DUA PULUH TIGA

7K 974 120
                                    

Begitu menginjakkan kaki di kantin PE, Ratna langsung menyesali keputusannya datang ke tempat itu. Ayu melambaikan tangan dengan bersemangat dari balik meja yang terletak di sudut. Di hadapan gadis itu tentu saja ada lelaki yang gemar membuat jantung Ratna bekerja dua kali lebih cepat. Bayu.

Ratna memandang pasrah pada kotak makan di tangannya. Seharusnya dia makan di ruang guru saja dan meminta tolong pada office boy untuk membelikan es susu cokelat di kantin. Sekarang harapan untuk makan dengan nyaman sudah hilang. Berada satu meja dengan Bayu dan Ayu pasti akan menimbulkan suasana canggung yang tak nyaman.

Ayu masih melambaikan tangan ke arahnya, isyarat agar Ratna bergabung di mejanya. Kalau sudah begini, Ratna tidak bisa berpura-pura tidak melihat Ayu, bukan? Meski enggan, langkah kakinya tetap terayun menghampiri meja di sudut kantin.

"Mau makan malam?" tanya Ayu saat memandang kotak nasi di tangan Ratna. "Gabung di sini aja, meja lain penuh kan?" tawarnya seraya bergeser, memberi ruang bagi Ratna untuk duduk di bangku panjang yang ditempatinya. Segelas cangkir kopi yang sudah kosong, disingkirkan ke tepi meja oleh Ayu.

"Duduk, Na," perintah Bayu singkat sembari menyambar botol air mineral di meja dan meneguk isinya.

"Kok masih di sini? Aku pikir kalian sudah pulang."

Kelas Business English Ayu sudah selesai lebih dari setengah jam yang lalu. Ratna pikir Ayu sudah pulang, tetapi kenyataannya gadis itu masih ada di sini, bersama Bayu pula. Kenapa sih orang pacaran harus diantar jemput terus? Memangnya Ayu enggak bisa sekali saja enggak dijemput Bayu sepulang les?

"Tadi aku nungguin Bayu ngurus sertifikat pelatihan TOEFL," ujar Ayu setelah Ratna duduk di sampingnya.  "Eh, katanya kamu ya yang ngajar di kampus Bayu kemarin?"

"Nggak cuma aku, kok. Ada dua teacher lain yang ikut ngajar. Bergantian tiap skill."

Kepala Ratna menunduk sebentar saat meletakkan kotak bekal di meja. Dia memanfaatkan beberapa detik yang singkat itu untuk menyiapkan batin. Ketika wajahnya kembali mendongak, Ratna memastikan rautnya terlihat netral dan senyumnya tampak tulus. Tidak perlu ada yang tahu bahwa perasaannya campur aduk setiap kali melihat pasangan kekasih ini. Gabungan rasa bersalah, rindu, juga cemburu.

Ya, setiap memandang wajah Bayu, Ratna merindu. Ingin rasanya berlama-lama menatap lelaki itu, menikmati sorot mata Bayu yang ekspresif. Akan tetapi, batinnya akan disergap rasa bersalah setiap kali disambut Ayu dengan ramah, dengan senyum persahabatan yang mungkin tidak layak Ratna terima. Kemudian, saat melihat Bayu dan Ayu berdampingan, ada rasa cemburu yang menusuk, yang biasanya dengan cepat Ratna tepis. Sebab dirinya tidak berhak memiliki perasaan itu. Bayu bukan lelakinya.

Pelan, Ratna mulai menyuapkan makan malamnya: udang goreng tepung dan tumis pokcoy, berharap menu sederhana itu tidak terlihat kampungan di mata dua orang lawan bicaranya.

"Bayu usil nggak selama di kelas? Waktu kuliah dulu dia suka asal nyahut kalau ditanya dosen. Parah banget." Ayu menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. Sepasang anting-anting berbentuk teardrop ikut bergoyang seiring gerakan kepalanya.  Aduh, Mbak. Jadi orang kok cantik banget sih? Bikin minder aja.

"Nggaklah. Itu kan dulu. Sekarang aku murid teladan. Iya nggak, Na?" bantah Bayu dengan mata berkilat jail. Menantang Ratna untuk membalas. Bayu tahu pasti Ratna tidak mungkin mengadu tentang rayuan yang dia lancarkan di setiap sesi Ratna mengajar.

Ratna tersenyum kecut. Teladan, mbahmu kiper! Bayu itu jenis murid yang akan membuat semua guru mengajukan permohonan pensiun dini.

"Dulu kalian sekelas?" tanya Ratna. Pertanyaan itu ditujukan untuk Ayu.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang