TIGA PULUH EMPAT

8.2K 928 105
                                    

Ratna duduk seorang diri di ruangan kelas yang telah kosong. Buku Memoar Seorang Geisha terbuka pada halaman terakhir. Ratna baru saja selesai menamatkan keseluruhan kisah Chiyo, si gadis miskin yang dijual ayahnya hingga tumbuh menjadi Sayuri, sang geisha. Mata Ratna kini nyalang menyusuri huruf demi huruf yang tergurat di lembar terakhir buku. Bukan informasi tentang penulis, melainkan dua paragraf tulisan tangan. Tulisan tangan Bayu.

Finish reading? Do you love the book? Or do you love me?

Sudut bibir Ratna terangkat, membentuk senyuman. Sifat narsis Bayu memang sudah mendarah-daging. Anehnya, Ratna sama sekali tidak merasa jengah dengan hal itu. Masih sambil tersenyum, Ratna lanjut membaca paragraf berikutnya.

Na, tau nggak apa bedanya cinta dengan buku? Kalau buku, ada awal dan akhir yang jelas. Tapi kalau cinta, nggak tau kapan dimulainya dan nggak punya akhir. Seperti perasaanku untukmu yang nggak akan pernah  berakhir.

Senyum itu masih bertahan di wajah Ratna selama beberapa detik, sebelum titik air mata datang menemani. Bagaimana kabar Bayu sekarang?

Malam Minggu kemarin, Ratna hanya bisa membisu saat Bayu mengungkapkan rindu. Ingin menyahut, tetapi keberaniannya setipis kulit bawang. Akhirnya, Ratna memutuskan sambungan telepon tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

"Aku rindu..."

Kalimat Bayu terngiang kembali di benaknya, seperti kaset yang di-rewind terus-menerus pada bagian yang sama. Dua kata sederhana tetapi mampu mengguncangkan Ratna hingga ke dasar jiwa.

Enam bulan menjalani hidup tanpa lelaki itu, Ratna mencoba meyakini bahwa dia mampu dan akan baik-baik saja. Untuk hal-hal tertentu, pernyataan itu benar adanya. Ratna tetap bisa bekerja secara maksimal, tetap bisa bergaul dengan senyum cerah tersungging. Namun, ada kalanya dia mendapati dirinya termenung dengan resah mengimpit dada, dengan kerinduan yang menggebu. Di situ Ratna tahu bahwa dirinya jauh dari kata baik-baik saja.

Dia membutuhkan Bayu.

Suara langkah kaki yang mendekat membuat Ratna mengerjap. Gadis itu menyeka sudut matanya yang basah lalu cepat-cepat menutup buku pemberian Bayu.

Pintu diketuk dan kepala Raja menyembul di antara celah yang terkuak. "Mbak, mau pulang sekarang?"

Ratna mengangguk. Hari ini dia tidak membawa motor, dan menerima tawaran Raja untuk mengantarnya pulang. Raja melangkah masuk dan Ratna gegas membereskan tas, mengabaikan sorot menyelidik dari pemuda itu.

"Kamu habis nangis, Mbak?"

Gerakan Ratna membereskan tas terhenti. Dia menatap Raja dan memasang tampang pura-pura bego.

"Itu, maskaramu luntur sedikit di sudut mata," kata Raja.

"Bukan nangis. Tadi aku menguap, terus keluar air mata sedikit." Ratna mengarang alasan, tangannya merogoh ke dalam tas, mencari tisu. Dengan bantuan cermin kecil pada wadah bedak, Ratna membersihkan maskara yang sedikit luntur.

Raja mengangkat alis, tanda dia meragukan pernyataan Ratna. "Waktu ditelepon Mas Bayu kemarin, kenapa kamu nggak ngomong apa-apa, Mbak?"

Ratna sama sekali tidak menduga akan diberi pertanyaan itu. Sebagaimana juga dia tidak pernah membayangkan Raja akan berdiri di kubu Bayu. Sampai rela meminjamkan telepon segala.

"Mau ngomong apa lagi? Semuanya udah selesai di antara kami." Ratna memasukkan kembali bedak ke dalam tas.

Raja justru mencibir. "Sekarang kamu hobi bohong ya, Mbak."

"Bohong apa?"

"Hobi menyiksa diri juga."

"Apaan sih, Ja. Siapa yang nyiksa diri?"

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang