LIMA BELAS

7.9K 1K 87
                                    

Magelang, tiga tahun yang lalu.

Ratna tahu ada yang tidak beres dengan gelagat Zoya. Sedari tadi, calon dokter gigi itu berkali-kali meraba saku celana jin, merogoh saku jas almamater, dan kini sedang mengaduk-aduk isi tas.

"Permisi sebentar, Mbak," pamit Ratna pada Dian, ketua seksi acara Semarak HUT RI yang sedang menjelaskan apa saja yang harus Ratna lakukan sebagai MC pendamping.

Dengan langkah cepat, Ratna menghampiri Zoya, melewati beberapa laki-laki yang tengah menata panggung. Orang-orang di lapangan SD Negeri 1 Salaman tengah sibuk mempersiapkan event tahunan tujuh belasan untuk besok malam.   

"Kenapa, Zoy?" tanya Ratna.

Wajah Zoya terlihat sedikit panik. "Flash disk-ku nggak ada. Aku yakin tadi sudah kubawa."

"Mungkin terselip di dalam tas."

Sekali lagi Zoya mengaduk-aduk isi tas Femmebravile-nya yang kecil dan imut. Ratna bisa mendengar bunyi benda-benda saling beradu di dalam kompartemen tas berwarna peach itu. "Nggak ada, Rat," keluh Zoya.

"Zoya, mana videonya? Mau coba diputar."

Putri ikut bergabung dan otomatis menatap bingung pada Zoya yang tengah mengeluarkan satu per satu benda dari dalam tas. Dompet, bedak, lipstik, sebungkus tisu, krim siang, hand sanitizer ... semua benda itu kini tergeletak di atas kursi. Zoya lalu menunggingkan tasnya yang sudah kosong. Flash disk USB tetap tidak ditemukan.

"Videonya aku simpan di flash disk dan sepertinya ketinggalan di posko," jawab Zoya.

"Gimana sih kamu." Nada suara Putri meninggi. "Kenapa kamu nggak bawa laptop aja?" omelnya.

"Laptop nggak muat di tasku."

Putri mendengkus kesal, sedangkan Ratna mendesah pasrah. Bagi Zoya tentu menganggap tampil dengan tas besar yang sanggup memuat laptop, tidak anggun dan tidak bergaya.

"Pokoknya aku nggak mau tau, Zoy. Kamu ambil flash disk ke posko. Sekarang!" titah Putri tegas. "Malu sama pihak Karang Taruna. Kesannya kita teledor banget."

"Iya, aku ambil." Meski bersungut, Zoya tetap mengakui kesalahannya. "Siapa yang bisa ngantar ke posko?"

Putri memelotot garang. Satu fakta penting yang terlupa, yaitu Zoya tidak bisa mengendarai motor.

"Ya udah sama aku aja, Zoy," putus Ratna menengahi. "Pinjam motormu, Put."

Setelah menerima kunci motor dari Putri, Ratna mengajak Zoya ke tempat motor-motor terparkir. Mereka bertemu dengan Bayu yang baru saja datang dari arah balai desa.

"Mau ke mana?" tanya lelaki itu.

"Ngantar Zoya balik ke posko," jawab Ratna tanpa melihat ke arah Bayu.

Ratna menstater sepeda motor milik Putri dan langsung melaju pergi dengan Zoya begitu mesin motor menyala.

Menyaksikan itu, Bayu mengerutkan kening. Belakangan ini Ratna bersikap aneh. Bayu menangkap sikap yang berbeda dari gadis itu, yang seolah sedang menjaga jarak darinya. Ratna lebih banyak diam saat berada di dekatnya dan hanya menanggapi obrolan dengan singkat.

Saat giliran mereka piket, Ratna akan berpura-pura melakukan pekerjaan lain ketika Bayu datang membantu. Tidak ada lagi mencuci piring bersama. Bahkan gurauan Mama Papa yang Bayu lemparkan ditanggapi Ratna dengan raut masam, bukan lagi wajah merah merona.

Bayu tidak menyukai perubahan ini.

***

"Ketemu?" tanya Ratna pada Zoya yang muncul dari kamar.

"Yap," sahut Zoya sambil menggoyangkan benda kecil berwarna hitam itu di antara dua jari. "Ternyata ada di dalam kotak make-up. Pasti tadi aku teralihkan waktu sedang pakai blush-on,"

Ratna memutar bola mata. Zoya ini lebih cocok jadi MUA daripada dokter gigi. Bisa-bisa pasien yang datang malah dirias oleh Zoya, alih-alih diperiksa giginya. "Laptopnya dibawa sekalian, Zoy. Biar aku yang bawa, kalau kamu nggak mau repot," sarannya, dan untunglah Zoya menurut.

Namun, kali ini ada yang salah dengan motor Honda Beat milik Putri. Ratna sudah memencet tombol double starter, tetapi mesin motor tak kunjung menyala. Dicoba berkali-kali pun hasilnya sama.

"Kenapa, Rat?" tanya Zoya.

"Nggak tahu ini. Motornya nggak mau hidup."

Ratna mencoba menyalakan motor dengan kick starter. Tetap tidak berhasil membuahkan hasil. Mesin ngadat, bahkan sempat terdengar suara letusan dari knalpot.

"Aku nggak tahu kenapa, Zoy. Kita jalan kaki saja, ya."

"Ih, nggak mau. Jauh, panas."

Ratna memijit pelipisnya yang mulai berdenyut. Berharap Zoya bersedia jalan kaki kepanasan itu terlalu muluk-muluk. Mission impossible. "Kalau gitu, kamu telepon Nanda. Minta dia jemput ke sini."

Meski tahu tindakannya mungkin sia-sia, Ratna mencoba lagi tombol double starter, tepat di saat seorang pemuda melintas dengan mengendarai sepeda motor.

"Motornya mogok, Mbak?" Si pemuda berhenti dan memarkir motor di sebelah Zoya yang sedang menelepon.

Ratna mengamati pemuda itu. Gaya rambut belah tengah kian menegaskan kesan belia. Usianya mungkin enam belas atau tujuh belas tahun. Hanya saja wajah si pemuda tampak tidak asing, Ratna merasa pernah melihatnya di suatu tempat.

"Iya," jawab Ratna ragu, "Masnya bisa benerin?"

Pemuda itu tersenyum sambil menggaruk kepala. "Wah, saya nggak bisa, Mbak. Saya bisa sih manggil orang bengkel, tapi kayaknya Mbak sedang buru-buru. Mau ke SD 1, kan?" Tatapan si pemuda jatuh pada jas almamater yang Ratna pakai.

Ratna tidak tahu bagaimana pemuda manis ini bisa tahu kegiatannya. Namun, keinginannya untuk bertanya teralihkan oleh kedatangan Nanda.

"Kenapa, Rat?" tanya Nanda seraya mengamati motor Putri, Zoya, dan si pemuda asing.

"Nggak mau nyala."

"Kita udah ditungguin lho. Aku antar Zoya dulu, nanti aku balik lagi jemput kamu," ucap Nanda pada Ratna.

"Biar Mbak yang ini bareng saya saja. Saya juga mau ke lapangan. Bantu-bantu di sana."

Semua kepala sontak menoleh ke arah si pemuda. Mungkin tatapan bertanya dari tiga pasang mata membuat tak nyaman, hingga akhirnya cowok manis itu memperkenalkan diri. "Saya Raja, Mbak. Anggota Karang Taruna juga. Rapat minggu lalu, saya ikut, kok. Itu lho, Mbak. Yang disuruh Mbak Dian untuk main gitar."

"Oh, pantesan aku kayak pernah lihat kamu." Ratna lega karena setidaknya pemuda ini adalah warga setempat dan tidak sepenuhnya asing. "Oya, kenalin. Aku Ratna."

***

"Ratna dan Zoya belum balik? Lama banget cuma buat ke posko doang." Bayu berkomentar entah ditujukan pada siapa. Gundahnya tak kunjung pergi sejak mendapati Ratna tak mau melihat ke arahnya saat di parkiran tadi.

"Aku susulin deh," putusnya kemudian.

"Halah, nggak usah. Kan Nanda udah nyusul ke sana," tegur Indra. "Tuh, Nanda dan Zoya." Indra menunjuk pada dua orang gadis yang memakai jaket kampus UDY, yang tengah berjalan ke arah mereka.

"Ratna mana?" tanya Bayu begitu Nanda sudah ada di depannya.

"Bentar lagi nyusul kok. Dih, Papa Bayu merindukan Mama Ratna terus, sampai nggak tahan jauhan bentar aja," ejek Nanda.

Bayu hendak membalas ledekan itu, tetapi gawainya bergetar. Ada panggilan masuk dari Ayu. Ah, ceweknya itu kenapa menelepon jam segini? Paling-paling hendak bertanya sudah makan atau belum. Mau di-reject tapi nanti Ayu mengambek. Menghadapi cewek mengambek itu lebih menyebalkan daripada rasa bosan menghadapi pertanyaan "Sudah makan belum?". Jadi Bayu memutuskan menerima panggilan tersebut, tepat di saat ia melihat Ratna berjalan di sisi seorang pemuda asing.

------------

Gengs, menurut kalian Bayu cemburu nggak?

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang