuk sesaat dia lupa pada partnernya ini. "Kirain kamu udah masuk ke dalam."

"Nanti ajalah. Pas udah mau mulai senamnya," balas Bayu.

Ratna manggut-manggut dan kembali menikmati makanannya sampai tiba-tiba ada jemari asing yang merusuh.

"Bayu, beli sendiri sana," sergah Ratna sambil menepis tangan Bayu.

"Males. Enakan ngerusuhin kamu."

Bayu terus saja mencomot butiran-butiran jagung ke dalam mulutnya, tak peduli meski Ratna menghardik. "Ini namanya apa, Na?" tanyanya sambil mengunyah.

"Grontol jagung. Cah kutha mesti ora ngerti." (anak kota pasti nggak ngerti)

"Jangan pakai bahasa Jawa. Aku nggak bisa balasnya."

Ratna meringis. "Sorry ... habisnya, kebiasaan. Jadi sering lupa kalau sedang berhadapan sama anak Jakarta kayak kamu."

"Aku tumbuh di Jakarta, tapi sebenarnya ayahku orang Jawa. Asli Magelang, malah."

"Oya? Wah, aku baru tahu. Sini kamu les bahasa Jawa sama aku. Ngomong pakai bahasa daerah itu enak. Lebih akrab. Biar bapakmu senang. Pulang KKN, anaknya bisa bahasa Jawa."

Bayu tentu saja tak yakin bahasa Jawa bisa dipelajari dalam waktu singkat dan sepertinya ayahnya tidak mengharapkan Bayu menguasai bahasa daerah. Tapi mungkin ayahnya akan suka jika punya menantu yang bisa berbahasa Jawa. Itu akan jadi point plus. Eh, kok jadi mikir mencari menantu untuk ayahnya? Ngobrol sama Ratna bawaannya jadi mikir rumah tangga.

"Aku les bahasa lain aja sama kamu."

"Bahasa Inggris?"

"Bukan. Bahasa cinta."

Ratna menutup mulut dengan satu tangan. Nyaris saja dia tersedak. "Dasar raja gombal," gerutunya sambil terbatuk.

Bayu terkekeh dan Ratna ikut tertawa bersamanya. Memang ada yang berbeda dengan sikap Bayu. Sejak pulang dari pertemuan PKK beberapa hari yang lalu, lelaki itu mendadak kerap menggoda Ratna. Jika biasanya Bayu cuek saja disebut sebagai 'pacar' Ratna, akhir-akhir ini Bayu malah menanggapi dengan antusias. Sering kali Bayu sengaja memanggil Ratna 'Mama' dan menyebut dirinya sendiri 'Papa'. Norak banget.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang