EMPAT BELAS

7.9K 1K 92
                                    

Wajah pria paruh baya di ujung meja panjang tertekuk sewaktu membaca selembar kertas di genggaman. Sujatmiko, sang ketua program studi Pendidikan Matematika berdecak kecil sambil menggeleng.

"Piye iki? Sebagian besar kok ndak lolos passing grade 530?" keluhnya pada rekan-rekan dosen muda Universitas Pelajar Harapan. "Sampeyan (Anda) ini kepengin dapat beasiswa LPDP ndak?"

Bayu ikut-ikutan mengamati wajah rekan-rekannya. Sudah delapan bulan dia bekerja di UPH dan sekarang prodi mereka tengah mempersiapkan beberapa dosen untuk studi lanjut doktoral baik di dalam maupun luar negeri. Oleh karena itu, beberapa minggu yang lalu, prodi menggelar TOEFL-Like Test untuk mengetahui perolehan skor masing-masing dosen.

Bayu termasuk yang beruntung bisa melewati passing grade skor TOEFL yang ditetapkan, meski Bayu tidak ditargetkan untuk melanjutkan progran doktoral tahun ini. Senior lebih diutamakan dan dosen baru seperti dirinya diprioritaskan untuk mengabdi terlebih dahulu.

"Kalau iBT, saya masih bisa maklum. Kita belum terbiasa dengan model tes TOEFL yang satu itu, tapi ini cuma paper-based biasa dan baru simulasi, masa yang lolos passing grade cuma tiga orang?" Pak Jat, panggilan akrab Sujatmiko, melanjutkan keluhannya.

"Mungkin sebaiknya kita mengadakan pelatihan TOEFL, Pak," usul salah seorang dosen. Anton, namanya. "Mengerjakan TOEFL kan ada strateginya. Itu yang perlu kita ketahui."

Pak Jat tampak mempertimbangkan usul tersebut. Wajahnya menoleh ke arah sekretaris prodi, Anita, yang duduk di sebelahnya.

"Saya rasa usul Pak Anton cukup bagus, Pak. Kita bisa bekerja sama dengan lembaga kursus bahasa Inggris. Saya rasa di Jogja sudah banyak lembaga kursus yang bahkan mengadakan tes TOEFL ITP yang resmi, bekerja sama dengan ETS," ujar Anita.

"Yo wis, Linda. Coba kamu cari di Google, di Jogja kita bisa tes TOEFL ITP di mana saja?" titah Pak Jat pada seorang petugas administrasi prodi.

Linda mengangguk sigap. Dengan serius, wanita muda itu menatap layar komputer di mejanya dan mulai melalukan pencarian yang diperintahkan oleh Sujatmiko.

"Bisa di UII, Pak." Linda melaporkan. "UGM dan UNY juga bisa," imbuhnya tanpa sedikit pun mengalihkan muka dari layar komputer.

"Selain itu? Cari yang bukan perguruan tinggi. Gengsi sedikitlah. Kita kan sama-sama universitas, masa belum bisa tes ITP."

Bayu mengulum senyum. Ucapan Pak Jat ada benarnya juga, meski sebetulnya ketidakmampuan UPH mengadakan test TOEFL resmi bisa dimaklumi karena UPH masih tergolong universitas baru.

"Kalau yang lembaga bahasa, ada LIA, English First, Prime English ..." Linda kembali membacakan hasil penelusuran di Google.

"Lho, Prime English bisa?" Bayu menyela kalimat Linda.

"Di sini keterangannya bisa, Pak," jawab Linda.

Pak Jat menatap Bayu. "Kenapa, Pak Bayu?"

"Oh, tidak pa-pa, Pak. Prime English itu punya saudara sepupu saya, tapi saya malah tidak tahu kalau di sana bisa tes TOEFL ITP."

Mendengar itu, wajah Pak Jat mendadak semringah. Sang Kaprodi berujar penuh semangat pada Bayu.

"Nah, nek ngono (kalau begitu), coba Pak Bayu nego sama saudaranya supaya bisa kasih pelatihan TOEFL di sini. Enam kali pertemuan saja, terus dilanjut Test ITP yang resmi."

***

"Gimana, Bang? PE bisa kasih pelatihan TOEFL di kampusku?"

Sore harinya, Bayu mendatangi Gian di gedung Prime English. Sebenarnya Gian menawarkan untuk bertemu di rumah saja, tetapi Bayu menolak. Siapa tahu dia bisa bertemu Ratna di sini. Tanpa hadirnya Ayu, mungkin mereka bisa berbicara dengan lebih terbuka. Jujur, Bayu gemas dengan sikap pura-pura tidak terjadi apa-apa yang selalu ditampilkan Ratna.

Tiga Sisi Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang