TIGA PULUH DUA

7.2K 1K 77
                                    

"Tante kira kalian bakal langgeng, tapi piye meneh, namanya juga bukan jodoh."

Sekar, ibunda Ayu, menyambut kedatangan Bayu dengan interogasi singkat di ruang tamu. Bayu sangat mengagumi kebijaksanaan wanita itu dalam menyikapi kandasnya kisah cinta sang putri semata wayang. Sempat terbersit di pikiran Bayu, bahwa Tante Sekar akan mengusirnya karena dia berani menginjakkan kaki lagi di rumah ini.

"Tante ndak mau ikut campur. Walaupun Tante kecewa, Tante nggak mau memaksakan kehendak. Untuk apa menahan orang yang ndak berniat menetap. Iya to? Ayu malah ndak akan bahagia ke depannya."

Kalimat itu menohok. Bayu dibuat tak ubahnya bagaikan terdakwa di depan meja hijau yang hanya bisa menunjukkan penyesalan dengan wajah tertunduk. "Saya mohon supaya Tante bisa memaafkan saya."

"Yo wis, arep piye meneh. Menyimpan kebencian juga ndak baik." Sekar berdiri setelah mengembuskan napas panjang. "Tante panggilkan Ayu dulu."

Bayu mengusap wajah.  Ini pertama kalinya dalam tiga tahun terakhir, dia diperlakukan seperti orang asing di rumah ini. Namun, kehadirannya di sini memang diperlukan. Bayu tahu dia harus menemui Ayu lagi.

Dua minggu adalah waktu yang cukup bagi gadis itu untuk menenangkan diri. Harapan Bayu, Ayu sudah bisa diajak bicara dari hati ke hati, dan perlahan-lahan bisa menerima kenyataan bahwa Bayu tidak akan kembali padanya.

Jika Ratna mengira Bayu termasuk jenis lelaki budak cinta yang akan menuruti permintaan paling konyol sekalipun, maka Ratna salah. Tak peduli sekeras apa Ratna memohon supaya Bayu kembali pada Ayu, Bayu tidak akan mengabulkan.

Suara langkah kaki yang menuruni tangga dengan tergesa, membuat Bayu mendongak. Ayu, dalam balutan celana pendek dan kaus putih rumahan, seolah tak sabar ingin menemui Bayu.

"Bay?"

Bayu berdiri, bermaksud untuk menyambut sang mantan dengan anggukan sopan, tetapi Ayu mempercepat langkah dan langsung melemparkan diri ke pelukan Bayu. Kedua lengan gadis itu melingkar erat di tubuhnya, membuat Bayu nyaris terjungkal ke belakang karena mendadak ditimpa bobot tubuh Ayu.

"Aku kangen," bisik Ayu lirih.

Bayu menepuk lembut punggung Ayu sebelum mendorong bahunya menjauh. "Yu, jangan begini. Kita udah nggak pacaran."

Ayu menggeleng. "Aku masih sayang kamu. Please, jangan tinggalin aku."

Bayu menuntun Ayu duduk di sofa. Mereka duduk bersisian. Pipi Ayu tampak sedikit lebih tirus, tetapi dia masih terlihat cantik seperti biasa, meski tanpa lapisan make-up. Ah, Bayu baru menyadari dia hampir tidak pernah melihat Ayu dalam keadaan polos tanpa make-up. Bagi mantan kekasihnya itu, make-up adalah keharusan.

"Kamu nggak dandan. Nggak pakai kuteks," komentar Bayu sendu. Tangannya menangkup tangan Ayu.

"Kamu nggak terlalu suka cewek pesolek, kan? Udah seminggu ini aku coba mengurangi pakai make-up."

Bayu tertegun, hatinya pun mencelus. Rasa bersalah yang dia sangka telah berkurang, kini kembali menghebat. Ah, mengapa gadis sebaik ini harus dia sakiti demikian dalam?

"Aku juga sedang belajar masak sama Bude Yati," imbuh Ayu cepat-cepat.

"Ayu..."

"Ratna pintar masak, ya. Makanya kamu suka dia. Aku bisa ikut kelas memasak, kok. Mungkin butuh waktu agak lama, tapi lama-lama aku pasti bisa masak."

"Yu, please, dengerin aku." Bayu memotong dan berhasil mendapatkan fokus Ayu. Gadis itu berhenti mencerocos dan menatap wajah Bayu lekat-lekat, penuh harap.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang